Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukanlah tipe pemimpin yang “ Enjoy Going “ mempercayakan segala sesuatunya kepada bawahan. Ia bukan tipe pemimpin yang terima beres saja . Ahok tipe pemimpin pekerja keras. Walaupun ia sering blusukan ke kampung kampung , apalagi ketika Jakarta di rendam banjir, subuh hari ia sudah berkeliling kelokasi banjir , namun sepulangnya dari sana ia tak lupa mendisposisi surat surat penting yang ada dimejanya kerjanya .
Apa yang terjadi dijakarta ia banyak tahu. Istilah pejabat Pemprov DKI menilai kinerja Ahok “ Jarum jatuhpun “ Ahok tahu.
Seperti diketahui Ahok termasuk salah seorang pemimipin yang bersih. Anti korupsi. Dalam kesehariannya, ia memberi contoh kepada bawahannya. Sedapat mungkin Ia dan jajarannya menghindarkan perbuatan yang tercela. Terutama berkaitan dengan perbuatan tindak pidana Korupsi. Sudah banyak pejabat pemprov yang dinilainya tidak bersih dilaporkannya ke Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Beberapa diantaranya kini telah mendekam dibalik jeruji besi. dan sebagian lagi di non “ job “kan dari jabatannya .Tindakan tegas ini berangsur angsur berbuah kebaikkan. Pelayanan publik di DKI kini jauh lebih baik dari sebelumnya dan sekarang pejabat Pemprov DKI harus berpikir 2 kali jika ingin melakukan perbuatan korupsi.
Oleh karena itulah ketika ia menemukan hal yang yang dinilainya janggal , Ahok tidak mudah menerima begitu saja. seperti yang pernah terrjadi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD ) tahun lalu, ditemukan ada angka angka keuangan yang dinilainya tidak berpihak kepada kepentingan warga Jakarta. Angka yang dinilai nya janggal itu , diduganya titipan oknum , langsung saja diblokirnya dan dilingkari dengan spidol hitam serta ditorehinya dengan komen komen “ ala ahok “
Komentar itu memang bagi orang yang melhatnya dan tidak paham latar belakang terbitnya komentar itu, tentu akan tersinggung. Salah satu kementarnya yang cukup kontroversial dan sudah tersebar di media sosaial termuat dalam torehan lebaran RAPBD DKI 2016 berbunyi
“ nenek lu “
Komentar Ahok pada RAPBD DKI itu , entah siapa yang menyebarkannya rupanya sampai juga ke Anggota DPRD DKI.
Torehan kata Ahok bernada sumbang itu, tentu saja membuat merah telinga para legislator tersebut. Mereka tersinggung. Mereka nampaknya sangat murka. Kemurkaan mereka itu ditunjukkan dengan banyak usulan pemprov , walaupun dinilai publik berpihak kepada warga DKI malah dicoreti oleh DPRD DKI.
DPRD DKI tak ragu ragu mendelet dan menolak usulan Pemprov DKI, Penolakan itu bukan berdasarkan analisis kebutuhan. Tetapi lebih kepada kumurkaan mereka kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Seperti contoh pasal mata anggaran dalam APBD DKI , yang termasuk dicoret mereka adalah anggaran pengadaan kenderaan pengangkut sampah yang sangat dibutuhkan pemprov untuk membersihkan sampah yang bertebaran seantero Jakarta.Tapi begitu Paripurna Pengesahan RAPBD menjdi APBD, belanja kenderaan pengakut sampah tersebut sudah tak nampak lagi dalam APBD.
Kenapa itu bisa terjadi ?.
Para legislator DKI sepertinya sudah hampir kehilangan akal, Yang mereka pikirkan hanyalah , bagaimana cara membalas kemurkaan mereka terhadap Ahok. Satu satu caranya yang dapat mereka lakukan yaitu menolak usulan pemprov tentang pengadaan kenderaan pengangkut sampah tersebut . Menurut pikir mereka biar Ahok tahu kami juga punya "kuasa"
DPRD DKI berharap dengan adanya penolakan seperti itu , Ahok akan melemah dan mau menegosiasikan kepentingan mereka dalam APBD
Ahok tak bergeming.
Awal kemurkaan DPRD DKI.
Kemurkaan para Anggota DPRD DKI kepada Ahok, sebenarnya sudah cukup lama. Kemurkaan itu sudah mulai terlihat Ketika awal awal kepemimpinan Ahok menggantikan Jokowi 2014, Terutama sejak Ahok gencar mewacanakan perubahan sistem anggaran konvensional ke anggaran berbasis e Buggeting .
Pada wakti itu, Hampir 90 persen para legislator DKI menolak. Penolakan itu dimotori oleh Wakil Ketua DPRD H. Abraham "Lulung" Lunggana atau lebih populer dengan julukan Haji Lulung. Hi. Lulung dengan lantang menolak perubahan sistem anggaran dari sistem konvensional kepada sistem anggaran berbasis e Buggeting. Hi. Lulung menilai Ahok mengada ada , Perubahan anggaran itu lebih dinilainya sekedar usaha Ahok untuk menelikung DPRD DKI.
Sistem anggaran berbasis Konvensional
Semula sistem anggaran DKI berbasis sistem anggaran konvensional. Pada sistem anggaran Konvensional, anggarannya bersifat tertutup. Rahasia. Yang boleh tahu hanyalah para pejabat tertentu Pemprov dan anggota DPRD DKI. Berapa jumlah anggaran, Proyek apa saja yang termuat dalam APBD dan seterusnya merupakan rahasia pejabat Pemprov DKI dengan DPRD DKI. Bila ada warga yang ingin tahu selalu saja dipersulit dengan alasan APBD termasuk rahasia negara dan “ pinpong “ dari satu instansi ke instansi lainnya..
Sehingga karena sistem anggaran konvesional bersifat tertutup, maka disana tidak jarang ada oknum pejabat pemprov dan anggota DPRD DKI yang bermain main dengan anggaran. Sebagai contoh kasus yang belum lama terjadi tentang Pengadaan UPS untuk sekolah-sekolah di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat yang terdapat di APBDP 2014 ternyata ujung ujungnya jadi permasalahkan.
Karena anggaran UPS tersebut tidak pernah dibahas dalam Panitia Anggaran Pemprov DKI maupun Badan Anggaran DPRD DKI. Terakhir diketahui, bahwa Anggaran UPS tersebut , diselipkan begitu saja dalam APBDP 2014 dan langsung di syahkan dalam Rapat Paripuna DPRD DKI, tanpa dibahas lagi. Dengan kata lain pencantuman mata pasal anggaran pengadaan UPS didalam APBDP DKI tidak sesuai prosedure penganggaran yang berlaku . Artinya pencantuman mata pasal anggaran UPS “ Cacat hukum “ Jika kita mengikuti terminologi Ahok, mata pasal UPS dalam APBD P 2014 adalah mata anggaran “ Siluman “.
Kini 2 oknum pejabat pemprov dan 2 oknum anggota DPRD DKI yang bermain main dengan anggaran siluman UPS sudah mendekam dibalik jeruji besi penjara .
Itulah salah satu kelemahan sistem anggaran berbasis Konvensional. APBD DKI selama ini. Sifatnya rahasia. Tidak tertutup kemungkinan walaupun sudah di syahkan. Para oknum korup tersebut masih saja dapat mengutak atik mata pasal anggaran dalam APBD DKI... Walahuallam ....
Dengan perubahan anggaran dari sistem konvensional ke sistem anggaran berbasis e Buggeting, tentu saja mereka beranggapan kepentingan mereka akan terganggu. Perubahan sistem anggaran itu mereka nilai tidak lebih usaha Ahok untuk “ menelikung “ DPRD DKI. Akibatnya Anggota DPRD DKI “ murka besar “ , mereka tidak mau mengesahkan APBD DKI 2015. Terpaksa Pemprov DKI waktu itu, untuk menggerakan roda pemerintahan , menggunakan anggaran tahun lalu sebagaimana diatur perundang undangan.
Siapa yang rugi ?
Tentu saja warga jakarta karena banyak proyek pembangunan yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2015 tertunda. Namun kerugian itu tidak hanya menimpa warga Jakarta, tapi para legislator DKI itupun juga kena “ getahnya “ .Karena banyak acara mereka yang pada Rancangan APBD 2015 , juga terpaksa dibatalkan.
Sistem anggaran berbasis e Buggeting
Beda dengan Sistem anggaran berbasis Konvesional. Sistem anggaran e buggeting bersifat terbuka. Pada anggaran berbasis e Buggeting, setiap warga DKI dapat mengetahuinya baik meminta langsung ke Bappeda DKI maupun melalui postingan Mbah Google.
Pada sistem anggaran berbasis e Bugeting, sebenarnya prosedure penyusunaan anggaran sama saja dengan penyusunan anggaran berbasis sistem konvensional. Hanya saja saja bedanya anggaran berbasis e buggeting sifatnya terbuka untuk umum. Sementara Jika pada sistem Kovensional sengaja di rahasiakan oleh oknum pemprov dan anggota DPRD DKI. Dokumennya APBD DKI sengaja disimpan rapet rapet dan dirahasiakan mereka.
Sementara sistem penganggaran berbasis e Buggeting, Dokumen anggaran APBD DKI tersebut , begitu disyahkan , serta merta dimuat atau diunggah ke ineternet. Dan terbuka untuk umum.
Seluruh warga DKI dapat mengetahuinya. Warga DKI tinggal “ Klik “ mbah Google. Atau bagi warga yang masih “ Gaptek “Tehnologi dapat meminta photo Copy APBD DKI langsung ke Bapedda DKI. Karena berdasarkan Undang undang Keterbukaan Informasi APBD bukan termasuk rahasia negara. Karena itu , maka setiap warga atau kelompok warga DKI , berhak mengetahui dan meminta kepada badan publik DKI terkait anggaran APBD DKI Jakarta. Apabila mereka berkeberatan atau tidak mau ngasih dokumen APBD DKI tersebut kepada pemohon, maka berdasarkan Undang Undang Keterbukaan informasi, maka pemohon dapat menggugat kepada Lembaga Komisi Informasi yang ada di DKI.
Kelebihan anggaran berbasis e Buggeting itu dibadingkan dengan sistem konvensional. bila sudah disyahkan dalam rapat paripurna DPRD DKI, langsung dimuat ke internet. Setelah APBD masuk You tube, maka tidak seorangpun yang bisa mengutak atik atau mengubah angka angka pada APBD DKI sebagaimana yang lazim dilakukan pada sistem anggaran berbasis konvensional. Karena paswot APBD , yang termuat dalam You tube tersebut , dipegang oleh pejabat tertentu saja yang langsung ditunjuk Ahok sebagai otorisator keuangan Pemprov DKI.
Ini awal mulanya yang banyak dikeluhkan dan sekaligus membuat murka para oknum legislator DKI kepada Ahok. Mereka merasa “ sakit hati “ kepada Ahok. Mereka menilai Ahok sengaja menghilangkan rezeki mereka . Mereka merasa Ahok memiskinkan mereka.
Mau tidak mau perubahan sistem penganggaran menutup peluang bagi para oknum Anggota DPRD DKI yang korup bermain main mata pasal dan angka angka anggaran yang termuat pada APBD DKI.
Itulah latar belakang dan awal mulanya para oknum anggota DPRD yang Korup, murka kepada Ahok. Mereka merasa “ Sakit hati “ karena mereka sudah tidak dapat berlaku curang lagi. Mereka merasa sudah dimiskinkan oleh Ahok.
Barisan Sakit hati inilah yang biasanya selalu menghembus hembuskan seolah olah Ahok terlibat Korups
Persoalan korupsi ini cukup gaduh. , Pertama mereka dengan dimotori oleh Wakil Katua DPRD DKI, Hi. Lulung, menuding seolah olah Ahok terlibat korupsi pengadaan proyek UPS, namun tidak ternbukti. Lalu mereka juga mencoba menuding Ahok korupsi pengadaan lahan RS Sumber Waras, juga tidak terbukti. Menurut KPK hingga saat ini belum ditemukan kerugian negara dan niat jahat dalam pengadaan lahan RS Sumber Waras dimaksud.
Terbaru kemurkaan para Anggota DPRD DKI kepada Ahok, , terkait operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap ketua komisi “ D” DPRD DKI yang bernama Sanusi. Sanusi terlibat suap pembahasan Raperda tentang Reklamasi pantai utara Jakarta.
Ahok menuturkan sebenarnya proses Raperda tentang Reklamasi pantai utara Jakarta itu sudah memakan waktu yang cukup lama. Sudah berbulan bulan dan penundaan Rapat Paripurna pengesahan sudah berulang ulang.
Persoalan Perda tentang Reklamasi ini terjadi tarik ulur antara Pemprov dengan DPRD DKI, Sehingga pernah membuat Ahok kesal.
Ada tawar menawar DPRD DKI terhadap Pemprov DKI Jakarta atas kewajiban kontribusi yang harus dibayar perusahaan pengembang proyek reklamasi. DPRD meminta kewajiban tambahan kontribusi diturunkan dari 15 persen menjadi 5 persen sesuai Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995. Sementara Pemprov bertahan tetap angka 15 persen wilayah reklamasi pulau buatan nitu untuk dibuat fasilitas umum.
Menurut Ketua Bapeda DKI, Ir. Tuty Kusumawati MM , dalam proses pembahasan Raperda Reklamasi antara Tim Pemprov dengan Badan Legislasi DPRD DKI, ide awal penurunan beban pengembang di pulau pulau kecil datang dari Wakil ketua DPRD DKI Taufik. Waktu itu , Taufik berkeinginan beban pengembang diturunkan dari 15 persen menjadi 5 persen.
“ Ada coret coretan Pak Taufik , sehingga akhirnya setelah dihitung hitung , beban pengembang menjadi 5 Persen “ Ujar Tuty.
Keinginan Taufik tersebut dilaporkan oleh Tuty , kepada Ahok.
Tentu saja Ahok menolak. Karena menurut Ahok, bila ia mengabulkan permintaan DPRD DKI itu, maka sama saja ia memberi kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi. Hal hal seperti ini , tidak mungkin ditelorir Ahok.
Karena kesal maka pada lembaran disposisi pada Raoerda Reklamasi tersebut, Ahok lalu menorehkan tulisan kata yang berbunyi :
“'gila. "
Kemudian Ahok juga mengancam stafnya , jangan coba coba ikut ikutan DPRD DKI menurunkan beban para pengembang reklamasi pantai utara Jakarta.
Sebagaimana di muat Detik news selasa (5/4 ), Ahok menuturkan tulisannya telah membuat Taufik marah.
Mari kita cermati tuturan Ahok yang dimuat Detik news tersebut sebagai berikut :
“ Saya tulis “'Gila” ujar Ahok.
Pak Sekda masih bercanda. Begitu balik lagi, Pak Taufik agak marah, 'Kenapa itu Gubernur tulis 'Gila'?' Tanya Taufik.
Terus kata Pak Sekda,
'Bukan 'Gila' Pak. Itu 'Bila'.' Soalnya huruf 'G' nya seperti 'b'.
“ Lu (Anda) tanya sama Sekda. “ ujar Ahok ke media.
Jadi Sekda bilang itu 'bila'. Mana ada 'bila'?
'Gila' kok." pungkas Ahok
" Tulisan 'G' saya jelas kok. "
" Cuma Pak Sekda mau menutupi itu. Ya sudah," kata Ahok
Itulah penurituran Ahok, ia menceritakan kembali torehan dan coretannya pada lembaran Raperda Reklamasi seperti tersebut diatas yang membuat para anggota DPRD DKI merasa tersinggung dan murka.
Torehan Ahok kata “ Nenek lu “ pada lembaran Raperda tentang APBD DKI dan torehan kata “ Gila “ pada lembaran Raperda Reklamasi pantai utara Jakarta , itulah yang membuat para anggota DPRD DKI yang menjadi tersinggung dan ”Murka” yang ujung ujungnya mereka selalu menunda nunda pengesyahan kedua Raperda tesebut.
Itulah penurituran Ahok, ia menceritakan kembali torehan dan coretannya pada lembaran Raperda Reklamasi seperti tersebut diatas yang membuat para anggota DPRD DKI merasa tersinggung dan murka.
Coretan "Gila "dan : Nenek lu " Ahok buat DPRD Murka
Sumber :
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/04/04/11370071/Ini.Alasan.Ahok.Naikkan.Kewajiban.Pengembang.Reklamasi.Jadi.15.Persen?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=KaitrdMegapolitan
Ikuti tulisan menarik Andi Ansyori lainnya di sini.