x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kematian Badak Najaq, Peringatan Bagi Kita

Apakah kita harus menunggu hingga manusia nyaris punah untuk mau menyadari betapa kian merosotnya kualitas bumi kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ikhtiar tim dokter hewan gabungan dari berbagai pihak untuk menyelamatkan Najaq, badak Sumatera yang ditemukan di Kutai Barat, Kalimantan Timur, rupanya tak mampu mengatasi takdir kematian hewan langka ini. Kepastian penyebab kematian Najaq baru akan diketahui setelah otopsi dilakukan, walau dugaan sementara kematian Najaq dipicu oleh infeksi berat karena luka parah pada kaki kirinya akibat jerat tali.

Kematian Najaq sungguh tragis di tengah upaya keras sebagian pihak untuk menjaga kelangsungan hidup hewan dan tanaman langka di Indonesia. Selama 50 tahun terakhir, para peneliti baru berhasil bertemu fisik dengan badak Sumatra pada Maret 2016—itupun hewan ini sudah dalam keadaan terluka kakinya. Populasi badak ini semakin berkurang, di seluruh dunia diperkirakan sudah kurang dari 100 ekor; di Kutai Barat, Kalimantan, diperkirakan ada 8 hingga 20 ekor. Kematian Najaq, karena itu, sangat berarti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kematian Najaq sesungguhnya menjadi peringatan bagi kita bahwa ekosistem tempat kita hidup semakin berubah dari keadaan awalnya. Kita menyatakan diri tengah membangun, tapi yang terjadi merusak. Belum lama berselang kita menyaksikan foto kematian orang utan yang mati karena hutan yang terbakar (atau dibakar?). Gajah liar, yang populasinya juga semakin berkurang, pun semakin sukar dijumpai.

Kematian hewan-hewan ini memperlihatkan efek buruk dari cara kita memerlakukan alam. Kita membuka hutan dengan membakar, ekspansi penambangan material meninggalkan kerusakan luar biasa, membangun jalan-jalan dan rumah-rumah serta pabrik-pabrik dengan menebang pepohonan dan mengurug lahan tanpa memberi perhatian yang cukup untuk menjaga agar kerusakan ekosistem berada pada tingkat seminimum mungkin.

Belum lagi penebangan liar dan perburuan hewan-hewan langka ini. Gajah diambil gadingnya, badak diambil culanya. Hewan-hewan langka lainnya diawetkan untuk dipajang di ruang-ruang tamu seakan menambah kehormatan pemiliknya—tidak aneh bila pejabat publik pun mengoleksinya. Barangkali karena ketersinggungan pula, keprihatinan bintang Hollywood Leonardo di Caprio ditanggapi dengan begitu berlebihan.

Cara kita memerlakukan alam tempat kita hidup ini, beserta makhluk-makhluk isinya, bukanlah disebabkan oleh ketidaktahuan, melainkan karena kerakusan kita. Pengetahuan dapat dipelajari bila mau. Tapi kerakusan telah membutakan mata hati kita terhadap kemerosotan lingkungan dan kualitas hidup para penghuninya. Dulu, Alfred Russel Wallace berlayar jauh dari Inggris ke Nusantara untuk mengagumi kekayaan flora dan fauna kita dan mengabarkannya ke seluruh dunia serta menemukan teori evolusi versinya. Andaikan ia masih hidup, niscaya ia akan menangis.

Kita seperti lupa bahwa kita hidup dengan meminjam apa yang menjadi hak anak-cucu kita: bumi yang terjaga baik. Entah kapan dan apa yang mampu menyadarkan kita tentang segala kerusakan yang semakin parah ini. Barangkali, kita baru sadar ketika bukan hanya badak Jawa, badak Sumatra, macan tutul Jawa, kura-kura hutan Sulawesi, elang Flores, rusa Bawean, burung Tokhtor Sumatera, katak merah, burung Jalak Bali, gajah Sumatra, dan orang utan yang semakin langka, tapi juga kita--manusia. Sayangnya, saat itu sudah jauh terlambat. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler