x

Aktivis perempuan menggelar unjuk rasa peringatan kerusuhan Mei di sekitar bundaran HI Jakarta Pusat (18/05). Aksi tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat mengenai tindak kekerasan seksual saat kerusuhan Mei 1998 yang pelakunya belum terungkap.

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kubu Baik dan Kubu Buruk

Apapun kini terjadi, yang jelas, Kubu Buruk yang mestinya bertobat malah arogan, tetap dominan, sebab punya uang banyak sekali hasil menjarah Nusantantara

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di zaman internet ini negara kita tiap saat terasa berubah dengan kabar baik dan kabar buruk yang datang silih berganti. Ada kabar baik bahwa Indonesia baik-baik saja. Benarkah? Apa ukuran baik-baik saja? Ada kabar buruk: Indonesia terancam bubar lantaran bingung bergaul dengan kapitalisme global dari belasan negara dengan lebih 500 proyek raksasa. Ini agaknya keliru! Unsur luar semisal kapitalisme global mungkin bisa membuat Indonesia bubar, tapi amat sukar. Yang lebih memungkinkan Indonesia bubar adalah konflik dari dalam. Selain konflik-konflik kepentingan politik Jakarta lawan politik daerah A, B, C dll, yang lebih menentukan bubarnya Indonesia adalah konflik Kubu Baik lawan Kubu Buruk.

Apa dan siapakah mereka? Menurut Akalbudi, Kubu Buruk itu buruk dan salah, sedang Kubu Baik itu baik dan benar. Begitu saja. Tak ada penjelasan lain yang lebih terang. Maka dalam segala situasi, Akalbudi memilih Kubu Baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa mereka berkonflik? Itu niscaya. Sebab buruk itu lawan baik, dan baik itu lawan buruk. Konflik tersebut alamiah belaka dan berlaku universal. Namun konflik baik-buruk di Indonesia saat ini membosankan. Kubu Buruk telah kuat dan semakin dominan sebab berhasil membelokkan Reformasi 1998 menjadi “Reformasi” dengan cara licik. Kita lalu jadi ingat sejarah kelahiran Kubu Buruk. Negara kita merdeka pada 1945, diikuti aneka macam konflik. Salah satu konflik adalah konflik A lawan B, dan pada Oktober 1965 A menang dengan cara-cara culas. Itu menurut Akalbudi. Maka A disebut Kubu Buruk.

Tapi Kubu Buruk tidak mau disebut buruk. Padahal sudah terbukti berbuat buruk menurut banyak sekali alat pembuktian. Akalbudi jadi bingung. Problem Kubu Buruk buntu. Nah, bisa apa? Yah, kita kembali saja ke wacana Indonesia terancam bubar. Itu bisa terjadi jika Kubu Buruk tidak bertobat dan malah terus ngotot menutup-nutupi keburukannya. Maka Kubu Baik menjadi mata gelap sehingga bisa saja lalu menempuh segala cara. Semisal dengan cara-cara jahat meniru Kubu Buruk, dengan mencari majikan-majikan dari luar negeri. Ini tersedia berlimpah. Sebab, agunan jaminannya adalah negara Indonesia yang kaya raya tiada tara.

Bila kondisi obyektif kita memang begitu, berkobarlah perang saudara tingkat raksasa berskala seluas Nusantara. Akibatnya mengerikan. Ratap tangis dan kertak gigi bersahut-sahutan bisa ratusan tahun. Seluruh dan segala Indonesia rusak diserbu kesia-siaan akibat kenaifan. Jangan lupa, perang adalah komoditas puncak kaum kapitalis. Ingatlah rumus M-C-M plus: money-commodity-money plus. Uang dibikin komoditas untuk menjadi uang lebih banyak. Berapa trilyun dollar akan dikeruk para saudagar produsen senjata dalam komoditas perang berskala luas tersebut? Kita dapat apa? Karena itu, saya mengharap Kubu Baik tidak menjadi mata gelap. Kubu Buruk? Semoga sedikit demi sedikit bisa jadi sedikit lebih pintar sehingga tidak lagi menyebut bandit-bandit sebagai bapak, ibu, pahlawan, atau dewa-dewi panutan.

Apapun kini terjadi, yang jelas, Kubu Buruk yang mestinya bertobat malah arogan, tetap dominan, sebab punya uang banyak sekali hasil menjarah harta Nusantara selama lebih 32 tahun. Hasil jarahan tersebut sampai saat ini menjadi rekening amat gendut para petinggi sipil dan militer Kubu Buruk serta semua saudagar pendukungnya. Ini menjadi dana tidak terbatas untuk membiayai apa saja demi kelestarian kuasa, secara langsung atau menjadi dalang-dalang, antara lain juga demi menjaga keutuhan harta jarahan yang haram tersebut.

Dalam rangka terus berkuasa, unsur-unsur Kubu Buruk malang melintang di semua tempat strategis. Hadir di semua rapat PNS. Memberi warna di semua sidang kabinet. Berdebat di parlemen untuk menghasilkan produk-produk hukum yang mendukung agenda-agenda mereka memusnahkan Kubu Baik. Meneror dan mengharu-biru semua kegiatan Kubu Baik dengan cara-cara biadab para fasis. Kegiatan yang sudah diteror adalah diskusi, seminar, pemutaran film, dan lain-lain. Padahal, inti kegiatan hanya mempertanyakan dan klarifikasi tentang fakta sejarah 5W-1H konflik mereka di masa lalu. Bukankah pertanyaan cukup dijawab dan klarifikasi tinggal ditanggapi sebagai cara komunikasi yang beradab? Mengapa malah lalu meneror dengan mengerahkan iblis-iblis bertopeng malaikat dengan dasar formalitas dan legalitas bikinan sendiri yang juga bermasalah?

Dengan demikian ciri-ciri Kubu Buruk semakin nampak. Mereka adalah gerombolan berfaham sikap pikir dangkal, sempit, dan mau menang sendiri. Hanya mereka benar dan baik, di luar mereka salah dan buruk. Dengan modal sikap pikir macam itulah Kubu Buruk telah berhasil membantai jutaan rakyat Indonesia sejak 1 Oktober 1965 sampai hari ini, dan mendapatkan keuntungan dari kebiadaban tersebut. Anehnya, dalam grup picik ini banyak yang bergelar dan berpangkat amat tinggi: doktor, profesor, super direktur, dan jendral-jendral.

Juga, Kubu Buruk amat bernafsu membasmi Hantu Kiri dengan argumentasi emosional. Maklumlah. Pengetahuan Kubu Buruk tentang Kiri yang sejati tidak ada atau minim sekali. Maka dongeng-dongeng tentang kebiadaban Hantu Kiri menjadi senjata murah, mudah dan instan bagi Kubu Buruk untuk memfitnah Kubu Baik. Modal fitnah adalah sejarah Indonesia bikinan mereka sendiri. Sejarah palsu. Sejarah yang hanya laku bagi mereka yang buta sejarah Indonesia.

Celakanya, di Indonesia itu kaum buta sejarah banyak sekali. Mereka termakan propaganda Kubu Buruk yang sistematis dan strategis lebih setengah abad, sejak 1 Oktober 1965 sampai sekarang. Itulah propaganda keculasan yang bertumpu faham hidup fasis, rasis, fanatik, militeris, diktatoris, kapitalis, feodal, kolonial dan imperialis. Semua faham hidup ini bukan saja dihindari tetapi dilawan oleh para ibu-bapa bangsa kita dalam rangka membangun bangsa Indonesia dan mendirikan negara Indonesia dari semua bangsa yang mendiami Nusantara. Nah, Kubu Buruk adalah kaum pengingkar sejarah Indonesia yang otentik.

Dengan kondisi obyektif semacam itu, maka tugas nasional Kubu Baik jadi makin berat, harus tabah terus bekerja keras menjadi “guru” bagi kaum buta sejarah agar melek sejarah. Kemelekan sejarah adalah prasyarat menuju Indonesia berakalbudi dan demokratis berdasar Pancasila sejati dan Bhinneka Tunggal Ika tulen yang mampu menampung semua warna. Ya! Tiap warna itu suci!

Alhasil, bagaimana jika karena mukjijat misalnya, Kubu Buruk lalu tiba-tiba bertobat memberi kejutan? Wah, itu memang keajaiban dan anugerah bagi negara kita. Maka Kubu Baik harus menyambut penuh syukur dan memaafkan mantan rivalnya. Tak perlu lalu jadi kemaki . Dengan pertobatan itu, Baik dan Buruk sudah diletakkan di tempat benar, dan baru dari sini, kita bisa bicara soal rekonsiliasi. Tanpa pertobatan itu, semua nyanyian tentang rekonsiliasi adalah omong kosong.

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler