x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tahanlah Diri dari Keinginan Merisak

Media sosial bagaikan rimba belantara. Perisakan (bullying) telah memakan banyak korban.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Unless and until our society recognizes cyber bullying for what it is, the suffering of thousands of silent victims will continue.”

--Anna Maria Chavez (1968-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kematian memang misteri—kita tak pernah tahu kapan, di mana, dan bagaimana ruh dipanggil pulang. Tapi, yang pasti, itu terjadi—siapapun niscaya percaya bahwa yang hidup akan mengalami kematian. Kendati begitu, maut seringkali amat mengejutkan bagi yang masih berkesempatan untuk hidup. Mengapa dia? Mengapa sekarang? Andaikan aku tidak? Semua pertanyaan dan pengandaian tidak sanggup menghentikan mendekatnya maut kepada seseorang.

Baru-baru ini, ketika ayah seorang siswi SMA mendadak berpulang, kita tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. Ada yang berusaha memahami dengan mentautkan kematian mendadak sang ayah ini dengan perisakan (bullying) di media sosial yang dialami anaknya karena perilaku yang dianggap tak patut terhadap polisi.

Apa yang dirasakan dan dipikirkan sang ayah, hanya dia yang mengetahui persis; orang hanya dapat menduga bahwa perisakan yang bertubi-tubi dan respons terhadap perisakan telah menimbulkan situasi yang sulit bagi sang ayah. Boleh jadi ia sangat terkejut mengetahui hal itu—demikian terkejut hingga jantungnya gagal berfungsi.

Adakah yang menduga bahwa kelanjutan dari acara pawai bermobil seusai Ujian Nasional, perdebatan dengan polwan, serta perisakan di media sosial adalah kematian ayah siswi ini? Niscaya tidak ada yang menduga—siswi itupun tidak menduga, tapi faktanya itulah yang terjadi: sang ayah meninggal tiba-tiba.

Rangkaian kejadian itu meninggalkan pelajaran berharga bagi siapapun yang mau belajar. Secara khusus, bagi pemakai media sosial, peristiwa ini seyogyanya menjadi bahan renungan tentang apa yang kita lontarkan di twitter, path, line, atau apa saja.

Pertama, kita mungkin melihat apa yang terjadi, misalnya melalui rekaman video yang diunggah di youtube. Namun, kita bisa jadi tidak sepenuhnya memahami kejadian itu. Karena itu, kita perlu berpikir lebih panjang ketika hendak mengomentari kejadian itu di media sosial. Memaki, mengolok-olok, melecehkan, maupun memberi julukan buruk sangatlah berbeda dari kritik.

Kedua, kita bisa jadi tidak tahu bahwa suatu peristiwa yang kita komentari punya tautan dengan soal lain maupun orang lain. Ketika seseorang berbuat kesalahan dan dipublikasi di media sosial, kita seakan-akan terdorong untuk segera berkomentar meskipun pemahaman kita tentang hal itu hanya sepotong. Saya tidak tahu apakah kita merasa cukup menyesal ketika kemudian kita mendengar kabar ayah tersebut meninggal dunia. Apakah kita kemudian juga berpikir bahwa siswi tersebut memang telah berbuat keliru, tapi apakah perisakan yang demikian hebat itu bukan hukuman yang berlebihan?

Ketiga, bahwa media sosial punya karakter viral—apapun yang sudah diunggah di media sosial dapat menyebar luas dengan cepat. Cerita bagus akan berdampak positif, sebaliknya kabar buruk berpotensi memancing komentar yang bisa saja berlebihan. Penyebaran yang luas menjadikan pemakai medsos yang semula tidak tahu menjadi tahu. Sayangnya, komunikasi tidak selalu berjalan mulus 100%: ada informasi yang belum tersedia, hilang, atau dibuang, ada pula yang ditambah agar menjadi lebih seru.

Keempat, komentar yang beredar melalui media sosial juga berpotensi mengalami amplifikasi. Seperti ketika kita bernyanyi tanpa mikropon, suara kita mungkin hanya terdengar dalam jarak 5 meter. Dengan mikropon dan loudspeaker, suara kita bisa terdengar 500 meter—semakin keras dan semakin memekakkan telinga. Itu pula yang dapat terjadi di media sosial. Komentar yang beredar lebih dulu terus dibumbui sehingga semakin pedas.

Penghakiman melalui media sosial dapat menimbulkan efek mengerikan. Sejumlah kejadian perisakan telah memakan korban dengan cara menghilangkan nyawa sendiri (kasus Megan Meier, Amanda Todd, Jessica Laney, dan banyak lagi). Tidak setiap orang sanggup menahan tekanan sosial.

Merisak, terlebih dengan kata-kata yang mengerikan, bukanlan cara yang tepat untuk menyadarkan kembali seseorang yang kita anggap berbuat kesalahan. Pelajaran dari peristiwa ini seyogyanya sudah cukup untuk membuat kita menahan diri dari hasrat untuk merisak dan menghujat siapapun, terlebih lagi di media sosial. Berpikirlah ulang bila ingin merisak orang lain. (sumber ilustrasi: rappler.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler