x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenal Sarbini, Kepala Badan Pusat Statistik Pertama

Perstatistikan negeri ini ternyata dibangun oleh tangan-tangan istimewa. Mereka bukan orang sembarangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahukah Anda siapa kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang pertama? Dia adalah Sarbini Sumawinata. Mungkin karena kebanyakan piknik, meski sudah bekerja di BPS tak kurang dari lima tahun lamanya, saya baru tahu jawaban dari pertanyaan itu beberapa waktu yang lalu, ketika membaca buku Rizal Mallarangeng berjudul Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992.

Ketika Orde Lama runtuh, Sukarno mewariskan kondisi ekonomi yang karut-marut. Betapa tidak, ketika ia lengser, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita hanya US$300, inflasi mencapai tiga digit, dan utang negara terus meroket. Karena itu, masa awal Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto merupakan periode sulit. 

Pemulihan kondisi ekonomi nasional merupakan fokus utama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kala itu, ada sekolompok ekonom yang memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan arah pembangunan ekonomi nasional. Mereka kerap disebut “Mafia Berkeley”. Meski faktanya, sebagain besar mereka merupakan jebolan Universitas Berkeley, Amerika Serikat, sebutan itu sebetulnya lebih melekat pada haluan ekonomi yang mereka anut: liberalisasi ekonomi.

Di bawah komando Prof. Widjojo Nitisastro, Mafia Barkeley berhasil mengubah haluan ekonomi nasional 180 derajat, dari yang semula sosialis di masa Orde Lama menjadi pro-pasar dan kapitalis. Arus liberalisasi ekonomi kian dahsyat, ketika mereka yang semula hanya bermain di belakang layar sebagai tim penasehat ekonomi Pak Harto, menduduki sejumlah jabatan penting di kabinet.

Dominasi negara dalam perekonomian mulai dipreteli dengan sejumlah deregulasi. Tujuannya jelas: mendorong bekerjanya mekanisme pasar. Pintu investasi asing dibuka selebar-selebarnya. Tidak membikin heran jika saat itu perekonomian nasional didominasi oleh pemodal asing dan keterunan Cina. Sementara itu, pengusaha pribumi kian terpinggirkan karena kalah bersaing.

Didorong oleh semangat nasionalisme dan kekhawatiran bahwa arah pembangunan nasional telah melenceng jauh dari cita-cita pembangunan nasional yang digariskan oleh para pendiri bangsa, di haluan yang berbeda, sejumlah tokoh angkat suara. Mereka yang umumnya cenderung sosialis melayangkan kritik yang pedas dan bertubi-tubi terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru kala itu.

Kritik mereka disampaikan dengan cara yang cerdas, khas kaum cerdik pandai: tulisan. Mereka mengkritik Mafia Berkeley melalui kolom opini yang dimuat di berbagai koran terkemuka saat itu, seperti Indonesia Raya, Pedoman, dan Merdeka. Menurut mereka, liberalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah Orde Baru sudah kebablasan dan harus direm.

Perang gagasan yang dilancarkan melalui media massa tersebut ternyata sangat efektif. Artikel-artikel kritis yang ditulis oleh sejumlah tokoh terkemuka kala itu ternyata sangat ampuh dalam mengipasi semangat penolakan, khususnya di kalangan mahasiswa, terhadap sistem ekonomi yang pro-pasar dan kapitalis.

Puncaknya adalah peristawa Malapetaka Limabelas Januari (Malari) pada 1974 yang menjadi titik balik perubahan arah kabijakan pembangunan ekonomi nasional menjadi lebih pro kepada investasi dalam negeri dan proteksionis. Gelombang protes terhadap dominasi modal asing tersebut berujung kerusuhan masal yang melumpuhkan Jakarta selama dua hari. Tak kurang 1.000 mobil, sebagian besar buatan Jepang, dibakar di jalan-jalan Ibu Kota.

Inilih yang diulas Rizal Mallarangeng dalam bukunya. Peran gagasan dan pemikirnya dalam memengaruhi arah pembangunan ekonomi nasional pada masa Orde Baru.

Terus apa kaitannya tulisan yang panjang lebar ini dengan Kepala BPS yang pertama?

Menurut Rizal, dari sekian banyak tokoh yang meramaikan perang gagasan kala itu, ada empat tokoh yang sangat menonjol dan berpengaruh dalam mengkritisi pilihan kebijakan ekonomi Orde Baru kala itu. Mereka adalah Mohammad Hatta, Soedjatmoko, Sarbini Sumawinata, dan Mochtar Lubis.

Masih menurut Rizal, dari keempat tokoh tersebut, Sarbini merupakan yang paling mahir berbicara secara teknis dan menguasai kosakata yang khas dalam disiplin ilmu ekonomi. Ia merupakan tokoh yang paling berhak menyandang “gelar” sebagai the development economist, ekonom pembangunan.

Sarbini belajar ekonomi di negeri Belanda di bawah bimbingan Prof. Tinbergen. Anda yang belajar ilmu ekonomi tentu pernah mendengar nama itu. Dia adalah ilmuwan Belanda pertama yang meraih Hadiah Nobel di bidang ekonomi pada 1969. Setelah menamatkan pendidikan di negeri Belanda, Sarbini kemudian melanjutkan pendidikan ke Universitas Harvard untuk meraih gelar master di bidang ekonomi.

Sarbini merupakan Kepala Biro Pusat Statistik—sebutan lawas untuk Badan Pusat Statistik—yang pertama dan menjabat selama sepuluh tahun, dari 1955 hingga 1965. Membaca ulasan Rizal tentang sepak terjangnya membuat saya bangga. Perstatistikan negeri ini ternyata dibangun oleh tangan-tangan istimewa. Mereka bukan orang sembarangan. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu