x

Presiden Joko Widodo dikeremuni oleh ratusan Diaspora saat berkunjung ke Auditorium Palace of Fine Arts, San Francisco, 16 Februari 2016. Foto: Laily Setpres

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Begini Bela Negara ala Diaspora - Herry S. Utomo

Strategi pencegahan dan berharap peneliti andal tingkat dunia bisa dicapai melalui pendidikan dalam negeri saja adalah konsep yang sangat naif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tiba-tiba Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan bahwa program Bela Negara perlu diterapkan di perguruan tinggi guna mencegah para lulusan terbaik, peneliti, dan ilmuwan universitas menjadi diaspora atau pergi bekerja di luar negeri. "Peneliti di Indonesia yang pintar-pintar malah diaspora, ke luar negeri. Mereka membangun luar negeri menjadi lebih baik, ini perlu dipertanyakan," kata Nasir pada akhir Maret lalu.

Ada sejumlah catatan atas rencana Menteri tersebut. Pertama, pencegahan itu adalah kebijakan yang kontraproduktif, terutama bila tidak diikuti oleh perbaikan fundamental dan kenaikan anggaran. Sekadar contoh, Cina mengalokasikan 1,98 persen dari produk domestik brutonya untuk keperluan riset, sementara Indonesia hanya 0,08 persen. Amerika Serikat mengalokasikan 2,79 persen dan Jepang 3,34 persen. Jadi, komitmen Cina mengalokasikan anggaran risetnya adalah 23 kali lipat daripada Indonesia. Ini perbandingan yang sangat mencolok dan karenanya memerlukan kemauan politik yang kuat untuk menutup kesenjangan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kembali belajar dari Cina, pada saat Cina tidak dapat memberikan fasilitas pembelajaran yang memadai sesuai dengan standar internasional, pemerintah Cina mengambil kebijakan yang berani dengan mengirimkan 3.000 mahasiswa setiap tahun untuk belajar di luar negeri. Pada 1997, ilmuwan Cina di AS berjumlah 293 ribu. Saat ini peneliti diaspora Cina di AS berjumlah lebih dari 400 ribu.

Untuk menarik kembali ilmuwan diaspora mereka, Cina meluncurkan kebijakan yang memberikan insentif dan tawaran fasilitas yang sangat baik. Kini ilmuwan diaspora Cina merupakan tulang punggung tim peneliti berkaliber dunia dan setiap tahun telah menghasilkan jumlah paten yang sangat kompetitif bila dibandingkan dengan AS. Seandainya Cina menerapkan kebijakan "Bela Negara" untuk mencegah ilmuwan berprestasi untuk berdiaspora ke AS, sudah bisa dipastikan Cina tidak akan bisa sehebat sekarang.

Kedua, banyak ilmuwan kita yang berprestasi dan berperan di luar negeri. Bukan saja karena mereka cemerlang, tapi juga karena dukungan optimal fasilitas laboratorium yang canggih, kondisi lingkungan yang fair dan kompetitif, serta dana penelitian yang sangat memadai. Dengan demikian, penelitian yang dilakukannya sangat kompetitif dan menghasilkan paten-paten yang bermanfaat untuk membuka ekonomi baru. Tidak semua mahasiswa pandai yang belajar di Amerika, misalnya, memutuskan untuk meniti kariernya di sana. Bahkan, sebagian besar kembali ke Tanah Air. Tapi, prestasi mereka kurang terlihat. Bukan karena mereka tidak pandai, melainkan karena fasilitas dan kondisi pendukung yang masih kurang memadai. Faktor inilah yang perlu mendapat perhatian serius. Ini juga menjadi bukti bahwa pencegahan saja bukan strategi yang baik.

Ketiga, Menteri adalah pejabat eksekutif yang diberi wewenang untuk mengeksekusi kebijakan dan dilengkapi dengan semua peranti yang diperlukan. Tidak ada alasan untuk tidak mengubah kondisi ini. Ini pekerjaan di depan mata yang memerlukan perhatian dan dedikasi. Jadi, tidak perlu lari dari tantangan ini, apalagi kalau tujuannya adalah untuk membangun peneliti-peneliti yang andal.

Keempat, dalih "Bela Negara" yang sering digembar-gemborkan dan dituduhkan kepada diaspora itu juga menandakan keterbatasan pemahaman akan diaspora. Kalau ada anggapan bahwa diaspora tidak melakukan bela negara, itu salah. Sebab, dengan menyandang nama diaspora, sudah otomatis terkandung unsur cinta tanah air Indonesia atau semangat bela negara. Warga Indonesia bisa tinggalkan keterkaitan apa pun dengan Tanah Air untuk sepenuhnya menjadi warga Amerika dan itu sah-sah saja. Diaspora-diaspora inilah yang kini sedang gigih melakukan fungsi diplomasi publik untuk menjembatani alih teknologi, meningkatkan volume perdagangan, investasi, atau pariwisata serta program-program lainnya.

Salah satu aset diaspora yang sangat berharga adalah kemampuan alami yang mereka miliki karena interaksinya dengan penduduk setempat. Mereka berperan sebagai duta-duta bangsa untuk melakukan diplomasi lunak antar-orang. Fungsi ini tidak bisa digantikan oleh yang lain dalam membantu Indonesia secara langsung. Jadi, amat disayangkan kalau pemerintah dan pejabat tinggi tidak memahami aset bangsa yang luar biasa ini.

Strategi pencegahan, proteksi yang kaku, dan berharap peneliti andal tingkat dunia bisa dicapai melalui pendidikan dalam negeri saja adalah konsep yang sangat naif. Dunia sudah berubah dan mobilitas orang, informasi, dan teknologi sudah demikian tinggi. Kalau kita hanya menerapkan kebijakan kuno dengan cakupan kecil, kita akan ditinggalkan. Dalam hal riset dan teknologi, zaman sekarang ini adalah era "competing talents", bukan era isolasi.

Herry S. Utomo

President Indonesian Diaspora Network USA

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 13 April 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler