x

Petani menggarap lahan pertanian kentang yang ditumpangsari dengan bawang di Desa Argosari, Senduro, Lumajang, Jawa Timur, 30 Januari 2016. Material vulkanik berupa abu menyebabkan sedikitnya 3.000 hektar (ha) lahan pertanian yang ditanami sayur-mayu

Iklan

Cak Khudori

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cita Pembangunan Pedesaan

Gemuruh pembangunan selama puluhan tahun tak hanya memperbesar kue ekonomi, tapi juga menghasilkan residu ketimpangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gemuruh pembangunan selama puluhan tahun tak hanya memperbesar kue ekonomi, tapi juga menghasilkan tiga residu ketimpangan: antarwilayah, antarsektor, dan pendapatan antarpenduduk. Trio ketimpangan ini kian hari kian mencemaskan. Pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi satu dekade terakhir ini hanya dinikmati segelintir pihak. Pembangunan tidak menyejahterakan semua lapisan warga.

Cita industri yang dibangun, untuk melompat dari basis ekonomi pertanian, tidak membuahkan hasil. Industri berbasis bahan baku impor hanya menghasilkan industrialisasi semu alias prematur. Industrialisasi seperti ini dicirikan oleh, antara lain, penurunan pangsa nilai pendapatan domestik bruto pertanian tidak diikuti penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja di pertanian secara proporsional. Industrialisasi di Indonesia telah memeras petani. Petani memikul beban industri. Ketika kue ekonomi yang kian kecil menjadi rebutan banyak orang, logis kiranya pertanian kian "involutif", yang ditandai dengan masifnya level kemiskinan di perdesaan.

Memang ada argumen yang selalu menjadi apologi: kesenjangan pendapatan biasa terjadi pada tahap awal pembangunan. Namun, bagi Indonesia, argumen ini sulit diterima. Gemuruh pembangunan sudah dimulai sejak 1960-an, bersamaan dengan Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Pada tahun itu, ekonomi Indonesia lebih baik daripada Malaysia. Bahkan dengan Korea Selatan hampir sama. Dibanding Jepang pun tidak ketinggalan jauh. Pada 1960, Indonesia dan Korea Selatan memiliki pendapatan per kapita US$ 100. Namun, kini Korea Selatan jauh meninggalkan Indonesia dengan pendapatan per kapita US$ 31 ribu-enam kali pencapaian Indonesia. Tentu ada yang salah pada desain dan arah pembangunan Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak ada salahnya menengok Cina. Cina, yang memulai pembangunan ekonomi pada 1980, berhasil menekan angka kemiskinan secara drastis: dari 64 persen (1981) menjadi tinggal 7 persen (2007). Tidak hanya mengurangi jumlah orang miskin, Cina juga berhasil membawa 65 persen penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan menengah-atas. Sebaliknya, meskipun anggaran anti-kemiskinan naik berlipat-lipat, Indonesia hanya bisa menekan angka kemiskinan tak lebih dari 5 persen. Kelas menengah yang dicetak hanya 10,6 persen.

Salah satu strategi Cina yang patut dicatat adalah upaya kerasnya dalam menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. Cina mengawalinya dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan konsentrasi orang miskin di pedesaan, pembangunan pertanian menjadi solusi tepat karena tidak mensyaratkan sumber daya manusia berpendidikan dan berketerampilan tinggi. Saat ini, 63 persen penduduk miskin Indonesia berada di pedesaan. Mayoritas bekerja di sektor pertanian. Pengalaman Cina seharusnya meyakinkan kita bahwa jalan yang selama ini ditempuh, yang meninggalkan sektor pertanian dan membangun industri foot loose (tak dibatasi lokasi dan wilayah operasinya), amat tidak tepat. Sudah saatnya hal ini dikoreksi ulang.

Duet Jokowi-JK, seperti tercantum dalam Nawa Cita yang mengusung ide "membangun dari pinggiran dan pedesaan", mencoba mengoreksi "kesalahan" jalan pembangunan itu. Untuk mewujudkannya, ditempuh cara kerja-kerja teknokratis seperti isi roh Undang-Undang Desa. Harus disadari benar, selain jadi lokus kemiskinan, saat ini kualitas sumber daya manusia di pedesaan amat rendah. Penguasaan modal (lahan dan pendanaan) terbatas. Kapasitas desa yang lemah semakin tunadaya (powerless) lantaran kebijakan pembangunan nasional menempatkan desa/pedesaan hanya sebagai pemasok tenaga kerja murah, penyedia bahan mentah, dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan di wilayah lain atau di kota oleh pihak lain).

Untuk mengikis trio ketimpangan, pembangunan pedesaan lewat dua cara menjadi keniscayaan. Pertama, redistribusi aset/modal. Pada 2016, jumlah dana desa mencapai Rp 46,8 triliun-naik dua kali lipat lebih dari tahun 2015 (Rp 20,7 triliun). Aliran modal besar ke desa ini akan menciptakan dampak berganda luar biasa, apabila pada saat yang sama diiringi dengan redistribusi aset berupa lahan. Janji duet Jokowi-JK yang akan membagikan 9 juta hektare lahan kepada petani dan meningkatkan penguasaan lahan dari 0,2 hektare menjadi 2 hektare per keluarga perlu ditunaikan. Penguasaan aset lahan akan memperbesar kapasitas petani.

Kedua, pembangunan desa harus diorientasikan pada skala kawasan, bukan bertumpu pada pendekatan administratif. Desa harus dirancang terintegrasi dengan industri pengolahan. Sumber daya ekonomi sebisa mungkin ditahan di desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah. Suntikan inovasi dan adopsi teknologi menjadi keniscayaan agar nilai tambah dan dampak berganda sebesar-besarnya dinikmati masyarakat pedesaan. Jika desain ini bisa diterapkan dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tidak lagi inferior. Desa menjanjikan nilai tambah dan kehidupan lebih baik. Ini akan menjadi daya tarik lulusan perguruan tinggi untuk kembali ke desa. Perlahan tapi pasti, kemiskinan akan terkikis. 

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Jumat, 15 April 2016

Ikuti tulisan menarik Cak Khudori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler