x

Demo Anti Poligami/TEMPO/ Santirta.

Iklan

Galina Sophia Rizky

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memperjuangkan Poligami Sejak Masa Kartini

Sejak ia lahir, tradisi poligami merupakan sebuah budaya yang sudah melekat secara turun-temurun pada masyarakat Jawa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Siapa kiranya yang tidak mengenal sosok emansipasi wanita Indonesia asal Jepara bernama R.A Kartini. Sejak duduk di sekolah dasar, tentu kita sudah ‘berkenalan’ dengan sosok ini, karena beliau telah dinobatkan menjadi pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Republik Indonesia nomor 108 tanggal 2 Mei 1964. Banyak hal yang menjadi perhatian Kartini pada masa itu, salah satunya mengenai masalah poligami. Kartini dilahirkan di Jawa dan merupakan keturunan Jawa pula. Sejak ia lahir, tradisi poligami merupakan sebuah budaya yang sudah melekat secara turun-temurun pada masyarakat Jawa. Seolah-olah bahwa poligami merupakan warisan nenek moyang yang tidak hilang keberadaannya sampai saat ini. Sejarah poligami adalah sejarah umat manusia, hal ini disebabkan karena di setiap masa sejak zaman dunia kuno sampai saat ini kebiasaan poligami tidak pernah hilang.

Peradaban-peradaban besar di zaman kuno seperti Mesir, Babilonia dan juga peradaban besar lainnya mengalami fenomena poligami terutama di kalangan para raja. Dulu raja-raja melakukan poligami untuk tujuan politis. Sama halnya dengan masa kerajaan di Indonesia, para raja melakukan poligami selain untuk alasan politis juga untuk memperkuat kedudukan. Raja akan dianggap gagah dan perkasa ketika memiliki banyak istri. Selain itu, kedudukan wanita saat itu juga amat rendah, wanita harus selalu tunduk kepada laki-laki dan wanita tidak memiliki kebebasan sejati. Mengenai poligami juga dibahas dalam tradisi penulisan pada masa kerajaan. Salah satu serat yang ditulis adalah Serat Candrarini yang mengisahkan tentang bagaimana wanita Jawa seharusnya berperilaku. Dalam serat ini juga membahas mengenai bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap agar rumah tangganya langgeng meskipun suaminya berpoligami. Hal ini juga menjadi bukti nyata bahwa poligami menjadi sebuah budaya di masyarakat Jawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada masa itu para bangsawan Jawa dan bahkan daerah lain di Nusantara juga melakukan poligami. Hal ini juga yang dialami oleh Kartini, ayahnya berpoligami untuk alasan politis dan tradisi. Dikarenakan ibu kandung Kartini bukan dari kalangan bangsawan, sedangkan adat Jawa mengharuskan seorang bangsawan menikah juga dengan keturunan bangsawan, alhasil ayah Kartini juga harus melakukan poligami.  Seperti halnya Kartini di masa dewasa, ia juga dinikahkan dengan bangsawan, padahal Kartini sebenarnya tidak menginginkan hal itu terjadi. Pada masa itu fenomena poligami terjadi di kalangan bangsawan, berbeda halnya dengan saat ini dimana poligami dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat kalangan atas sampai bawah. Hal ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan. Jika pada saat itu alasan politis digunakan untuk berpoligami, lalu mengapa saat ini poligami banyak dilakukan oleh masyarakat biasa?

Ada sebuah alasan kuat yang bisa dijadikan ‘senjata’ oleh para penganut poligami saat ini, alasan tersebut adalah karena Islam memperbolehkan poligami. Poligami sudah terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad menegakkan kembali tongkat Islam dan menyempurnakan ajaran para nabi sebelumnya. Hal ini dapat dilihat pada kebiasaan Raja Mesir, Raja Yunani, Persia, dan peradaban lainnya. Bahkan poligami sudah sering dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa yang disebut masa jahiliyah. Poligami dilakukaan tanpa adanya batasan jumlah wanita yang dinikahi. Selain itu, dulu juga seorang ibu tiri bisa dijadikan sebagai warisan, jika anak itu tidak menyukai ibu tirinya maka ia boleh menjualnya. Wanita saat itu menjadi ‘barang’ yang bisa diperjuabelikan. Kedatangan ajaran Islam justru untuk meluruskan kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap kaum wanita pada saat itu. Islam kemudian menetapkan aturan yang tepat dalam hal poligami. Jika melihat ajaran Islam, maka syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang akan melakukan poligami adalah mampu bertindak adil.

Keadilan merupakan hal yang pasti diperlukan oleh setiap orang, terutama bagi wanita yang suaminya melakukan poligami. Menjadi sebuah hak asasi setiap laki-laki untuk melakukan poligami, karena pada hakikatnya poligami merupakan sesuatu yang tidak dilarang di Indonesia dan juga dalam ajaran Islam. Meskipun demikian, hal ini sebaiknya tidak dijadikan celah bagi seseorang yang ingin berpoligami, tetapi tidak mampu bertindak adil. Perlu disadari bahwa ukuran keadilan seseorang itu tidak dapat diukur oleh diri sendiri, bahkan juga oleh seorang istri yang dimadu. Bisa saja seorang istri merelakan dirinya dimadu, namun dalam hatinya ia merasakan sakit yang tidak dapat ia katakan. Akibat rasa sakit inilah yang kemudian menjadikan ukuran penilaian keadilan itu menjadi berkurang, hasilnya adalah suami tidak lagi dinilai adil karena menyakiti hati salah seorang istri. Hal ini jelas menyalahi syarat yang terdapat dalam ajaran Islam. Sedangkan jika wanita itu memang berkata bahwa ia rela untuk dimadu, lantas siapa yang bisa menjamin bahwa hatinya tidak akan sakit? Karena hati seseorang tidak akan ada yang bisa melihat dan mengetahuinya.

Saat ini banyak tokoh Islam dan ulama yang melakukan poligmi. Apabila alasan untuk mencontoh sunah Rasul yang menyebabkan seseorang berpoligami, maka pertanyaannya adalah apakah sunah yang lainnya yang lebih urgent sudah dijalankan? Sebaiknya jangan hanya terpacu untuk melakukan poligami. Apalagi jika alasan yang menjadi dasar adalah untuk mencapai kepuasan seksual. Perlu disadari bahwa Nabi Muhammad sendiri melakukan poligami atas perintah Tuhan dan bertujuan untuk menolong para janda-janda tua yang ditinggal perang oleh suaminya dan meninggal saat perang, bukan dengan wanita-wanita masih muda dan cantik.

Secara hukum, di Indonesia juga poligami adalah sesuatu yang tidak dilarang. Hal ini jelas terlihat dalam peraturan perkawinan pada pasal 3 ayat 2 UU perkawinan, bahwa poligami itu diizinkan secara hukum dengan syarat-syarat yang tercantum yaitu jika istri tidak mampu menjalankan kewajbannya, memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam UU perkawinan pun tetap ditegaskan bahwa monogami lebih diutamakan. Kasus perceraian akibat poligami semakin meningkat, ini menunjukkan bahwa lebih baik jika poligami tidak dilakukan, kecuali jika memang benar-benar ada alasan yang jelas dan tidak ada cara lain. Lebih baik jangan mengutamakan ego dan keinginan pribadi tanpa memikirkan pihak lain.

Seperti halnya Kartini, sampai saat ini juga masih banyak yang berjuang menentang kesewenangan poligami. Bukan untuk melarang poligami, tetapi agar poligami dilakukan ketika memang benar-benar dibutuhkan dan memperhatikan juga rasa kemanusiaan. Kenyataannya saat ini laki-laki yang berpoligami memiliki istri yang cantik, mampu menjalankan kewajibannya, dan bahkan mampu memberikan keturunan. Hal ini tidak sesuai dengan syarat yang terdapat dalam UU Perkawinan di Indonesia. Status wanita dalam hal ini bisa dibilang kembali direndahkan. Inilah yang Kartini perjuangkan, jangan sampai kaum wanita itu direndahkan. Dulu wanita dijadikan budak dan harus bersedia diperlakukan bagaimanapun, saat ini dan kedepannya hal itu jangan sampai terjadi.

Bisa diakui bahwa kata poligami sendiri adalah kata yang cukup mengerikan jika didengar oleh sebagian besar kaum perempuan. Ini menunjukkan bahwa poligami seolah-olah merupakan suatu ancaman bagi kehidupan seorang perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya jumlah angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya akibat poligami. Data statistik yang terdapat pada website Kementrian Agama Republik Inonesia menyatakan bahwa pada 2004 menurut Nasyaruddin terjadi 813 perceraian akibat poligami. Pada 2005 angka itu naik menjadi 879 dan mengalami kenaikan juga pada tahun selanjutnya yakni sejumlah 983. Fenomena poligami juga ternyata menyebabkan terlantarnya istri dan anak akibat perceraian. Memang ada juga sebagian perempuan yang mau dan bisa bertahan dalam suasana rumah tangga poligami, namun tetap saja lebih banyak lagi yang menentangnya.

Satu alasan lagi yang biasanya dilontarkan oleh orang yang berpoligami adalah daripada berzina, lebih baik menikah lagi. Hal ini jelas mencerminkan bahwa alasan dia menikah hanyalah untuk pemuasan hasrat semata. Padahal untuk berpoligami seharusnya tidak semudah itu jika ditinjau secara hukum di Indonesia maupun secara hukum Islam. Kenyataannya poligami di Indonesia lebih banyak mendatangkan kerugian dibanding keuntungannya. Dibuktikan dengan maraknya kasus perceraian, kemudian poligami yang tidak memandang rasa kemanusiaan dan hanya memikirkan diri sendiri.

Poligami menjadi hal yang kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang mendukung, namun di sisi lain banyak juga yang menolak. Akan tetapi dukungan dan penolakan ini tentu didasarkan atas alasan dari setiap orang yang menentang maupun yang mendukung. Poligami sendiri bukan sesuatu yang menjadi permasalahn, karena poligami jelas diperbolehkan sepanjang tidak menyalahi aturan dan syarat yang ada. Hal yang menjadi permasalahan adalah kurangnya perhatian terhadap kaum wanita yang dimadu. Terkadang orang seenaknya melakukan poligami tanpa dasar yang jelas. Kesetaraan gender jelas menuntut agar poligami tidak dilakukan. Perjuangan yang harus dilakukan saat ini adalah perjuangan untuk mengembalikan kesadaran bahwa tidak semudah itu untuk melakukan poligami. Perjuangan yang juga harus dilakukan untuk membuka mata setiap orang bahwa orang yang berpoligami harus mampu menjamin kebahagiaan istri-istrinya secara lahir dan batin. Jika tidak mampu menjamin kebahagiaan pihak-pihak terkait, maka lebih baik niat untuk beristri lebih dari satu itu dikesampingkan, terutama jika istri mampu memenuhi semua kewajibannya sebagai istri.

Kita juga tahu bahwa tokoh pejuang penentang poligami yakni Kartini sampai akhir hayatnya tetap menentang masalah poligami. Hal ini dikarenakan dia juga ikut merasakan tradisi poligami yang kental di Jawa. Kartini memperjuangkan poligami agar tidak merendahkan lagi status kaum wanita. Agar wanita tetap dihormati dan dihargai, bahkan dalam Islam sendiri wanita adalah sosok yang dijunjung tinggi. Jika permasalahan poligami adalah hak asasi setiap laki-laki, maka rasa tidak ingin dimadu juga adalah hak asasi setiap wanita. Jelaslah dalam hal ini sebaiknya jika tidak ada alasan yang kuat, lebih baik jangan melakukan poligami. Dengan demikian, perjuangan Kartini belum selesai, wanita Indonesia sebagai penerus agar status kaum wanita tidak direndahkan.

Ikuti tulisan menarik Galina Sophia Rizky lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler