x

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ekspresi Terhadap Kepemimpinan Ahok

Jakarta yang butuh pemimpin yang dianggap baik. Kepemimpinan yang bagaimana?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Nelayan memang diberikan tempat tinggal di Marunda, tapi nyari duitnya di mana?” nada Ridwan Saidi cukup tinggi mempermasalahkan soal ini. Ia tengah mempersoalkan kepemimpinan Kota Jakarta saat ini dan masa depan. Lebih fokusnya tentang kepemimpinan Ahok yang diakui tegas dan lugas, tapi tidak memikirkan Jakarta secara jangka panjang.

Diskusi Ekspresi Terhadap Kepemimpinan Ahok memang telah lewat seminggu, bertempat di salah satu kafe di Kebayoran Baru, Jakarta. Dihadiri oleh Ridwan Saidi (budayawan), Airlangga (pengamat politik), dan Eddy Suparno (Sekjen Partai PAN). Diskusi yang tidak jauh-jauh berakhir dengan politik. Mau tidak mau dan secara sadar atau tidak sadar, sepertinya kehidupan masyarakat lekat dengan politik. Bahkan untuk makan pun, masyarakat harus punya taktik jitu agar tidak kelaparan. Lalu apa yang terjadi pada masyarakat yang lugu, hidup apa adanya, dan menerima keputusan dari ‘atas’.  

Mata pencaharian nelayan bagaikan dimusnahkan dengan membangun kota baru atau pembangunan modern yang bising dibicarakan oleh pasukan elit. Dan juga masyarakat yang bukan elit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ridwan Saidi mengatakan Jakarta tidak lagi ada pertanian, jadi janganlah dihilangkan juga kehidupan nelayan. Nenek moyang Indonesia dikenal sebagai pelaut, Jakarta yang termasuk bagian dari Indonesia seharusnya tetap menjunjung, memelihara, dan memberikan solusi terbaik tentang ini. Ridwan Saidi mengambarkan orang Jakarta yang welcome kepada siapa saja yang datang ke Kota Jakarta. Mau bekerja ataupun tidak punya KTP, silahkan saja, “Asalkan jangan ganggu banda gue!”

Menurutnya Kota Jakarta perlu punya Kampung Nelayan. Nelayan itu bagian dari peradaban dan tidak boleh dihabisi. Beliau tidak bisa membayangkan membangun kota tanpa nelayan. Indonesia adalah negeri pesisir, negeri bahari, namun yang berkaitan dengan pembangunan resort tidak ada yang menyangkut hal ini. Semua bertema apartemen. Nelayan pun jadi tidak bisa lagi mencari nafkah dengan itu. Inilah yang membuatnya risau.

Namun, saya tidak setuju bila beliau mengatakan bahwa “Negara ini adalah negara gembel, bikin kereta saja tidak jadi-jadi.” Apakah kita tetap menjadi miskin atau gembel? Bukan berarti saya setuju dengan Ahok terhadap keputusannya ini atau rencana pembangunannya. Ucapannya pun membuat saya risau. Untungnya Airlangga dan Eddy Suparno menekankan tentang konsep pembangunan Kota Jakarta.

Selain konsep, Eddy Suparno mengeluarkan pendapatnya bahwa Pilkada DKI bukan mengarah pada dukungannya tetapi bicara konsep dan gagasan. Lebih ke makro untuk kepentingan warga DKI yang membutuhkan banyak hal agar bisa dibereskan. Secara kasat mata yang bisa kita lihat, Jakarta adalah macet di mana-mana, polusi, banjir, dan sebagainya. “Jakarta perlu desain ulang,” usulnya. Dulu Jakarta tidak terkonsep pembangunan ekonominya, sehingga perlu membangun Jakarta yang berkesinambungan untuk waktu yang lebih panjang. Inilah pandangannya siapa yang terbaik untuk memimpin Jakarta pada generasi berikutnya.

Lain halnya dengan Airlangga, jika pemilhan berdasarkan pada politik siapa yang paling kuat, Jakarta akan tetap sama. Imbas dari pegusuran harus menjadi pertimbangan saat Pemerintah membuat keputusan atau kebijakan. Seringkali kebijakan tersebut diambil membutuhkan legitimasi secara pengetahuan dan intelektual. Sayangnya, intelektual itu kerap memberikan masukan kepada Pemerintah tidak seluruhnya berpihak kepada kepentingan warga. Ada yang hanya memberikan stempel dan argumen-argumen yang tidak menampilkan kritis pada pernyataannya. Hal tersebutlah yang harus diberikan kritik dan pembanding.

Artinya, tugas kita sebagai warga perlu melakukan kontrol terhadap Pemerintah seperti sektor lingkungan dan ekologis. Kedua hal yang terkesan plin-plan. Menurutnya hal ini disebabkan kita hanya concern pada soal figure, sosok, dan isu-isu yang tidak terkait yang terjadi masalah di masyarakat. Sekarang ini butuh penyelesaian bagaimana mengorganisir aspirasi dan kepentingan masyarakata sehingga Pemerintah sadar bahwa memang ada masalah – dan harus ditangani.

Sebagai pengamat politik, Airlangga mengungkapkan politik bukan saja mendengarkan aspirasi tapi juga bicara power. Pemerintah harus didesak untuk membangun masyarakat kritis agar ada kekuatan politik secara kolektif. Kemampuan masyarakat inilah yang bisa membuat Pemerintah memerhatikan keluhan, ancaman, pergusuran, dan kepentingan bisnis yang diutamakan pada kepemimpinan Ahok.

Dari segi administrasi, birokrasi sudah terbenah dengan baik. Yang masih menjadi masalah yaitu pertimbangan ekologis dan sosial bila Pemerintah melakukan program-program, misalnya penataan wilayah. Pergusuran yang terjadi pada nelayan, Airlangga tidak setuju. Baginya masalah ini bisa dilakukan penataan dan rehabilitasi agar situs seajrah, cagar budaya dan komunitas tidak hancur. Opininya tidak berbeda dengan Ridwan Saidi yang menilai kampung nelayan punya nilai sejarah sendiri. Jika bicara situs, cagar budaya, dan konunitas yang bisa hilang, saya pun tidak setuju mengenal ini.

Kembali ke persoalan kepemimpinan yang saya tangkap cukup jelas adalah karakter. Karakter ini yang lemah pada diri Ahok. Mengeluarkan amarah, mengeluarkan kalimat dan sikap yang kasar di muka publik memang masih tidak sesuai di kepala saya. Begitu pula dengan ketiga pembicara di acara diskusi ini.

Lalu, kepemimpinan seperti apa untuk Kota Jakarta?

Bagi Eddy Suparno, membangun kota bukan sekadar konektivitas, transportasi, tapi juga komunikasi dan informasi. Tapi hal ini untuk masyarakat tertentu bukan masyarakat yang lebih luas. Termasuk sisi-sisi yang belum tersentuh. Ada masyarakat yang dari generasi ke generasi mencari rezeki di pasar tradisional, konsep ini akan dilakukan apa? Apa dilanjutkan atau dihilangkan? Tentu Eddy tidak setuju bila pasar tradisional dilenyapkan.

Kemudian Eddy juga mengkaitkan dengan biaya hidup tinggi  dan harga tanah yang juga tinggi di Jakarta. Tapi ini juga terjadi di Bali, Pak, jadi bukan Jakarta saja, mungkin juga kota-kota lain. Namun Eddy bicara soal kekhawatirannya bahwa jangan sampai yang tinggal di Jakarta ini hanya orang yang mampu membeli tanah ataupun masyarakat dengan tingkat ekonomi tertentu saja. Konsep Kota Jakarta harus jelas, ingin berkonsep smart city atau green city? Atau kembali pada masa Pemerintahan Suharto yang memindahkan Ibukota ke luar Jakarta.

Konsep yang baik untuk Jakarta bagi Eddy: Kota Jakarta harus dibangun modern berwawasan lingkungan dan teknologi. Kalau kita tidak memiliki teknologi, bagaimana kita bisa mengatur traffic jakarta yang sangat padat. Kota  Amsterdam berkonsep smart city yang akhirnya bisa mengatasi permasalahan kemacetan. Mereka juga bisa hemat energi, dengan melakukan pengotomatisan memadamkan lampu saat  suasana malam. Dan saat terang lampu otomatis terang. Penghematan energi bisa dilakukan seperti itu. Berbasis tekno dan ramah yang terjangkau bagi  masyarakat keseluruhan, termasuk budaya dan akar Jakarta yaitu sejarahnya. Sehingga  masyarakat ynag tidak tinggal di Jakarta, dapat memahami Kota Jakarta yang sangat kaya budaya dan sejarah. Dan kalau dikunjungi masih ada situsnya atau peninggalannya.

Tentang pergusuran, Eddy mengatakan perlu sosialisasi di awal – pendekatan yang baik untuk menghindarkan kericuhan maupun air mata. Ia juga menyebut memberanguskan mafia, gembong narkoba atau teroris yang datang dengan pasukan tentara dan sebagainya. Mereka juga punya hal untuk hidup di kota Jakarta. Menurut saya soal gembong dan mafia itu berada di tangan kepolisian, BNN, dan Presiden. Hohoho..

Dan opininya tentang kepemimpinan yang baik, ia mengatakan, Jakarta butuh pemimpin yang tegas. Tegas itu harus membuat keputusan yang kadang tidak populer dan itu ada pada diri Ahok. Ahok tegas dan lugas, dia telah terbukti bisa melakukan reformasi birokrasi dengan baik. Dia juga tidak sungkan bekerja siang dan malam. Memang kualitas pemimpin Jakarta tidak lebih seperti itu. Orang memang ada kelebihan dan kekurangannya.

Dan secara pribadi, Eddy berujar: Kalau bisa manusia itu dimanusiakan dan dihargai.  Jokowi bisa melakukan seperti itu. Penggusuran metode kemarin semakin banyak menimbulkan antipati kepada Ahok. “Saya pun ingin tahu juga konsep dan berdiskusi denganya.” Soal Ahok itu masalah karakter bukan potensi. Calon pemimpin Jakarta nantinya pun bisa dilihat dari sosialisasi yang dilakukannya.

Menurut Anda kepemimpinan seperti apa untuk Kota Jakarta

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu