x

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Menteri infrastruktur dan lingkungan Belanda Melanie Schultz van Haegen menandatangani nota kesepakatan kerja sama maritim antara kedua negara dengan disaksikan Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdan

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jokowi ke Belanda: Zaman IGGI Sudah Berlalu - Sam Pormes

Kunjungan Presiden Jokowi disoroti media Belanda dari sudut pandang “Penderitaan Kolonial”, tapi Indonesia memilih agendanya sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rezim Soeharto dulu banyak diberi bantuan dana dari Barat. Dari 1967 sampai 1991 bantuan untuk Indonesia itu dikoordinasi oleh Kelompok Antar-Pemerintah untuk Indonesia atau Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang didirikan dan diketuai Belanda. Pada 1968 jumlah bantuan US$ 325 juta.

Tembok emosi sudah diangkat. Tiba saatnya untuk menganalisis arti kunjungan Presiden Jokowi ke Belanda. Adagium kerja sama pembangunan Belanda dan Eropa dan kebijakan dagang internasional adalah “pertumbuhan ekonomi inklusif”. Pertumbuhan yang bermanfaat bagi pembangunan.

Lowongan kerja, pengentasan kemiskinan, pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur fisik dan sosial. Saat presentasi Presiden Jokowi, adagium ini tidak diucapkan, tapi kelihatan jelas. Di tahun-tahun mendatang pertumbuhan sekitar 5 persen akan bertambah sedikit. Pertumbuhan akan terjadi kalau dilakukan penghematan dan investasi yang efektif. Dengan kata lain: mengurangi pengeluaran pemerintah dan menambah penghasilan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, kita tidak bisa buru-buru. Jokowi baru menjabat Oktober 2014, satu setengah tahun lalu. Ia dibebani untuk melaksanakan kebijakan dan anggaran yang ditetapkan SBY pada 2015. Anggaran yang benar-benar milik Jokowi adalah anggaran 2016. Sebagai presiden baru ia memanfaatkan secara optimal ruangan yang ada di anggaran 2015.

Tindakan

Tindakan pertamanya yang besar adalah mencabut subsidi bahan bakar, yang populer disebut BBM (bahan bakar minyak). Jutaan pemilik mobil pun protes. Menurut Presiden, para pemilik mobil itu termasuk golongan yang tidak memerlukan subsidi. Jadi, mengapa memberi “orang kaya” subsidi. Siapa sebenarnya yang mengambil manfaat, Presiden Jokowi bertanya kepada para hadirin. “Anggota parlemen” jawaban hadirin serentak. Semua orang ketawa.

Pencabutan subsidi BBM menghasilkan US$35 miliar. Tindakan pintar Presiden lainnya adalah menaikkan investasi di infrastruktur. Membuka keterkucilan kawasan terpencil, terutama di provinsi-provinsi Papua. Program lengkap untuk memperbaiki pelabuhan, jembatan, dan membangun jalan akan terwujud tahun-tahun mendatang. Berdasarkan hasil yang tercapai setengah tahun belakangan ini, semua tanpa ragu akan terlaksana. Cita-cita yang sudah lama diidamkan, diagendakan paling atas. Jalur kereta api dari Makassar ke Manado. Ini semua penting untuk mempermudah akses masyarakat ke pasar.

Dalam hal ini hukum ekonomi universal diterapkan. Belanda juga banyak berinvestasi di bidang infrastruktur untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Tiap euro yang diinvestasikan untuk membangun jalan, rel kereta api, jalur pelayaran yang baru setelah tiga tahun menghasilkan pertumbuhan ekonomi senilai 1,80 euro.

Berinvestasi di infrastruktur sosial dan fisik merupakan inti kebijakan Jokowi untuk tahun-tahun mendatang. Ini diakui oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan UNDP. Agak provokatif Jokowi berseru: “Tanyalah kedutaan-kedutaan asing di Jakarta”.

Lingkungan hidup

Pertumbuhan inklusif berarti juga memperhatikan pembangunan dan lingkungan yang berkeseninambungan. Menteri Perdagangan Lembong menekankan hal ini pada business forum hari berikutnya. “Pembangunan yang berkesinambungan sangat penting dalam agenda.” Kebakaran yang terjadi tahun lalu antara lain di perkebunan kelapa sawit merupakan “wake-up call untuk kita semua.”

Meski ada tekanan dari pengusaha-pengusaha besar kelapa sawit, moratorium penebangan hutan diperpanjang tahun lalu. Di samping itu tindakan-tindakan lain yang bisa menyumbang pada perbaikan iklim, juga diambil. Belanda juga ikut bertanggung jawab atas produksi minyak kelapa sawit. Belanda adalah importir terbesar. Sepertiga dari jumlah total ekspor dari Indonesia ke Belanda. Pelarangan yang didukung luas oleh dunia industri terhadap minyak kelapa sawit milik pengusaha yang merusak hutan dan gambut demi pembukaan lahan akan menghasilkan solusi struktural untuk mencegah kebakaran lagi di Indonesia.

Dengan mengambil tindakan yang tidak populer bagi kalangan elit, Jokowi pun ditekan oleh kelompok lobi yang sangat berkuasa. Tapi ia tampaknya pantang mundur. Hal ini dikatakan guru besar Henk Schulte Nordholt di televisi Belanda NOS. Keberanian Jokowi ini antara lain disebabkan karena dia sendiri bukan bagian dari jaringan politik dan ekonomi yang berkaitan dengan konglomerat elit.

Jokowi dibesarkan di kawasan kumuh sehingga terbiasa dengan kendala. Ia berkarir mulai sebagai penjual mebel sehingga menjadi pemilik pabrik mebel. Maluku juga merasakan ketegasan sikap dan jiwa demokrasi Jokowi. Misalnya Jokowi berhasil mencegah Chairul Anhar, pemilik Menara Group yang perkasa dan ketua Diaspora Malaysia untuk membangun kebun tebu raksasa di pulau Aru. Izin penebangan hutan Anhar dicabut oleh Jakarta.

Contoh kedua adalah eksploitasi gas bumi di pantai Maluku. Shell berkerja sama dengan perusahaan Jepang Inpex untuk melakukan eksploitasi dari anjungan di tengah laut. Jokowi mendukung warga dan masyarakat madani yang memprotes niat Shell, Inpex dan pelobi-pelobi mereka. Jokowi malah memberi Maluku lebih banyak lagi: pelabuhan-pelabuhan diperbesar dan diperbaiki. Desa-desa akan dijadikan tidak terpencil lagi.

Pendekatan kolonial

Alangkah berbeda sorotan media Belanda terhadap kunjungan Jokowi ke Belanda. Baik media tulis, elektronik maupun medsos. Kunjungan Presiden Jokowi disoroti dari sudut pandang “Penderitaan Kolonial”. Tapi Indonesia memilih agendanya sendiri. Belanda bukan kunci pasar Eropa. Masa Orde Baru dan IGGI sudah berlalu. Defisit neraca dagang Belanda bertambah hingga 2,2 miliar euro.

Artinya sangat sederhana. Ekspor Indonesia ke Belanda jauh lebih banyak ketimbang sebaliknya. Belanda bukan lagi merupakan mitra dagang utama. Posisinya nomor empat. Jadi wajar kalau Jokowi lebih mengutamakan Jerman, Inggris dan Brussel. Belandalah yang memerlukan Indonesia. Indonesia adalah pasar besar yang terdiri dari 252 juta jiwa. Indonesia memerlukan kepakaran untuk memperbaiki sttruktur pelayaran dan jalan.

Belanda masih bisa berpartisipasi, karena ini belum terlambat. Tiga tahun lagi akan ada kunjungan lagi. Media Belanda sudah mencatat ini di agenda mereka dan mulai berusaha untuk menghilangkan trauma kolonial.

 

Sam Pormes

Vice-President van Diaspora NL dan Mantan Senator GroenLinks

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler