x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tragedi di Hari Pendidikan

Tragis, seorang dosen dibunuh mahasiswanya di dalam kampus di Hari Pendidikan Nasional.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika kita tengah memeringati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei kemarin, kita dikejutkan oleh peristiwa tragis di kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Nurain Lubis (63 tahun) dibunuh oleh mahasiswanya dengan cara yang sangat mengerikan. Hidup seorang guru diakhiri oleh muridnya dengan cara yang siapapun tidak ingin mengalaminya.

Peristiwa ini sungguh tragis, setidaknya karena tiga hal: terjadi di kala kita tengah menyegarkan kembali ingatan kolektif mengenai tujuan pendidikan, berlangsung di dalam lingkungan kampus perguruan tinggi, dan dilakukan oleh murid terhadap gurunya. Mengapa kekerasan menjadi pilihan untuk mengatasi persoalan? Apapun alasan yang melatari peristiwa ini, satu pertanyaan layak dikemukakan: apa yang salah dalam tata pendidikan kita?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apabila kita mengatakan bahwa pendidikan dimaksudkan untuk membangun karakter positif, bagaimana kita menilai peristiwa pembunuhan ini? Apakah bukan karena pendidikan kita terlampau menekankan aspek pengetahuan dan kurang memberi tempat yang layak bagi pengembangan kepribadian? Murid dinilai terutama dari segi kecerdasan intelektualnya—berapa nilai pelajaran matematika, IPA, akuntansi, sejarah, dst.

Kecerdasan intelektual, bila kita meminjam pendekatan Howard Gardner, hanyalah salah satu aspek kecerdasan yang diberikan kepada manusia. Ada kecerdasan lain yang sangat penting bagi kehidupan manusia, yakni kecerdasan emosional. Kecerdasan ini terkait dengan kemampuan mengenali watak diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi.

Aspek-aspek selain kecerdasan intelektual kurang memperoleh perhatian dalam tata pendidikan kita. Terlampau banyak beban pelajaran terkait pengetahuan yang diberikan kepada murid. Di tingkat dasar dan menengah, pengembangan kecerdasan lain—terutama emosional, interpersonal, intrapersonal, maupun spiritual—semestinya memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan sekarang. Sebab, di tahap ini karakter mulai terbentuk.

Rumpun kecerdasan tadi sangat memengaruhi keberhasilan seseorang di masa selanjutnya. Riset yang dilakukan oleh Daniel Goleman menunjukkan bahwa kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20%. Sedangkan sisanya ditentukan oleh serumpun kecerdasan lainnya tadi. Rumpun kecerdasan ini diperlukan siapapun dalam menjawab tantangan hidup—bukan hanya otak encer, tapi juga keramahtamahan, kerendahan hati, sikap saling menghargai, percaya diri, kesantunan, rasa syukur, dan sejenisnya.

Ketidakmampuan mengelola emosi, dalam pandangan para ahli, sudah terbukti membuat seseorang keliru dalam mengambil keputusan, sikap, maupun menentukan pilihan tindakan. Sudah waktunya, dunia pendidikan kita memberi tempat yang lebih layak bagi pengembangan kemampuan afektif maupun soft skill (bernegosiasi, bertukar pikiran dengan hati dingin, menghargai perbedaan, bekerjasama, misalnya) untuk mengimbangi penekanan pada pengembangan kemampuan kognitif maupun hard skill.

Tragedi seperti ini cukuplah terjadi sekali saja. (sumber ilustrasi: ec.europa.eu) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler