x

Iklan

Irfantoni Listiyawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Diponegoro dan Peristiwa 4 Mei 1830

Tak banyak yang tahu kisah akhir perjalanan Diponegoro di Tanah Jawa. Pasca Perang Jawa (1825-1830), Sang Pangeran pun menjalani masa pengasingan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awal Mei merupakan pekan dengan rentetetan sejarah dan peristiwa dalam negeri, diawali dengan peringatan hari buruh pada 1 Mei yang dikenal dengan istilah May Day. Disusul kemudian dengan Hari Pendidikan Nasional, yang mana pada tanggal ini merupakan hari lahir salah satu tokoh penting tonggak pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara. Selanjutnya, 3 Mei merupakan hari dimana Indonesia membatalkan hubungan Indonesia-Belanda tahun 1956 berdasarkan KMB. Lantas apa yang terjadi di tanggal selanjutnya, 4 Mei?.

Tak banyak orang tahu atau mungkin belum, bahkan enggan mengetahui peristiwa 4 Mei, 186 tahun silam. Peristiwa 4 Mei 1830 merupakan salah satu peristiwa bersejarah dalam kaleidoskop Indonesia. Pada tanggal tersebut adalah hari dimana babak baru kehidupan Pangeran Diponegoro dimulai. Hari terakhir dimana Pangeran Diponegoro tidak akan menginjakkan kakinya kembali di Tanah Jawa, tanah kelahiran sekaligus tanah yang dicintainya. Juga tanah yang memiliki pergolakan dirinya dengan Keraton Jogyakarta dan pihak Kolonial. Hingga terjadi perlawanan terakhir atas segala kemelut yang terjadi, Perang Jawa (1825-1830).

Tepat pada pukul lima pagi, di teluk Batavia korvet Belanda Pollux segera membentangkan layar guna menghantar tawanan Perang Jawa, Diponegoro. Sedianya, kapal Pollux akan berlayar pada hari sebelumnya, 3 Mei 1830. Namun karena faktor teknis dan faktor cuaca, pelayaran diundur satu hari. Diponegoro beserta 19 pengikutnya yang terdiri dari 11 pria dan 8 wanita mulai memasuki kapal pada 3 Mei tersebut ditemani oleh salah seorang pejabat Belanda bernama Roeps serta para pejabat Kolonial di Batavia. Diponegoro beserta ke-sembilanbelas pengikutnya menunggu seharian dalam kapal korvet Belanda itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peter Carey dalam bukunya berjudul Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) menuliskan, Diponegoro merasa gusar dan ingin segera meninggalkan Tanah Jawa. Diponegoro merasa malu jika ia melihat tanah kelahirannya itu, malu karena sebagai seorang pemimpin dengan gelar keagamaan Kanjeng Sultan Ngabdul Khamid Herucakra Kabirul Mu’minin Sayidin Panatagama Rasulullah SAW ing Tanah Jawi seolah tidak dapat memberikan kemenangan. Rentetan peristiwa penangkapan dan pengasingan Diponegoro dimulai ketika Sang Pangeran berada di Magelang 28 Maret 1830. Sepuluh hari berikutnya, 8 April 1830 Diponegoro ditahan di penjara Stadhuis (Balaikota Batavia) hingga 3 Mei 1830 sebelum bertolak menuju pengasingan.

Dalam masa penahanan, kondisi Sang Pangeran terus mengalami penurunan akibat kelelahan. Tenaga dan pikirannya yang terkuras selama Perang Jawa, kini ditambah lagi dengan penyakit tropis malaria. Keadaan ini tidak membaik hingga Diponegoro dengan kawalan 50 serdadu pilihan Belanda berlayar menuju tempat pengasingan, Minahasa (Manado) selam berhari-hari. Semua barang dan persenjataan Diponegoro dilucuti kecuali keris pribadi Sang Pangeran, Ki Ageng Bondoyudo. Keris inilah yang menemani Sang Pangeran hingga akhir hayatnya kelak.

Fajar merekah tanggal 4 Mei 1830, pertanda Sang Pangeran akan menysusuri lautan luas diatas kapal perang Belanda Pollux. Konon, Pollux berlayar tanpa henti di pelabuhan Nusantara manapun menuju tempat labuhan terakhirnya di Minahasa (Manado) pada Juni 1830. Dan peristiwa ini merupakan suatu perjalanan Rubicon (sebuah perjalanan yang tak akan pernah kembali) Sang Pangeran hingga akhir hayatnya. Diatas kapal Pollux, dalam kondisi lemah akibat malaria Sang Pangeran menulis catatan perjalanan dan perjuangan hidup diatas kapal Pollux sebagaimana berikut cuplikan dari Babad Diponegoro :

“Layar terkembang dan kami meninggalkan Batavia menuju Manado, tetapi tidak ada angin sehingga kapal berjalan sangat lambat.

Banyak dari orang laknat itu serdadu dan awak kapal Belanda jatuh sakit dan modar di kapal. Sultan pun gundah hatinya : “Barangkali kami akan mati semua dan tidak sampai ke Manado”. Kita tidak akan membahasnya lagi.

Dua setengah bulan Sultan dari Batavia ke Manado karena tidak ada angin. (Babad Diponegoro IV:200).

Demikianlah perjalanan pengasingan Diponegoro terekam dalam sejarah nasional kita. Sebuah perjalanan yang tidak akan kembali hingga akhir hayat Sang Pangeran menuju liang lahat bersama keris pribadi kesayangannya Ki Ageng Bondoyudo. Raden Saleh pun mengabadikan saat-saat penangkapan Sang Pangeran dalam sebuah lukisan terkenal karyanya berjudul “Ein Historiches Tableau, die Gaffenganhame des Javanischen Hauptlings Dieponegoro” (Lukisan Bersejarah, Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro) yang dibuat tahun 1857.

 

Sumber tulisan :

Peter Carey. Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). (Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara. 2016).

Keterangan gambar :

Lukisan Raden Saleh (Lukisan Bersejarah, Penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro)

Ikuti tulisan menarik Irfantoni Listiyawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB