x

Iklan

Darmaningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dunia Pendidikan: Dilarang Berkreasi dan Berinovasi

Kriminalisasi Dasep Ahmadi telah memadamkan wacana pengembangan mobil listrik karena orang takut untuk berkreasi dan berinovasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masyarakat tentu masih ingat kasus pembuat mobil listrik, Dasep Ahmadi, Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama, yang pada 2015 divonis 7 tahun penjara karena didakwa merugikan negara sebesar Rp 28,99 miliar untuk pembuatan mobil listrik. Hakim juga memerintahkan Dasep membayar uang pengganti sebesar Rp 17,18 miliar atau dihukum 2 tahun penjara.

Terlepas dari persoalan substansi yang menyebabkan Dasep dihukum, yang pasti kasus tersebut langsung memadamkan wacana pengembangan mobil listrik karena orang takut untuk berkreasi dan berinovasi dalam bidang teknologi yang padat modal. Sebab, bila gagal, mereka akan terkena dampak yang sama, yaitu masuk penjara karena didakwa merugikan negara puluhan miliar rupiah.

Kecenderungan menempuh zona aman dan tidak mau berkreasi serta berinovasi ini banyak terjadi di dunia pendidikan kita, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sekolah dasar negeri di daerah yang kekurangan guru memilih diam daripada berinisiatif mencari guru honorer yang dibayar dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tapi akhirnya malah terjerat dalam kasus hukum. Hal itu terjadi karena dana BOS untuk honor guru hanya 15 persen. Bila sebuah SD hanya punya 80 siswa, berarti dana BOS yang diterima hanya Rp 64 juta per tahun atau hanya Rp 9,6 juta untuk membayar tenaga honorer. Jika hanya ada satu guru honorer, agak lumayan karena bisa mendapat Rp 800 ribu per bulan. Tapi, kalau lebih dari satu, tentu nilainya jauh di bawah upah minimum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa sekolah menengah kejuruan pertanian di Cianjur, Jawa Barat, yang memiliki unit produksi dan telah menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta untuk pemasaran produknya terpaksa berhenti lantaran perusahaan itu disalahkan oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan setelah membeli produk-produk SMK, yang dinilai ilegal karena ditanam di tanah milik negara yang tidak dikenai pajak.

Kondisi ironis tersebut juga dialami semua P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan), yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejumlah P4TK kejuruan, seperti bisnis pariwisata, otomotif, listrik, seni dan budaya, teknologi, serta pertanian, sejak didirikan pada awal dekade 1980-an dengan nama PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru), sudah dilengkapi dengan unit produksi dan alat-alat modern sehingga betul-betul menjadi rujukan bagi SMK di seluruh Indonesia saat itu. Mereka juga sudah sempat berproduksi sesuai dengan bidang masing-masing. Hasil produksi mereka laku di pasar dan bahkan banyak produk P4TK Seni dan Budaya di Yogyakarta yang diekspor ke luar negeri.

Namun semua itu sekarang harus dikubur dalam-dalam karena rentan disalahkan oleh inspektur jenderal ataupun auditor BPK. Inspektur menyatakan pengembangan unit produksi bukanlah tugas dan fungsi P4TK, sedangkan auditor BPK mempersoalkan transaksi yang ada di unit produksi tersebut. Ini betul-betul konyol karena kreativitas dan inovasi yang ada dimatikan begitu saja oleh pernyataan "tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya" sehingga harus dibubarkan.

Kekonyolan para auditor, yang hanya memakai kacamata kuda, terlihat ketika mengaudit P4TK Pertanian Cianjur, yang memiliki unit produksi barang hidup dan bisa berkembang, seperti peternakan sapi, ayam, kambing, dan kolam ikan. Menurut kacamata pengembang, keberhasilan unit produksi diukur dari berkembangnya produksi, kuantitas, ataupun kualitas, seperti ternak sapi yang bertambah jumlah serta besarannya sehingga harganya semakin tinggi. Namun sang auditor justru mempersoalkan penyusutan barang, yang jelas kontradiktif. Akhirnya, daripada pusing menghadapi teguran dan temuan BPK, lebih baik semua unit produksi ditutup.

Presiden Joko Widodo telah memisahkan urusan pendidikan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah dengan maksud agar hasil-hasil riset di perguruan tinggi dapat diimplementasikan oleh industri. Pemerintah Jokowi juga berencana mengeluarkan instruksi presiden (inpres) untuk pengembangan SMK. Kedua hal itu hanya akan melahirkan kesia-siaan jika tidak diikuti dengan regulasi yang mendukung.

Pertama, agar industri mau memakai hasil riset dari perguruan tinggi, hasil riset tersebut harus melalui proses uji coba. Proses uji coba tidak cukup sekali berhasil, melainkan butuh berulang kali dilakukan. Bila uji coba pertama gagal, lalu penelitinya dikriminalkan dengan tuduhan menghamburkan uang negara, seperti yang terjadi pada kasus mobil listrik, tentu banyak peneliti kita memilih jalur aman dengan tidak mau mengadakan uji coba untuk menguji keandalan temuannya. Pengalaman pribadi saya, untuk mengubah bentuk becak tradisional di Yogyakarta, dengan berat kosong 135 kilogram yang diubah menjadi 85 kg tanpa mesin serta tempat duduk yang lebih lebar dan nyaman, diperlukan waktu 10 tahun dan perubahan purwarupa hingga 14 kali.

Kedua, SMK dan P4TK, yang memiliki unit produksi, perlu dilindungi dengan regulasi agar unit produksi tetap bisa berkembang tanpa menimbulkan masalah pengelolaan. Kebijakan pendapatan negara bukan pajak bukanlah jalan yang tepat karena dalam PNBP, semua pendapatan dari unit produksi tersebut disetor ke kas negara dan tidak bisa dipakai untuk proses produksi lagi. Adapun untuk proses produksi, harus mengajukan permohonan anggaran ke negara. Cara ini, selain tidak efisien, tidak melatih SMK dan P4TK untuk berkembang lantaran hanya mengandalkan anggaran negara.

*) Tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Selasa, 3 Mei 2016.

Ikuti tulisan menarik Darmaningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler