x

Petani menyiram tanaman di ladang pertanian di Cempaka Putih, Jakarta, 1 Juni 2015. Menurut Badan Pusat Statistik, petani yang beralih profesi mencapai 500 ribu rumah tangga setiap tahun. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Iklan

Nirarta Samadhi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sensus Ekonomi: Akurasi Data dan Kebijakan Salah

Data pangan adalah salah satu contoh mengapa Indonesia perlu secara khusus melakukan usaha peningkatan kualitas penyelenggaraan data.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam pencanangan Sensus Ekonomi 2016 di Istana Negara akhir April lalu, Presiden Joko Widodo, antara lain, menyebutkan bahwa data pangan tidak akurat. Ketidakakuratan data dapat menyebabkan setidaknya kesalahan perencanaan dan alokasi sumber daya pembangunan yang tidak efisien. Situasi ini adalah cerminan dari narasi besar tentang peran kunci data yang berkualitas dalam pembangunan. Data akurat, mutakhir, lengkap, dan terbuka sehingga dapat diakses luas merupakan prasyarat bagi pengelolaan pembangunan yang bermutu dan bagi pelibatan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan yang partisipatif.

Menurut agenda pembangunan global sebagai kelanjutan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), yaitu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), pada 2020 seluruh negara berkembang ditargetkan dapat meningkatkan secara signifikan ketersediaan data berkualitas tinggi, andal, dan tepat waktu. Target ini kiranya berlaku pula bagi Indonesia, walaupun secara ekonomi kita sudah beranjak meninggalkan kelas negara berkembang. Data pangan adalah salah satu contoh mengapa Indonesia perlu secara khusus melakukan usaha peningkatan kualitas penyelenggaraan data.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada tiga ilustrasi mengenai peningkatan kualitas penyelenggaraan data dan fakta bahwa Indonesia mengikatkan diri pada pelaksanaan agenda global SDG. Data produksi beras sebagai salah satu jenis pangan ditentukan oleh luas sawah. Selanjutnya, luas sawah mempengaruhi berbagai target, program, dan penganggaran bidang pertanian. Alokasi pupuk, pemeliharaan irigasi, pencetakan sawah, dan besaran impor beras adalah beberapa hal yang akan dipengaruhi oleh data ini.

Penanggung jawab pengumpulan data adalah Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) meramunya untuk kepentingan perencanaan. Data dikumpulkan di tingkat kecamatan oleh Dinas Pertanian di daerah untuk disampaikan oleh kabupaten/kota ke provinsi. Berdasarkan regulasi, kepala daerah masing-masing tingkatan harus memberikan persetujuan sebelum data dinaikkan ke pusat. Inilah proses penyelenggaraan data yang rawan intervensi, karena data luas sawah dan produksi akan mempengaruhi alokasi program dan anggaran ke daerah. Proses penyelenggaraan data ini memakan waktu panjang dan tidak pernah tepat waktu. Ketidakakuratan data antara lain beranjak dari proses ini.

Inilah saatnya BPS berlaku otoriter dengan memanfaatkan fakta tanpa perlu jengah atas regulasi yang ada. Kementerian Agraria dan Tata Ruang selaku penanggung jawab pemutakhiran lahan sawah berkelanjutan sudah memiliki data luas sawah berdasarkan citra satelit resolusi tinggi. Citra satelit tidak menipu, sehingga BPS dapat meminjam fakta ini dan menghitung sendiri luas sawah serta potensi produksinya dan kemudian menetapkan angka atau data pangan indikatif secara sepihak. Akurasinya dijamin tinggi dan terbebas dari intervensi politik pemerintah daerah.

Jika pemerintah daerah memainkan kartu regulasi, maka BPS dapat meminta pemerintah daerah mengajukan klaim yang dilengkapi bukti berupa citra satelit resolusi tinggi terkini wilayah sawahnya. Hanya klaim yang terbukti valid yang dapat mengubah angka atau data pangan indikatif tersebut. Proses ini singkat dan memungkinkan perencanaan tepat waktu dengan data mendekati akurat.

Penyelenggaraan data di kementerian dan daerah tidak memiliki prosedur standar. Pusat data dan informasi (pusdatin) pada setiap kementerian memiliki tata kerja dan lingkup kerja yang bervariasi. Produsen data dalam kementerian bisa lebih dari satu unit, dapat berupa unit khusus atau sub-unit dari bagian lain dengan prosedur yang berbeda-beda.

Tahun lalu, pemerintah telah menghasilkan cetak biru Satu Data, yang menekankan perbaikan tata kerja penyelenggaraan data di lingkup internal kementerian yang menempatkan unit pusdatin sebagai satu-satunya unit penyelenggaraan data. Penerapan satu standar produksi data, satu rujukan format metadata, dan satu skema rilis data yang dikawal oleh pusdatin akan menghasilkan data berkualitas yang kompatibel untuk dipakai secara lintas sektoral. Jika Presiden Jokowi menekankan perlunya kebijakan Satu Peta untuk sinkronisasi peta, Satu Data juga tidak kalah pentingnya.

Penelitian kesiapan data telah dilakukan oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) dan UNDP dengan membandingkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan tujuan dan sasaran SDG untuk mendapatkan variasi data yang harus tersedia. Hasilnya, 67,8 persen data sangat siap untuk dipakai mengukur pelaksanaan SDG di Indonesia.

Data yang sangat siap berarti bahwa data tersedia, indikator dapat langsung digunakan tanpa penyesuaian berarti, data berbasis survei dengan waktu penyediaan relatif tepat, memiliki metode jelas, dan relevan.

Pemerintah perlu perbaikan tata kerja dan tata kelola penyelenggaraan data secara cepat. Perbaikan perlu dilakukan di bagian hulu, bukan hanya pada tabel dan angka yang terlihat di ranah publik. Data berkualitas adalah jaminan kredibilitas pemerintah.

*) Tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 4 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Nirarta Samadhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler