x

Seorang tentara wanita dari Unit Perlindungan Rakyat (YPG) menunjukkan simbol V atau simbol perdamaian dalam perayaan Festival Newroz di Diyarbakir, Turki, 21 Maret 2016. Festival Newroz digelar untuk merayakan Tahun Baru Persia. Getty Images

Iklan

Bernando J Sujibto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ancaman Kekerasan di Turki

Melihat eskalasi kekerasan di Turki, saya menggarisbawahi gerakan separatis PKK (Partai Pekerja Kurdi) sebagai ancaman laten terstruktur dan masif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam satu tahun terakhir, Turki diringkus oleh serangkaian kekerasan berdarah, masif dengan ancaman teror. Bom mobil yang meledak di pusat keramaian Kizilay, Ankara pada 13 Maret kemarin bisa ditandai sebagai preseden buruk di tengah eskalasi kekerasan internal Turki. Di samping karena bom tersebut menyasar di tempat umum dan menelan korban rakyat sipil, faktor keamanan internal Turki pun disangsikan oleh masyarakat lokal sendiri. Ditambah lagi bom bunuh diri terbaru di pusat turis dan keramaian Taksim, Istanbul (19/3). Fakta tersebut semakin membuat cemas masyarakat Turki secara umum.

Di tengah perkabungan dan kesedihan mendalam tersebut, bom Ankara yang menelan korban tewas berjumlah 37 menjadi perhatian serius semua kalangan di Turki. Publik Turki mengenangnya sebagai “An-Kara” (Turki: momen kelam). Rakyat Turki berdiri bersama-sama mengutuknya; tak lagi memandang perbedaaan suku, ideologi ataupun kelompok. Mereka menganggap ledakan di Ankara sebagai ancaman serius bagi keamanan mereka sendiri.

Kekerasan yang langsung menghantam rakyat sipil dalam satu tahun terakhir sangat masif. Pertama bisa ditandai sejak tragedi Suruc, Sanliurfa (20 Juli 2015) dengan menelan 34 korban nyawa dari mayoritas suku Kurdi. Tetapi tragedi ini tidak masif di Turki oleh sebab nasib diskriminatif terhadap suku Kurdi sendiri yang harus mereka tanggung sejak Republik Turki. Apalagi Suruc berada di perbatasan tenggara Turki yang notabene jauh dari kover media. Setelah itu, bom dahsyat terjadi di dekat Stasiun Kereta Ankara ketika dihelat Rapat Besar Partai Demokratik Rakyat (HDP) 10 Oktober 2015, dengan menelan korban 107 orang. Korbannya lagi-lagi dari mayoritas suku Kurdi. Kecamuk teror dalam masyarakat Turki memuncak ketika bom mobil meledak di Kizilay Ankara, dan kemudian diperpaah oleh bom bunuh diri di Taksim, Istanbul.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat eskalasi kekerasan di Turki, saya menggarisbawahi gerakan separatis PKK (Partai Pekerja Kurdi) sebagai ancaman laten terstruktur dan masif. Organiasi ini mempunyai akar kuat yang sulit dipupus. Meski ada beberapa faksi radikal yang sama-sama mengancam dan bisa mencipatakan kekerasan masif di Turki, PKK adalah entitas laten yang tak mudah diselesaikan. Cara-cara seperti kekerasan dan represi militer hingga upaya proses perdamaian telah dilakukan berkali-kali. Terakhir adalah peace process (çözüm süreci) yang diprakarsai oleh pemerintah Turki demi menyelesaikan krisis Kurdi. Tapi lagi-lagi, upaya ini terhenti dan cara militer kembali dipakai sejak akhir 2013 kemarin.

Represi hebat untuk menyapih PKK harus ditanggung dengan serangkaian chaos yang sudah terjadi dan akan terus terjadi. Bagi saya, tragedi Kizilay adalah balas dendam nyata dari PKK yang dibersihkan dari Turki secara masif. Operasi militer oleh pasukan keamanan Turki telah membuat kelompok separatis itu lumpuh dan tercerai-berai. Bagi mereka cara terbaik untuk menunjukkan eksistensinya adalah membuat chaos dengan meledakkan bom di tengah taman kota dan rakyat sipil sekalipun.

Strategi PKK dengan menciptakan chaos harus dipahami sebagai tindakan paripurna yang penuh risiko terhadap masa depan perjuangan mereka sendiri. Ongkos yang harus dibayar adalah antipasti bahkan dari suku Kurdi sendiri yang awalnya mempunyai simpati terhadap perjuangan mereka. Akhirnya, kelompok-kelompok yang bersimpati kepada PKK—termasuk gerakan petisi para akademik yang ditengarai pemerintah sebagai propaganda teror—harus menampar mukanya sendiri.

Sementara dalam konteks internasional, Turki mempunyai keuntungan di balik tragedi Kizilai ini, yaitu label teroris kepada PKK semakin kasatmata ketika kelompok ini kembali menyerang rakyak sipil secara membabi-buta. Khusus untuk Rusia dan Inggris, mereka harus menghadapi fakta baru bahwa PKK bukan lagi anak piaraan yang taat terhadap target perjuangan awal mereka, yaitu melawan pasukan keamanan Turki.

Tiga hantu

Lebih lanjut, penting sekali kita mencermati bagaimana eskalasi kekerasan di Turki selanjutnya. Saya melihat setidaknya ada tiga kelompok yang akan terus membekap Turki dalam kecamuk teror. Pertama adalah gerakan separatis yang diwakili PKK. Ini kekerasan laten nan kelam, bahkan pun sebelum PKK resmi lahir tahun 1978. Sebagai gerakan masif dengan jaringan dan saluran dana yang kuat, PKK terus mengembangkan sayapnya untuk memperkuat basis mereka di internal Turki. Secara politik ada HDP yang secara eksplisit telah menjadi corongnya di parlemen.

Di samping itu, sejak 2013 tumbuh pula sayap pemuda mereka dengan nama YDG-H (Gerakan Pemuda Patriotik Revolusioner). Lebih awal, pada tahun 2004 lahir TAK (Pejuang Pembebasan Kurdistan) di mana ketika PKK melunak terhadap Turki, mereka yang giliran membuat chaos dengan tindakan teror dan bom.

Di samping itu, amunisi PKK didukung oleh agen-agen eskternal mereka. Selain kelompok suku Kurdi di Irak dan Suriah yang sudah mempunyai otonomi di dua negara tersebut, negara-negara seperti Rusia, Inggris dan Prancis aktif berada di balik mereka. Alasan lain kenapa PKK akan semakin membesar dan mengancam Turki adalah karena faktor konflik yang pecah di perbatasan (Irak dan Suriah), di mana suku Kurdi di kedua wilayah tersebut sudah memegang otoritas pemerintahan di tanah mereka sendiri. Hanya tinggal merongrong Turki dan Iran untuk membuat negara Kurdistan menjadi kenyataan.

Kedua adalah kelompok kiri-komunis yang diwakili DHKP/C (Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner). Kelompok ini sudah terbukti biasa memainkan bom dan senapan api dengan menyerang pasukan keamanan Turki. Sejauh ini, aksi DHKP/C dan grup yang berafiliasi dengannya, khususnya dari front kiri, menyasar apparatus state, khususnya pasukan keamanan (polisi) sebagai target mereka. Kelomok ini sudah pernah meledakkan bom dan menembak polisi dalam 10 tahun tarakhir.

Uniknya, PKK dan DHKP/C mempunyai akar ideologis serupa: berangkat paham revolusioner kiri. Grup pertama berjuang untuk merdeka dari Turki, yang kedua murni sebagai perjuangan ideologis dengan melawan bentuk-bentuk kebijakan ekonomi kapitalisme dan neo-liberalisme yang terjadi di Turki di bawah APK.

Kelompok ketiga adalah ISIS. Sebagai kelompok yang baru lahir, ISIS adalah fenomena baru. Sejujurnya, saya sulit membaca target dan perjuangan kelompok yang satu ini di Turki. Nyaris jalan perjuangan mereka tidak bisa dibaca secara pasti. Lihat misalnya ISIS menyerang kelompok kiri di Sanliurfa (Juli 2015), menghantam massa HDP di Ankara (10 Oktober 2015), menumpas gerombolan turis di Sultanahmet Istanbul (Januari 2016), dan kemarin meledakkan diri di tengah ruang publik di Taksim Istanbul.

Dalam konteks Turki, saya melihat ISIS adalah kelompok yang runyam tanpa struktur dan skema serangan yang jelas; bebas gentayangan dan menyerang siapa saja secara sporadis. Dari ketiga kelompok di atas, ISIS adalah organisasi paling kompleks yang sekaligus sangat membahayakan. Saya melihat bahwa di Turki mereka menjadi attack dog yang bisa dipakai siapa saja, termasuk (mungkin) negara!

*) Penulis adalah peneliti, mahasiswa master Sosiologi Selcuk University Turki. Research Associate di The Indonesian Institute, Jakarta.

Ikuti tulisan menarik Bernando J Sujibto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler