x

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Begini Cara Hakim Memperdagangkan Keadilan

Untuk memberikan upeti ke atasannya, hakim-hakim itu memeras orang-orang yang mencari keadilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan banyak uang dolar Amerika Serikat di kantor dan kediaman Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. KPK menggeledah kedua tempat itu setelah menangkap tangan Edy Nasution di sebuah hotel di Jakarta Pusat pada 20 April 2016. Edy adalah Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Diduga uang tersebut merupakan sogokan untuk mengatur perkara di Mahkamah Agung. "Ini adalah gunung es di negeri kita," kata Ketua KPK Agus Rahardjo. Dia yakin banyak putusan pengadilan yang dipengaruhi uang.

Urusan jual-beli perkara juga pernah diungkap Operasi Tertib (Opstib) Pusat pada 1981. Majalah Tempo melaporkan hal tersebut dalam edisi 14 Februari 1981 dengan judul "Benteng yang Hampir Roboh" dan "Meskipun Tak Semuanya Pedagang".

"Ada penyalahgunaan jabatan di lingkungan pejabat peradilan, khususnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Kepala Opstib Pusat Mayjen E.Y. Kanter dalam konferensi pers kala itu. Turut hadir Menteri Kehakiman Mudjono dan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para pejabat itu menjelaskan telah memberhentikan empat hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu J.Z. Loudoe, Hanky Izmu Azhar, Heru Gunawan, dan H.M. Soemadijono, mantan ketua pengadilan dan bakal dilantik sebagai hakim tinggi di Jakarta. Antara lain para hakim biasa memberi sejumlah uang kepada ketuanya. Uang itu adalah imbalan pembagian perkara yang mereka terima. Besar-kecilnya upeti tergantung nilai atau omzet perkara. Lalai memberi upeti bisa berakibat kantong sang hakim jadi kering: bakal tak kebagian perkara basah.

Untuk memberikan upeti ke atasannya, hakim-hakim itu memeras orang-orang yang mencari keadilan. Caranya dengan menekan kanan-kiri, menunda sidang, memperlambat putusan, memerintahkan penahanan atau pelepasan, menjatuhkan atau mengangkat sitaan jaminan. Semua itu bertujuan, tak lain, mencari uang.

Ada pula hakim yang biasa minta ketua memperbolehkannya menangani suatu perkara-yang dianggapnya bisa mendatangkan uang. Sebaliknya, menurut Opstib pula, pencari keadilan yang lihai sering dapat membujuk agar perkaranya dipegang hakim tertentu. Semua permainan ini dikatakan diatur oleh calo-calo perkara. Orang-orang ini berkeliaran keluar-masuk ruang sidang, kantor hakim, dan kantor panitera. Pengacara atau advokat pun diketahui banyak yang berpraktek begitu.

Terdengar pula cerita tentang perkara perdata ditenderkan. Artinya, pihak yang berani membayar lebih tinggilah yang akan menang. Opstib menemukan perkara perdata yang semestinya diperiksa majelis hakim ternyata hanya ditangani ketuanya sendiri. Anggota majelis hanya tinggal meneken vonisnya, lalu terima "bagian".

Contoh kasus mafia peradilan tampak pada berkas perkara Endang Wijaya, Direktur PT Jawa Building Indah Co. Kasus ini menyangkut manipulasi kredit Bank Bumi Daya Rp 22 miliar dengan tersangka Endang Wijaya.

Majelis hakim (Soemadijono, J.Z. Loudoe, dan Hanky Azhar) dicurigai menerima uang suap Rp 2 miliar sehingga Endang bebas dari tuduhan subversi dan hanya dihukum 7 tahun penjara. Tak hanya itu, Endang dilepaskan dari tahanan meskipun kemudian Laksusda DKI Jaya mencomotnya kembali.

Sumber Tempo menyebutkan hukuman bagi Endang Wijaya sebenarnya telah disetujui berbagai instansi penegak hukum. Dan lagi permintaan keringanan bagi terdakwa, kata dia, datang dari "seorang pejabat terkemuka".

Sebenarnya, sejak 1977 bersih-bersih di pengadilan telah dilakukan oleh Menteri Kehakiman Mudjono. Ada 22 dari 57 hakim yang diberhentikan dengan SK presiden. Selebihnya ada yang dimutasi, dilarang masuk kantor, atau sekadar ditegur secara tertulis. Alasan Mudjono, benteng terakhir bagi pencari keadilan itu harus rapi lebih dulu. "Lha, kalau bentengnya sudah roboh, mau bagaimana lagi?" katanya.

*) Artikel ini terbit di Majalah Tempo edisi 2 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler