x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Psikologi dan Manajemen dari Shakespeare

Shakespeare dipandang lebih dari sekedar penulis naskah drama—ia juga psikolog, kriminolog, dan pengajar kepemimpinan yang hebat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Si bodoh mengira dirinya arif, tapi si arif tahu bahwa dirinya bodoh.”

--William Shakespeare (1564-1616)

 

Hingga 400 tahun setelah kematiannya, William Shakespeare masih juga diperbincangkan—“What’s in a name?”. Tentu saja, Shakespeare identik dengan naskah-naskah drama yang terus dipentaskan sepanjang empat abad. Tapi apakah identitas penulis naskah drama atau pujangga terlampau meringkus kompetensinya—seperti yang diklaim oleh sejumlah sarjana yang menyebut Shakespeare lebih dari seniman yang menyukai keriuhan di atas pentas?

Naskah Hamlet, Macbeth, hingga King Lear, di mata mereka, bagai membukakan horison baru tentang beragam sisi kehidupan. Jeffrey Doty, akademisi West Texas A&M University, menganggap Shakespeare memberi pencerahan politik kepada masyarakat pada zamannya. Pujangga ini bukan sekedar menulis sebuah naskah drama untuk dipentaskan, melainkan membukakan mata masyarakatnya ihwal ‘kemiskinan rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh kaum elite’.

Teater, sekurang-kurangnya di masa Shakespeare, kata Doty, adalah tempat di mana rakyat banyak belajar memahami watak kekuasaan dengan lebih baik, dan karena itu lebih resisten terhadap manipulasi oleh para elite. Namun Doty tak mengulas respons kaum elite, sebagaimana naskah Lysistrata karya Aristophanes telah menimbulkan kecemasan kepada rezim militer di berbagai negara—bahkan berabad-abad setelah kematian pengarangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ahli kriminologi dari Universitas Harvard, Jeffrey Wilson menafsirkan naskah Shakespeare sebagai ‘menawarkan kriminologi dalam versi embrionya’. Bagaimana Wilson menyimpulkan seperti itu, tak lain karena menurutnya ‘peristiwa-peristiwa kejahatan yang digambarkan dalam naskah drama Shakespeare mencerminkan perdebatan filosofis yang kompleks tentang kejahatan dan keadilan.’

Jadi apa yang membuat Wilson beranggapan bahwa Shakespeare memiliki wawasan layaknya kriminolog? “Konsistensi Shakespeare dalam menyajikan kejahatan,” kata Wilson, “kedalaman yang ia cari di dalam pikiran jahat, koneksi-koneksi yang ia tarik antara budaya dan kejahatan, dan perilaku skeptis yang ia tunjukkan ketika melakukan semua itu menjadikan karya-karyanya relevan bagi kriminolog.”

Karya-karya Shakespeare juga memikat mereka yang memelajari pikiran manusia. Dalam satu kesempatan di theatlantic.com, Steven Pinker, psikolog yang amat berpengaruh dari Harvard University, menyebut sang penyair sebagai ‘salah seorang dari psikolog kita yang pertama dan terbesar’.

Pinker menemukan wawasan mengenai keringkihan watak manusia dalam naskah Measure for Measure yang ditulis Shakespeare pada tahun 1603 atau 1604. Dalam naskah ini, Shakespeare mengisahkan tentang seorang lelaki puritan yang berkuasa untuk sementara waktu di kota Wina dan mulai menegakkan aturan seksual yang tegas: warga yang berperilaku menyimpang dihukum mati.

Apa yang dikisahkan Shakespeare itu relevan dengan pandangan psikologi modern. Berulang kali, kata Pinker, psikologi modern telah menunjukkan bahwa manusia secara absurd memercayai secara berlebihan pengetahuan, kearifan, dan ketulusan hatinya. Setiap orang berpikir bahwa dirinya benar, dan bahwa orang lain yang tidak bersepakat dengannya bodoh, bebal, dan dungu. “Di dalam karakter-karakter ciptaan Shakespeare,” kata Pinker, “kita melihat refleksi diri kita.”

Hasrat para ahli manajemen untuk menengok karya sastra juga sampai kepada Shakespeare. Dalam Shakespeare on Management, yang terbit pada 1999, Paul Corrigan membahas psikologi kepemimpinan dengan menggunakan karakter-karakter klasik Shakespeare. Lewat drama-dramanya, kata Corrigan, Shakespeare menunjukkan peran beragam seorang pemimpin dan keterampilan beragam yang diperlukan.

Corrigan menganalisis pengambilan keputusan dan tindakan karakter-karakter dalam naskah Shakespeare dan berusaha menemukan pelajaran berharga bagi para manajer di masa sekarang. Corrigan mendiskusikan, umpamanya, “Apa yang menjadikan Henry V pemimpin hebat?” “Mengapa pendekatan manipulatif Richard III akhirnya mengisolasi dirinya sendiri?”

Pelajaran tentang kepemimpinan boleh jadi merupakan sisi yang banyak digali oleh para ahli manajemen dari naskah-naskah Shakespeare. Apoorva Bharadwaj, dalam Shakespeare on Leadership, Communicaton and Management (makalah untuk 3rd Asia-Pacific Business Research Conference, 2013), mendiskusikan pelajaran penting yang dapat dipetik dari karya Shakespeare dan relevan bagi budaya selain Inggris. Bharadwaj menemukan bahwa terdapat atribut-atribut kepemimpinan yang bersifat positif dan universal, yakni keyakinan diri, sikap adil, motivasinal, komunikatif, dan cerdas. Pada siapa atribut-atribut tersebut dapat ditemukan? “Pada karakter Henry V,” tulis Bharadwaj.

Para pembaca Shakespeare barangkali memang perlu memikirkan kembali tempat yang layak bagi pujangga ini. Apakah ia seorang pecinta dunia panggung semata, ataukah ia seorang empu yang berhasil memahami watak dasar manusia, sehingga karyanya tetap dibaca dan dipentaskan berabad-abad lamanya karena merefleksikan diri kita? ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler