x

Amokrane Sabet, warga Prancis, yang menusuk anggota Polda Bali hingga tewas, di Badung, Senin, 2 Mei 2016. Amokrane, yang dilaporkan warga karena sering berbuat onar ini, akhirnya tewas ditembak polisi. (facebook.com)

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Apakah Sabet Harus Dibunuh?

Apakah polisi dibenarkan mengeksekusi begajul seperti Sabet tanpa pembelaan di pengadilan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepolisian Daerah Bali hari ini merilis hasil otopsi terhadap jasad Amokrane Sabet, petarung bebas (Mixed Martial Arts) yang tewas diberondong peluru pada 1 Mei 2016. Otopsi versi polisi itu menyebutkan ia tewas bukan berondongan peluru tajam melainkan luka tusuk di lehernya saat bergulat dengan Brigadir Anak Agung Sudirta, polisi yang kemudian gugur dalam tugas itu.

Kepala Polda Bali, Inspektur Jenderal Sugeng Priyanto membantah anak buahnya memberondong Sabet dengan peluru tajam. Katanya, ada 24 luka tembak akibat peluru karet dan tidak ada sebutir pun peluru tajam.

Keterangan ini, terus terang tidak mudah dipercaya. Sebab, dari tayangan video yang kemudian viral itu, jelas terlihat Sabet masih segar bugar saat menantang polisi untuk menembak. Segera dia diberondong 15 tembakan dan mengucur darah segar dari tubuhnya. Apakah darah  yang mengucur dan tampak mematikan itu bisa dihasilkan dari peluru karet? Belum  lagi kesaksian orang di lokasi penyergapan dan saat jasadnya dibawa ke rumah sakit. Orang-orang di rumah sakit sampai menutup hidup lantaran bau amis darah di dada dan kepala Sabet.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adegan itu membikin ngilu dan ngeri bagi saya. Apa perlu ia dibunuh saat ia sudah tersungkur?

Tulisan ini bukan bermaksud mengabaikan kejahatannya dan tidak bermaksud menambah lara  keluarga Brigadir Anak Agung Sudirta yang berduka. Tulisan ini hanya bermaksud mempertanyakan, apakah polisi dibenarkan mengeksekusi begajul seperti Sabet tanpa pembelaan di pengadilan padahal ia sudah tersungkur?

Ya betul, dia pemalak, suka misuh-misuh, bikin onar, makan gak bayar, suka mengeluarkan jari tengah. Gayanya yang preman itu pasti bikin kesal dan merugikan banyak orang. Semua pasti pengen balik misuhin dia. Dalam hati pasti nyumpahin, “mati aja lo!”

Apalagi saat Sabet menikam beberapa kali ke Brigadir AA Sudirta yang coba menangkapnya sampai polisi malang itu tewas. Bertambahlah umpatan ke dia. Yang menyumpahin dia modar makin banyak.

Tapi apa iya sih, nyawa dibalas nyawa? Apa perlu seorang Amokrane, jawara MMA itu, petarung dengan tangan kosong, eh enggak ding, bekalnya belati, yang tatonya jika disatukan lebih besar dari kepalanya, setara dengan dadanya yang luas, harus dibombardir peluru bertubi-tubi sampai dia bener-bener tewas. Apa karena wajahnya yang tengil itu terus kita kesal sampai bernafsu banget untuk menembaki dia berulang kali?

Iya, Sabet melawan polisi bahkan menikam hingga tewas. Tapi ketika dia menantang, "shoot me..shoot me..." apakah itu membenarkan tindakan dengan berondongan peluru dari satu grup polisi atau sekitar 12-an orang. Mereka membawa senjata lengkap, senjata api, melawan satu orang bersenjata belati. Masak cuma ditantang begitu, dijawab dengan dor beneran bertubi-tubi, secara keroyokan?

Ini satu petarung MMA menghadapi 15 berondongan peluru. Satu butir peluru sebenarnya cukup untuk melumpuhkan entah kakinya, tangannya, ato penisnya sekalian biar langsung lemas. Artinya, tak perlu diarahkan ke dada atau kepalanya yang mematikan, cukup dilumpuhkan ke kaki dan tangannya.

Bukankah ada standar prosedur penggunaan senjata agar tidak sembarangan dan melanggar HAM? Bukankah untuk bisa memegang senjata harus melewati psikotes gak main-main? Kenapa para polisi ini gampang panasan. Begitu ada teman mereka ditikam, tak lagi bisa mengendalikan emosi lalu rame-rame membalas dendam.

Yang menimpa pada warga negara Prancis ini, berondongan peluru tajam ke dada dan kepalanya lho...., seperti polisi ini tengah menghadapi teroris. Seolah si Sabet ini membawa detonator TNT atau C4 sekalian yang siap meledakkan diri dan boooommm.....kena ke semua orang di situ.

Lha ini si Sabet cuma membawa pisau, biar keren sedikit, kita sebut belati. Ah, mungkin belati itu mengandung TNT, yang kalau terpantul sinar matahari langsung memancar kembali dan nyepretin semua atau meledak, makanya polisinya langsung keder. Atau, kata teman saya, mungkin jika belatinya dipencet, terlontarlah peluru mengarah ke berbagai tempat. Walhasil, satu grup polisi rame-rame menembak dada dan kepalanya.

Dan yang bikin miris, adegan penembakan yang berakhir dut itu direkam. Mulai dari si Sabet masih hidup, menantang agar polisi menembak hingga dijawab dengan tembakan benaran,   kelojotan sekarat, hingga bener-bener tewas. Semua direkam. Yang miris, dia dalam kondisi sudah terlentang, dengan kaki masih bergerak, eh ada yang menembak kepalanya untuk memastikan dia tewas sekalian.

Adegan itu membikin saya ngeri dan mual. Sedemikian sakitkah kita sehingga kita dari cuma menyumpahin dia mati, melangkah ke tindakan? Kita bersorak ketika dia modar. Rekam rame-rame, sebarkan rame-rame...

Dan saya juga merasa sakit mental karena menonton adegan mengerikan itu....

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler