x

Mari Elka Pangestu didampingi Kurator Pameran Jim Supangkat (2 kanan) dalam pameran Seni Kontemporer Indonesia, di Museum of Art Contemporary (MoCA) , Shanghai, Cina (22/7). ANTARA/Hermanus Prihatna

Iklan

Hendro Wiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK Lukisan Palsu: Drama Asli-Palsu Jim Supangkat

Isu lukisan palsu meletup lagi ketika Oei Hong Djien Museum menerbitkan buku The People in 70 Years yang ditulis Jim Supangkat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak mengherankan bahwa Jim Supangkat menyatakan dengan tegas, “tidak mempedulikan isu lukisan palsu” ketika membuat kurasi untuk pameran “bertema sosial” di Museum OHD, Magelang pada beberapa waktu yang lalu. Bagi Jim, perbincangan di kalangan seni rupa kita mengenai lukisan palsu hanya sebatas “isu” yang selama ini “diramaikan”, bahkan “masih dikais” sampai sekarang. Penelusuran dan penelitian di sekitar praktik pemalsuan lukisan —termasuk pula penyebaran, pengoleksian dan pamerannya —di Indonesia bagi Jim tampaknya tidak cukup berharga sebagai rujukan. Dia bertanya, “apa betul wacana lukisan palsu pada empat tahun terakhir sudah layak dijadikan referensi?”

Jim meragukan kesahihan penelitian sejarah dan penelusuran mendalam mengenai “identitas” artistik dan muasal lukisan palsu. Tapi argumennya mengenai “keaslian” lukisan karya Sudjojono, “Arakan Penganten”, menunjukkan kerancuan dan bahkan misteri pembacaan (“Dua Drama “Arakan Penganten”, Tempo, 4 April 2016). Dengan kata lain, “wacana” kebedaan dan penyangkalannya -– posisi “eksentrik” Jim yang sudah kita kenal selama ini di dalam seni rupa, yang disebutnya sebagai pencarian akan soal-soal yang “fundamental” —kali ini hanya melahirkan sebuah karangan atau fiksi mengenai keaslian lukisan. Dengan memproduksi “drama” semacam itu, Jim sebaliknya justru membuka jalan lebar bagi praktik pemalsuan lukisan di Indonesia untuk menebar jurus-jurusnya. Kita akan melihat beberapa hal di bawah ini sehubungan dengan drama karangan Jim.

“Reportase” Misterius

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk mengesahkan keaslian lukisan “Arakan Penganten” dan mendakunya sebagai karya Sudjojono, Jim perlu membuat semacam “reportase” atau mengarang narasi “dramatik” mengenai kisah pernikahan perempuan di bawah umur. Inilah sebuah “drama sosial” mengenai para orang tua yang mengawinkan “anak perempuan mereka yang masih kecil dengan laki-laki dewasa yang berduit”, yang menurutnya “beberapa dekade lalu berulang kali diberitakan”. Dan bagi Jim, itulah isi yang menandai keaslian lukisan Sudjojono dalam “Arakan Penganten” yang dibubuhi tarikh 1976. Kerangka waktu peristiwa yang menjadi sumber reportase Jim lebih kurang “klop” dengan tahun pembuatan lukisan yang dibahasnya. Kita cukup terharu membaca reportase ala Jim yang berbumbu misteri ini, apalagi “tradisi” itu berlangsung pada “sebuah daerah yang sebaiknya tidak saya sebut namanya.” (Tapi pada wawancara dengan Majalah Tempo (13 Maret 2016), kita dapat membaca, dengan gamblang dia telah menyebut sebuah nama tempat). Seperti halnya ketidakpedulian Jim pada “isu” lukisan palsu, lagi-lagi sang kurator rupanya tidak terlalu peduli bagaimana dan bilamana persisnya “reportase” dramatik mengenai kisah “kesengsaraan perempuan” pada “beberapa dekade lalu” yang mengharu-biru itu kemudian menggugah kesadaran dan kepekaan artistik Sudjojono yang “mencerminkan persepsi seniman (bukan filosof) tentang etika moral.”

Ringkasnya, menurut karangan Jim “drama sosial” itulah yang mendorong Sudjojono melahirkan pokok lukisan “Arakan Penganten” yang ditandai mengandung bobot tertentu kekaryaannya, yakni “ekspresi sinis” dan “kemarahannya”. Tapi jangan pernah lupa, versi lukisan “Arakan Penganten” yang disinyalir “asli” oleh Jim sesungguhnya hanyalah salah satu dari beberapa seri lukisan “penganten” yang berhasil ditengarai melalui investigasi oleh beberapa penulis. Buku kumpulan tulisan, Jejak Lukisan Palsu Indonesia (2014), misalnya memaparkan setidaknya tiga “seri” lukisan pengantin ini, yakni Pengantin Ali (1971), Penganten Betawi (1976) dan Arakan Penganten (1976) yang semuanya sangat mirip. Bahwa ketiga hasil pekerjaan itu —tidak perlu pengamatan atau “reportase” mendalam  untuk menengarai kemiripan gubahan rupa atau gestalt-nya—menunjukkan keserupaan dalam segi atau ciri-ciri formal, lagi-lagi soal ini tidak dipedulikan pula oleh Jim.

Ia menulis, “Arakan Penganten Sudjojono itu diyakini palsu karena ditemukan lukisan palsunya. Alasan ini betul-betul tidak bisa saya pahami; menjadi tidak masuk akal bagi saya karena kedua lukisan yang dianggap palsu menunjukkan perbedaan yang kasatmata.” Bagi Jim, “perbedaan yang kasatmata” itu sejatinya adalah perbedaan ihwal cerita atau “drama” yang dipertontonkan oleh lukisan itu. Ketiadaan unsur “drama” yang kasat mata namun “masih tetap tidak terlihat” inilah yang disebutnya sebagai “kejanggalan dramatik pada kritik seni Indonesia.”

Untuk mengatasi “kejanggalan dramatik” ini Jim dengan bernafsu mengisi kekosongan drama dengan narasi atau semacam reportase dalam pembacaan mengenai keaslian lukisan: membuat drama atas drama. Caranya adalah ini: menentukan keaslian lukisan “Arakan Penganten” atau pengamatan terhadap yang kasat mata melalui “kesahihan” narasi yang dialami oleh si pengamat. Menurut saya, alih-alih membuktikan keaslian lukisan, sejatinya Jim sekadar menegaskan rasa-merasanya sendiri berdasarkan reportase misterius mengenai drama sosial yang muram itu.

Begini dia menulis: “Saya merasakan kemarahannya karena saya kenal betul sikap dan perasaan Sudjojono pada anak-anak perempuannya yang bisa dirasakan juga pada banyak lukisannya.” “Kesahihan” pengalaman seperti itulah yang agaknya mendasari keyakinan “fundamental” ala Jim. Pada wawancara di Majalah Tempo sang kurator menggariskan pernyataan absolutnya, “kurator mustahil keliru memilih lukisan palsu” (Tempo, 13 Maret 2016).

Demikianlah, lebih kurang sang pengarang selalu perlu untuk dipanggil kembali dari dalam kuburnya untuk membuat sebuah kisah drama menjadi lebih sahih, untuk mengesahkan sebuah karya atau sebuah teks menjadi “asli” menurut kacamata si reporter-pengamat. Itulah strategi Jim Supangkat “mengkaji Arakan Penganten sebagai representasi”. Jika representasi estetik karya visual adalah sekadar kisah drama, maka kita bisa mengatakan, kebesaran Sudjojono di mata Jim sesungguhnya tak lebih sebagai tukang pembuat drama. Dan tak ada yang lebih mudah bagi para pemalsu lukisan —di mana pun—kecuali pertama-tama mengarang “drama” atau menggubah cerita dalam lukisan.

Drama atas Drama

Prosedur yang ditempuh oleh Jim untuk mengarang “drama atas drama” tentu saja adalah cara baca atau strategi naratif untuk membaca karya visual sebagai produksi ujaran. Salah satu risiko cara pembacaan ini tentunya adalah apa yang biasanya disebut sebagai semacam penjajahan atau imperialisme bahasa (verbal) terhadap karya visual. Dalam hal ini Jim telah menggunakan bingkai sebuah cerita atau “reportase” yang terkesan lengkap atau cocok untuk membaca “Arakan Penganten”, dan kisah dramatik itulah yang membuat “narasi” sebuah lukisan menjadi (tampak) sahih. Tentu saja, argumen semacam itu tidak akan pernah cukup. Apa dan di mana hubungan antara kesahihan sebuah narasi dengan keaslian atau mutu artistik dan bobot estetik sebuah lukisan? Bukankah penggunaan narasi berbau reportase jurnalistik seperti dilakukan oleh Jim — dia memang mantan wartawan—untuk menilai keotentikan sebuah karya hanya akan melahirkan sebuah misteri atau kerancuan pembacaan? Pertanyaan yang bisa diajukan kepada Jim, bisakah cara baca semacam itu digunakan sebagai peralatan untuk membuktikan keaslian lukisan? Apa kaitan antara narasi yang dihasilkan melalui prosedur semantik dengan keotentikan karya seniman? Jika mutu artistik tampak cocok atau memadai sebagai “ekspresi asli” si seniman, dapatkah kesahihan mengenai keasliannya dengan serta-merta ditetapkan?

Kita dapat merujuk pada salah satu kasus paling terkenal mengenai lukisan palsu pada pertengahan abad lalu, yang didaku sebagai adikarya pelukis Vermeer: The Disciples at Emmaus karya van Meegeren. Karya itu bahkan disanjung setinggi-tingginya oleh kritikus sebagai karya yang paling Vermeer dibandingkan semua buah tangan Vermeer yang lain. Bahwa lukisan palsu tidak perlu niscaya “lebih buruk” dari karya asli, atau “kurang simbolis” dibandingkan dengan karya yang dianggap otentik, itulah bukti kejeniusan seorang pemalsu lukisan sekelas van Meegeren. Dan itulah jebakan ala Meegeren bagi para kritikus seni kondang yang hanya percaya pada (keterbatasan) mata dan (ketajaman; kesahihan) intuisi mereka sendiri: apakah mereka –para kritikus itu— akan mencabut pengakuan sebelumnya dan dengan begitu menjilat ludah sendiri, atau tetap mengakuinya sebagai jenius yang telah melahirkan “mahakarya Vermeer”? Karya The Disciples kemudian terbukti karya palsu, kendati tidak ada gubahan asli Vermeer yang pernah ditemukan yang sejenis karya itu.

Jadi, sekali lagi, penelitian keaslian lukisan tentunya bukanlah sejenis konstruksi drama, atau “drama atas drama”.

Dengan kata lain, tidak ada cara lebih sahih mengenali keaslian sebuah lukisan kecuali melalui riset sejarah, identifikasi muasal atau perjalanan kepemilikan karya itu, uji laboratorium-forensik berbasis penggunaan materi —pada jangka waktu tertentu usianya— serta testimoni para pelaku di medan seni secara seksama. Jalan buntu yang dengan sadar dipilih oleh pemilik museum yang tidak bersedia membuka pintu bagi kejelasan informasi mengenai pemilikan atau pengoleksian lukisan adalah sumber “drama” yang membuat investigasi lukisan palsu terkesan “mengais” kalau menggunakan istilah Jim. Keputusan “ekonomi-politik” untuk menyembunyikan informasi mengenai muasal koleksi sesungguhnya bertentangan dengan regulasi yang berlaku bagi museum publik di dunia internasional yang dibuat untuk kepentingan pengetahuan sejarah (seni). Tapi jelas, setelah melewati waktu sekian lama, kini sudah tersedia informasi dan pengetahuan dari hasil kais-mengais yang “orisinal” dari sejumlah penulis dan peneliti sejarah seni rupa di Indonesia yang bisa kita gunakan sebagai rujukan awal. Jim tentunya tidak perlu ragu menggunakan bahan-bahan itu sebagai penelitian awal agar pernyataan “fundamental”nya lebih memiliki dasar yang kokoh. Tapi yang perlu dicatat adalah, buku Jejak Lukisan Palsu Indonesia hanya berisi sekitar 20 persen dari seluruh bahan yang diperoleh dari hasil penelusuran mendalam mengenai sejumlah kasus “dramatik” pemalsuan lukisan di sekitar kita.

Keaslian “yang sosial”

Jim telah meremehkan penelitian dan penelusuran mengenai lukisan palsu dengan mengatakan bahwa “isu” semacam itu “masih dikais sampai sekarang” dengan hasil yang meragukan. Pandangan semacam ini sama sekali tidak mengindahkan fakta bahwa pemalsuan lukisan di Indonesia bahkan ditengarai makin marak dan telah beredar memasuki pintu institusi museum dan menerobos badan lelang kondang, selain sejak lama menjejali koleksi privat milik beberapa kolektor. Sudah sejak pertengahan 1980-an misalnya pelukis dan kritikus Popo Iskandar mengeluhkan soal ini. Di pertengahan tahun 90-an, berjalan-jalan di sejumlah galeri-toko seni di Jakarta peneliti seni rupa Indonesia , Astri Wright sudah menyaksikan bahwa sejumlah lukisan palsu Hendra Gunawan berkualitas rendah banyak dipajang dan dijajakan di tempat-tempat terbuka itu.  

Marilah kita bayangkan bahwa pemalsuan lukisan di Indonesia sudah menjadi lebih canggih karena terus berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu menurut investigasi jurnalistik. Bersama dengan itu pula, pengetahuan mengenai kekhasan gaya, pelukisan sosok ikonik maupun simbol-simbol sosial tertentu dari sejumlah pelukis kita, berikut “drama-drama”nya sudah makin menjadi khasanah pengetahuan seni bersama. Barangkali sudah makin berkembang pula bakat-bakat baru atau Meegeren-Meegeren baru dalam jejaring produksi lukisan palsu di medan seni kita, yang karena “membiarkan lubang menganga”, membuat kita pun “terperosok sendiri” menurut istilah Enin Supriyanto.

Sekali narasi, motif atau “ekspresi”  mengenai “sinisme” atau “kemarahan” —menggunakan istilah Jim untuk konteks kekaryaan Sudjojono— dikenali dan dikuasai oleh para pemalsu lukisan yang tidak sekadar berbakat medioker, maka segala macam “drama” sebagai diskursus atau “representasi” di dalam sebuah karya visual bisa berkembang biak sangat banyak dan tanpa batas. Maka, sekali lagi bukan kisah atau “drama” yang kiranya bisa menjadi tolok-ukur kesahihan sebuah karya asli, melainkan bukti-bukti lain yang lebih “fundamental” yang mesti dikerjakan dan diperoleh oleh mereka yang mau “peduli” terhadap “isu” ini. Termasuk dengan cara “mengais”nya. Bahwa ada sejumlah lukisan palsu versi “Arakan Penganten” yang beredar dengan kualitas artistik serta bobot naratif yang setara “dramatik” nya, menunjukkan bahwa praktik pemalsuan lukisan palsu pun mensyaratkan dan memraktikkan penguasaan serta  pengetahuan perihal narasi-populer sejumlah karya pelukis yang dipalsu. Dan itulah basis yang dengan cukup longgar bisa dimanfaatkan sebagai bahan “oplosan” – istilah Aminudin TH Siregar—dalam praktik pemalsuan lukisan.  

Maka, kembali kepada “ketidakpedulian” Jim mengenai “isu” lukisan palsu, pertanyaan yang muncul adalah: bukankah prosedur naratif atau dramatik adalah cara yang juga secara “sahih” dilakukan dalam praktik pemalsuan? Jika Jim menggunakan strategi pembacaan dramatik untuk mengesahkan keaslian, maka cara yang sama juga digunakan di dalam praktik pemalsuan lukisan sebagai moda di dalam produksi.

Bersandar pada penciptaan “drama” sebagai isi “asli” sebuah lukisan tentunya akan sangat merepotkan bagi Jim. Sang kurator harus mengarang lebih banyak lagi jenis-jenis  drama pada sejumlah lukisan yang telah terlanjur dipilih untuk pameran “The People in 70 Years” yang dikuratorinya, yang diduga bukan karya asli seniman yang namanya tertera di pojok karya itu. Atau pilihan lain, seperti dalam kisah dilematis mengenai jebakan ala Meegeren, ia dengan terpaksa mesti mengakui bahwa “tidak mempedulikan lukisan palsu” adalah sebuah kekeliruan yang bisa berbalik menjadi bumerang bagi pernyataan itu sendiri.  

Merancang sebuah pameran dengan tema sosial tapi tidak mempedulikan “isu” lukisan palsu di sekitar adalah sesuatu yang tidak bisa kita mengerti. Kasus lukisan palsu di Indonesia tak kurang sosialnya dibandingkan tema masyarakat yang lain. Dari segi estetik, wacana mengenai keaslian dan kepalsuan justru mau menguji kesahihan berbagai segi atau gagasan “fundamental” di dalam perkembangan seni rupa kita. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni dan kaum “akademisi” seni rupa pun sesungguhnya ditantang untuk menunjukkan kesahihan produksi dan kekritisan pengetahuan seni mereka. Di samping itu, peran negara juga masih harus ditagih untuk melindungi warisan budaya, hasil karya para seniman perintis, yang bermanfaat mendorong menegakkan strategi ekonomi politik yang lebih jitu dalam medan seni rupa kita.

Uluwatu, 4 Mei 2016

Artikel terkait:

- POLEMIK Lukisan Palsu: Dua Drama 'Arakan Penganten'

- POLEMIK Lukisan Palsu: Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat

 

Ikuti tulisan menarik Hendro Wiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler