x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Kekerasan Sedang Mewabah?

Mengapa tindakan kekerasan semakin sering dan gampang dilakukan oleh warga masyarakat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Semua kekerasan dalam video dan film, Anda tidak bisa bilang bahwa itu tidak memengaruhi orang yang sedang dirundung masalah.”

--Alana Stewart (Aktris, 1945-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya menduga, para jurnalis merasa demikian getir ketika harus menulis berita tentang aksi kekerasan yang kian mengerikan, terutama di minggu-minggu terakhir ini. Bagaimana mungkin masyarakat yang membanggakan keramahannya sanggup melakukan pembunuhan dengan cara yang menakutkan—tapi, itulah kenyataannya, itulah yang terjadi.

Mungkin kita tercenung membaca serangkaian kabar ini: Di Sumatra Utara, di sebuah kampus, seorang mahasiswa menikam dosen perempuannya berulang kali hingga meninggal. Di Bengkulu, seorang pelajar berusia 14 tahun diperkosa beramai-ramai oleh 14 pemuda belia lalu dibunuh. Di kampus UGM Yogyakarta, seorang mahasiswi dibunuh dan jasadnya disembunyikan di kamar toilet. Di Makassar, seorang ayah menghantamkan tabung gas ke kepala anak kandungnya yang berusia 6 tahun hingga meninggal.

Nyaris setiap hari aksi kekerasan diberitakan—dan kadar kekerasannya begitu mengerikan. Apa yang tengah terjadi dalam masyarakat kita? Apakah ini pertanda masyarakat kita tidak bahagia, bahkan lebih dari itu—sakit? Sangat tertekan?

Cara-cara kekerasan menjadi semakin jamak dipakai untuk menyelesaikan persoalan. Peristiwa yang menyita perhatian publik itu berlangsung di Medan, Bengkulu, Yogyakarta, dan Makassar—menyebar, barangkali di kota-kota lain terjadi kekerasan serupa.

Dalam benak, serangkaian pertanyaan muncul: Apakah tindak kekerasan dalam masyarakat kita semacam itu sebenarnya sudah sering terjadi, tapi baru kali ini beritanya meluas dengan cepat karena informasi lebih mudah tersebar? Ataukah tindakan kekerasan semacam ini memang merupakan fenomena yang semakin kerap terjadi dalam masyarakat kita—karena itu merupakan pertanda yang tidak sehat, ada ketidakberesan di dalam diri kita?

Frekuensi tindak kekerasan dan pembunuhan, dengan ragam yang kian mengerikan itu, juga mengundang tanya: apakah tindakan seperti ini ‘menular’, seperti halnya para psikolog menduga kuat bahwa tindakan bunuh diri ‘menular’? Saya belum menghitung, tapi rasanya semakin banyak kejadian di Indonesia orang melompat dari ketinggian sebuah bangunan—hotel dan apartemen, khususnya. Apakah ini penularan dan peniruan? Mungkinkah aksi kekerasan berkembang jadi wabah?

Salah satu kemungkinan yang patut diduga ialah bahwa berita kekerasan yang beredar dengan cepat dan meluas berkat teknologi internet dan kehadiran media sosial memberi pengaruh buruk terhadap sebagian warga. Maksud saya, pengaruh buruk itu dalam bentuk menginspirasi, memberi dorongan, maupun memicu naluri seseorang untuk melakukan kekerasan kepada orang lain. Terlebih lagi ketika siapapun menjadi semakin mudah mengunggah dan berbagi video kekerasan, termasuk perisakan atau bullying, ke jaringan internet—sesuatu yang dapat terjadi ketika kepekaan emosional semakin tumpul.

Internet dan media sosial bukan saja mempercepat penyebaran berita, tapi juga memiliki kekuatan dalam mengamplifikasi peristiwa yang terjadi melalui komentar-komentar provokatif yang disampaikan oleh sebagian netizen. Memang diperlukan kajian lebih dalam sejauh mana efek negatif dari pemakaian internet dan media sosial dalam memengaruhi sikap seseorang, khususnya yang sedang berada di bawah tekanan keadaan. (ilustrasi: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler