x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Ada Kata Terlambat Mengenal Tjokroaminoto

Tjokroaminoto menjadi guru bagi tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga aksi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bila diukur dari rentang waktu, jarak antara kita yang hidup di tahun sekarang dengan saat Hadji Oemar Said Tjokroaminoto berkiprah di dunia pergerakan berkisar 100 tahun. Meski begitu, terdapat pelajaran historis yang masih relevan dengan situasi sekarang. Jadi, tidak ada kata terlambat untuk mengenal Tjokro.

Dibandingkan dengan organisasi Boedi Oetomo, yang kelahirannya dijadikan tonggak Hari Kebangkitan Nasional, apa yang diikhtiarkan Tjokro sesungguhnya lebih menasional. Terlebih lagi ketika Boedi Oetomo mengubah pasal 2 anggaran dasarnya menjadi: “organisasi ini bertujuan membantu perkembangan negeri dan rakyat di pulau-pulau Jawa dan Madura”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam buku Tjokroaminoto, Guru Para Pendiri Bangsa, yang disusun tim redaksi Majalah Tempo dan sudah dicetak tiga kali, disebutkan bahwa pengabaian wilayah lain Nusantara sebenarnya tidak berdasarkan motif ideologis, melainkan lebih didorong alasan pragmatis, bahwa pengurus Boedi Oetomo mengaku tidak begitu mengenal kondisi seluruh Hindia Belanda. Sungguh ironis.

Tjokro, dalam  buku ini, digambarkan sebagai sosok yang berusaha menasionalkan Sarekat Islam (SI)—organisasi yang semula didirikan oleh Samanhoedi, saudagar batik di Solo. Ia tidak puas bila SI hanya jadi organisasi lokal—sikap yang menunjukkan keluasan pandangan Tjokro.

Kepemimpinan Samanhoedi, menurut almarhum Dr. Deliar Noer, tak sampai dirasakan oleh kalangan anggota, sedangkan Tjokro banyak memikirkan cara menghapus penderitaan rakyat dan membentuk struktur organisasi yang jelas. Ia bersikap egaliter, tak memandang usia, status, atau jabatan, ini membuat banyak orang tertarik untuk bergabung dengan SI—meskipun juga membuat kaum ningrat merasa jengah.

Tjokro tak hanya berupaya melindungi kaum pribumi dalam perdagangan, seperti yang dikehendaki oleh Samanhoedi. Ada kepentingan memajukan kesejahteraan dan pendidikan umat Islam.

Untuk mencapai tujuan itu, Tjokro bukan bersikap makin kooperatif kepada pemerintah kolonial Belanda, melainkan justru mengubah haluan politiknya menjadi lebih radikal. Untuk merumuskan ‘ideologi’-nya, Tjokro memelajari semua aliran isme. Ia membaca karya Karl Marx sembari terus menggali dasar-dasar sosialisme Islam. Ia menjalankan aksi-aksi pendidikan dan perluasan intelektual masyarakatnya.

Sebagai Ketua Umum Sarekat Islam, Tjokro hanya digaji ala kadarnya. Rumahnya berada di tengah-tengah perkampungan padat, hanya beberapa puluh meter dari Kali Mas yang membelah Kota Surabaya. “Gang kami namanya Gang VII Peneleh,” kata Sukarno, presiden pertama RI, yang pernah indekos di rumah Tjokro. Gang itu begitu sempit, tidak muat dilewati mobil.

Di rumah Tjokro itulah, Sukarno remaja bukan saja indekos melainkan belajar dan berguru kepada Tjokro yang sebaya dengan ayah Sukarno. Sukarno tinggal di bagian belakang rumah, dan di sinilah sebagian sejarah Indonesia modern meninggalkan jejaknya. Di rumah Tjokro ini indekos pula Alimin, Musso, Semaoen, Kartosuwirjo, dan beberapa orang lainnya. Kelak Alimin, Musson, dan Semaoen berusaha ‘memerahkan’ Sarekat Islam, sedangkan Kartosuwiryo memberontak kepada pemerintahan Sukarno—teman satu kosnya—di era Republik.

Di rumah kampung inilah anak-anak muda ini menemukan dunianya. Di samping tersedia beragam bacaan dari kiri hingga kanan, Tjokro juga kerap menerima kunjungan tokoh pergerakan, di antaranya H. Agus Salim, Tan Malaka, maupun Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Tjokro seorang orator yang memikat, dan dari sosok inilah Soekarno muda belajar menggelorakan semangat rakyat untuk menentang kolonialisme.

“Badannya sedikit kurus, tapi matanya bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga, walaupun beliau tidak mempedulikan lagi titel raden masa yang tersunting di hadapan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran dan kehormatan,” begitu kesan almarhum HAMKA, yang pernah berguru kepada Tjokro di Yogyakarta, 1924.

Buku Tjokroaminoto ini, yang semula merupakan edisi khusus Majalah Tempo, tetap penting, menarik, dan relevan untuk dibaca kapanpun. Sekalipun Tjokro wafat 11 tahun sebelum Indonesia merdeka, tapi perannya dalam menyemaikan kesadaran politik rakyat maupun perannya sebagai ‘guru’ bagi tokoh-tokoh pergerakan sungguh tak bisa diabaikan. Bukan saja dalam pemikiran, tapi juga dalam aksi.

Para politikus zaman sekarang semestinya membaca sejarah Tjokro agar paham benar tentang apa makna dan tujuan berjuang di medan politik. (foto dari buku tempo: Tjokro duduk berjas hitam) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler