x

Iklan

Natas Lime

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teman Ahok dan Partisipasi Politik

Ahok kini menjadi kandidat Gubernur DKI Jakarta yang sangat diperhitungkan kekuatannya oleh sekian banyak parpol. Padahal, dia cuma didukung Teman Ahok

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah dipastikan akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 melalui jalur independen atau jalur perseorangan. Ia juga telah meminang Heru Budi hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta sebagai pasangannya nanti.

Keputusan final mantan Bupati Belitung Timur itu kini menyisakan multi-opini di masyarakat. Ada yang masih menginginkan Ahok maju melalui jalur Parpol (baca: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), ada pula yang terus mengharapkan Ahok maju melalui jalur perseorangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ahok, oleh beberapa petinggi PDIP dinilai lebih memilih maju bersama Teman Ahok: sebuah komunitas massa, relawan, kaum muda yang secara sukarela mendukung Basuki Tjahaja Purnama maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti.

J Kristiadi, peneliti penior CSIS, pernah menganalogikan fenomena Ahok dan PDIP dengan tarian Tango. Tango, tarian eksotik berpasangan, adalah tarian rakyat yang berasal dari salah satu negara di Amerika Latin.

Dansa rakyat yang kini populer di seantero dunia tersebut mengombinasikan kelincahan, kegesitan, serta kegemulaian penarinya. Oleh sebab itu, tarian tersebut dianggap sempurna kalau dua orang yang berpasangan itu tidak hanya saling mengenal, tetapi juga mempunyai senyawa intimitas sehingga tarian itu tidak hanya membuat terpesona, tetapi juga mampu menyihir penonton karena kejujuran ekspresi kegairahan eksotis para penarinya.

Ahok, sentil Kristiadi, ternyata tidak memilih menari Tango dalam Pilkada DKI Jakarta nanti. Ia akan melakukan Tari Topeng Klana asal Cirebon, joget yang diilhami oleh adegan raja yang suka mengelana, mempunyai cita-cita tinggi, serta memanifestasikan kegagahan dan kejujuran dalam mengemban tugasnya.

Di tengah perdebatan publik terkai Ahok dan PDIP kini, analogi Kristiadi cukup relevan. Ahok lebih memilih maju melalui jalur independen dan didukung oleh Teman Ahok, bukan melalui partai politik. Terlepas dari apakah pilihan sikap Ahok akan berdampak pada kekalahannya pada Pilkada 2017 nanti, namun Ahok tetap teguh pada sikapnya untuk maju melalui jalur independen (perseorangan).

Semua tahu, Ahok tak akan “menjilat ludahnya sendiri” dalam menentukan sikap politiknya. Gerindra, contoh paling nyata soal itu. Saat partai yang turut mengantarnya ke kursi wakil gubernur DKI Jakarta pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 silam itu tak sesuai dengan visi kerakyatannya, partai itu ia tinggalkan. Atau, yang masih segar dalam ingatan publik adalah soal Kalijodo. Sikap Ahok-meski banyak yang mengkritisi, bahkan melarang untuk melakukan eksekusi-konsisten untuk menertibkan Kalijodo.

Begitulah seorang Ahok. Ia tak kenal kompromi yang bertele-tele, tak juga peduli dengan tudingan-tudingan miring tentangnya saat mengeluarkan keputusan. Yang ada padanya adalah pertimbangan yang matang untuk menghasilkan keputusan yang matang pula, meski menuai kontroversi dan kecaman publik. Bisa dipastikan, semua keputusan atau sikap yang dikeluarkan selalu berujung kontroversi.

Hingga kini kontroversi Ahok dan PDIP masih menguat di mata publik. Hal itu tak hanya berkaitan dengan ketakcocokan sikap politik soal Ahok yang tak mau diusung PDIP, tetapi juga karena ‘Moncong Putih’ yang menguak deparpolisasi: pengerdilan partai politik.

Meski partai penguasa itu tak secara spesifik menyebut Ahok sebagai pihak yang tengah melakukan deparpolisasi, namun kuat dugaan hal itu adalah cara yang paling mungkin dilakukan PDIP untuk mengonsolidasikan kekuatan partai politik lainnya melawan seorang Ahok.

Pasalnya, seruan deparpolisasi nyaris tak dikumandangkan partai pemenang Pilpres 2014 itu saat ratusan pasangan calon mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan pada Pilkada langsung 09 Desember 2015 lalu. PDIP tiba-tiba kencang meniupkan opini tentang deparpolisasi saat pencalonan Ahok yang lebih memilih maju lewat jalur independen, tanpa usungan parpol.

Jakarta Melihat Figur

Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 (putaran kedua), dukungan Parpol terhadap pasangan calon lebih kencang ditiupkan pada pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara). Pasangan ini didukung oleh Partai Golkar, Partai Demokrat, PAN, PKB, PKS, Hanura, PKNU, PPP, PMB, dan PBB. Sementara, pasangan Joko Widodo- Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) hanya didukung dan diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra.

Jokowi-Ahok pun keluar sebagai pemenang dengan meraih 53,8% perolehan suara. Lawannya, Foke-Nara meraih 46,2% perolehan suara. Kemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 itu mengisyaratkan poin penting dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Bahwa, pemilih (voters) tak lagi mereferensikan pilihannya pada partai politik dan segala unsur di dalamnya.

Preferensi pilihan politik masyarakat Jakarta lebih mempertimbangkan variabel figur politik yang maju: rekam jejak, materi kampanye dan program andalannya. Paradigma masyarakat yang memilih karena fanatisme terhadap parpol mulai meredup, bahkan berangsur hilang. Jakarta lebih melihat prestasi figur yang diusung dari pada melihat kualitas partai politik pengusung.

Fenomena itu pernah disinggung Mujani dan Liddle (2007), bahwa elektabilitas partai politik salah satunya sangat banyak dipengaruhi oleh faktor “tokoh”. Penelitian Liddle dan Mujani menunjukkan kepemimpinan (ketertarikan dan evaluasi terhadap tokoh) adalah variabel penting yang menjelaskan pilihan pemilih. Dalam penelitian tersebut, aspek ketokohan menjelaskan sekitar 71% variasi atas pilihan partai politik.

Atas kondisi itu, tak ada pesan politik yang lebih besar bagi parpol di Indonesia selain evaluasi dan berbenah diri. Penataan institusi (kelembagaan), rekrutmen hingga pendanaan mendesak dilakukan partai politik saat ini. Partai tak bisa lagi main-main dengan urusan pengkaderan politik bagi kader-kadernya. Sehingga, output kaderisasi partai politik dapat benar-benar menjawab tuntutan ideal masyarakat khususnya pemilih.

Wujud Partisipasi Politik

Preferensi setiap demokrasi politik adalah partisipasi rakyat (pemilih). Bukan hanya partisipasi saat momen pemilihan, tetapi juga sejak gendang pemilu ditabuh. Partisipasi tidak hanya identik dengan pelibatan diri saat proses pemilihan.

Partisipasi politik dapat ditunjukkan dengan berbagai aktivitas politik untuk memenangkan kompetisi politik-mengusung kandidat yang kredibel, mengupayakan berbagai strategi pemenangan dan menjaring pemilih lainnya untuk ikut memilih kandidat yang didukung. Keterlibatan tak mengamini diam dan apolitis terhadap setiap proses politik.

Fenomena kerja-kerja politik Teman Ahok merupakan bentuk partisipasi politik yang nyata. Mereka adalah kelompok masyarakat yang sebagian besar merupakan aktivis sosial-politik muda yang memiliki visi kesejahteraan dan kemajuan Jakarta. Mereka adalah kelompok kreatif yang pro terhadap kepemimpinan Jakarta yang melayani dan mampu menjawab tuntutan Jakarta dan kompleksitasnya.

Mereka memiliki kesadaran akan pentingnya sosok kepemimpinan yang handal dan cakap strategi untuk memajukan DKI Jakarta: memiliki strategi jitu untuk menyelesaikan persoalan sosial di Jakarta. Refleksi atas kesadaran ini lalu terjawab oleh kepiawaian Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) selama tampil memimpin Jakarta, sejak menjadi wakil Gubernur mendampingi Jokowi dan saat menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi.

Volunterisme politik ini tentu bukan tanpa alasan. Realitas politik Indonesia yang masih diimbuhi politik transaksional, mahar politik, jual beli suara, konflik internal parpol dan praktik KKN telah menyuburkan kegerahan publik terhadap partai politik. Partai politik, dengan berbagai realitas politik yang terjadi, dianggap telah menjadi salah satu sumber kebangkrutan demokrasi.

Buktinya, Indeks Demokrasi Indonesia 2014 yang naik 9,32 poin dari 63,72 menjadi 73,04. Namun, meskipun kualitas demokrasi membaik, BPS membuktikan peran institusi, seperti DPR dan partai politik, belum maksimal.

Kehadiran Teman Ahok dalam pentas Pilkada DKI 2017 tentu bukanlah hal yang baru dalam perpolitikan Indonesia. Masih hangat di ingatan kita, sejumlah elemen masyarakat (baca: relawan) berkosolidasi berkonsolidasi lewat forum-forum tertentu untuk memenangkan Jokowi-Jusuf Kalla.

Mereka tidak bergabung dalam jaringan pemenangan yang dibentuk parpol pengusung Jokowi-JK. Mereka bukan orang partai. Mereka adalah kelompok masyarakat, kaum muda yang memiliki cita-cita Indonesia yang sejahtera dan maju. Mereka membentuk posko-posko pemenangan, mengampanyekan Jokowi-JK, dan berbagai kegiatan sosial politik lainnya.

Tak hanya di kubu Jokowi-JK, di kubu Prabowo-Hatta pun sejumlah forum juga menyatakan dukungan, mengampanyekan Prabowo-Hatta bahkan merekomendasikan strategi kemenangan kepada parpol pengusung. Mereka bergerak secara sukarela, tanpa ajakan dari kandidat yang didukung. Tabukah hal-hal itu dalam politik?.

Konsolidasi politik yang dilakukan oleh Teman Ahok bisa dipantau secara langsung oleh masyarakat luas. Mereka menyediakan sebuah website yang mempublikasikan ragam hal, antara lain progresivitas kerja pengumpulan KTP, donasi dan kegiatan sosial yang dilakukan. Juga, tak kalah menarik, kelompok yang digagas oleh Amalia Ayuningtyas dkk itu menjajakan sejumlah atribut teman Ahok sebagai sumber pendanaan kegiatan politik pemenangan Ahok lewat jaringan sosial. Mereka tak berafiliasi dengan partai politik.

Mereka adalah generasi Z yang kreatif dan memiliki visi keadilan dan kesejahteraan sosial di Jakarta. Aktivitas mereka bisa dipantau di laman temanahok. com.

Partisipasi politik lantas tak harus diidentikkan dengan kebergabungan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik juga harus terepresentasi dalam tindakan-tindakan rekrutmen calon yang akan didukung, mengampanyekan figur yang didukung dan berjuang memenangkan kandidat yang didukung. Teman Ahok sudah melakukan itu. Tugas kita, mendukung perjuangannya!

Ikuti tulisan menarik Natas Lime lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu