x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Para Pembocor Dokumen

Para pembocor dokumen rahasia diburu, diadili, dan dipenjara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Kita semua Julian Assange..."

--Naomi Wolf (Penulis, 1962-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gelombang keriuhan yang ditimbulkan oleh pembocoran The Panama Papers belum usai. Di sebagian negara, dampaknya sudah terasa; sementara di sejumlah negara lainnya, situasinya hangat-hangat tahi ayam. Di tengah respons yang beraneka ini, muncul John Doe yang mengaku sebagai pembocor data dari firma hukum Mossack Fonseca. Seperti diberitakan tempo.co, John Doe mengatakan bahwa aksi pembocoran itu merupakan bentuk protes terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan pendapatan di dunia.

John Doe bukanlah nama sebenarnya, melainkan nama fiktif yang dipakai untuk melindungi identitas sebenarnya. Maklum, sejumlah orang yang terlibat langsung dalam pembocoran data berada dalam posisi sulit. Edward Snoden bersembunyi di Rusia, Bradley Birkenfeld sempat mendekam di penjara, Julian Assange hidup dalam pelarian, sedangkan Antoine Deltour sedang menjalani proses peradilan.

John Doe meminta pemerintahan di seluruh dunia untuk lebih melindungi para pembocor yang mengungkap skandal penyimpanan kekayaan maupun isu-isu lain demi kepentingan orang banyak. Permintaan yang mungkin terkesan naif, karena sebagian orang yang namanya tercantum dalam dokumen Panama itu menempati jabatan pemerintahan tertentu.

Birkenfeld mengklaim sebagai bankir pertama yang berbicara mengenai dunia perbankan Swiss yang diliputi rahasia. Meskipun lahir dan besar di wilayah Boston, AS, Birkenfeld menghabiskan sepuluh tahun terakhir di Swiss, membantu orang-orang kaya Amerika menyembunyikan uang mereka. Ia tinggal di Jenewa, di mana—kata Birkenfeld kepada televisi—terdapat lebih banyak mesin penghitung uang daripada meteran parkir.

Setelah sempat membantu orang-orang kaya Amerika, Birkenfeld berbalik arah. Kepada pemerintah AS, pada tahun 2007, ia mengungkapkan praktik sejumlah bank di Swiss yang menyimpan uang orang-orang kaya Amerika yang menghindari kewajiban membayar pajak di negaranya. Meskipun ia sudah bekerjasama dengan menjadi peniup peluit (whistleblower) yang menyingkapkan penghindaran pajak bernilai besar, Birkenfeld tetap divonis 40 bulan penjara dan denda 30 ribu dolar AS.

Birkenfeld dilepas pada Agustus 2012 setelah melewatkan 2,5 tahun di dalam bui. Berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, Birkenfeld memperoleh 104 juta dolar AS dikurangi pajak. Berkat Birkenfeld, pada tahun 2009, pemerintah AS memaksa UBS—tempat Birkenfeld pernah bekerja—untuk membayar denda 780 juta dolar AS dan mengakui telah bersekongkol menipu AS dengan menghambat upaya IRS untuk memperoleh informasi mengenai pembayar pajak AS yang menyembunyikan uang mereka di Swiss. Pada tahun 2014, raksasa perbankan Credit Suisse mengakui bersalah dan akan membayar denda 2,6 milyar dolar AS Sejak itu, investigator AS memburu uang yang disembunyikan di bank-bank Israel, India, maupun negara-negara lain.

Pembocoran lain yang terkenal ialah Luxemburg Leaks, nama investigasi yang dilakukan International Consortium of Investigative Journalism (ICIJ) terhadap dokumen-dokumen mengenai perjanjian pajak antara otoritas Luxemburg dan perusahaan-perusahaan multinasional. Perjanjian yang cenderung menguntungkan pembayar pajak dibuat dalam rentang tahun 2002 hingga 2010.

Sebanyak 80 jurnalis dari organisasi media di seluruh dunia terlibat dalam kerja kolaboratif dalam memelajari 28 ribu halaman dokumen. ICIJ mempublikasikan hasil investigasi tersebut pada November 2014. Bagaikan menjatuhkan bom, LuxLeaks memicu reaksi kemarahan di berbagai belahan dunia.. Publikasi LuxLeaks menarik perhatian internasional terhadap skema-skema penghindaran pajak di Luxemburg maupun tempat-tempat lain. Putusan pajak otoritas Luxemburg terhadap lebih dari 340 perusahaan itu bertujuan untuk mengurangi pembayaran pajak mereka.

Penetapan pajak (tax ruling) disusun oleh perusahaan-perusahaan akuntansi besar untuk kemanfaatan klien mereka, yakni perusahaan multinasional, dan kemudian disetujui oleh otoritas pajak Luxemburg. Menurut ICIJ, dokumen-dokumen tersebut diperoleh dari pegawai atau mantan pegawai anak-anak perusahaan akuntansi internasional yang lazim disebut sebagai The Big Four.

Antara Desember 2014 hingga April 2015, tiga orang didakwa di Luxemburg dalam kaitan dengan LuxLeaks. Tidak ada perusahaan multinasional yang menghadapi tuduhan di negara manapun atau di tingkat internasional dikarenakan legalitas tax ruling. Antoine Deltour, pemuda 28 tahun, menyatakan di pengadilan bahwa ia membocorkan dokumen itu untuk kebaikan publik dan bukan karena motivasi finansial. Deltour mengatakan pula, dokumen yang ia salin itu tidak diproteksi, dan ia tidak meretas sistem apapun. Ia juga mengaku tidak punya kontak dengan ICIJ dan ia tidak berusaha menyembuyikan apa yang ia lakukan.

Dukungan kepada Deltour datang dari berbagai kalanngan, termasuk Edward Snowden dan ekonom Thomas Piketty. Deltour memperoleh sejumlah penghargaan, di antaranya European Citizen’s Prize dari Parlemen Eropa, serta dinominasikan untuk mendapat Sakharov Prize for Freedom of Thought pada 2015. Pada Desember 2015, Antoine Deltour diakui sebagai ‘Person of the Year 2015’ oleh majalah profesional Tax Notes International atas peran dan pengaruh yang ia mainkan dalam membentuk undang-undang pajak internasional yang baru.

Pembocor dokumen lainnya yang populer adalah Edward Snowden, seorang profesional komputer yang pernah bekerja untuk CIA. Snowden juga mantan kontraktor untuk pemerintah AS yang menyalin dan membocorkan informasi rahasia dari National Security Agency (NSA) pada tahun 2013. Snowden membocorkan informasi mengenai sejumlah program pengawasan global, yang banyak di antaranya dilakukan oleh NSA dan Five Eyes Intelligence Alliance bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan telekomunikasi dan pemerintah Eropa.

Pada Juni 2013, Snowden membocorkan ribuan dokumen rahasia NSA kepada jurnalis Glenn Greenwald, Laura Poitras, dan Ewen MacAskill. Snowden menarik perhatian internasional setelah kisahnya muncuk di The Guardian dan The Washington Post, dan disusul kemudian di koran seperti Der Spiegel dan The New York Times. Pada bulan yang sama, Departemen Kehakiman AS menuduh Snowden telah melanggar Espionage Act of 1917 dan mencuri dokumen pemerintah. Pada 23 Juni 2013, ia terbang ke Moskow, Russia, dan tinggal di sana lebih dari satu bulan. Pada musim panas, penguasa Russia memberinya suaka selama satu tahun, yang kemudian diperpanjang menjadi tiga tahun.

Dalam pengakuannya melalui e-mail tanpa nama yang menjadi pembuka buku The Snowden Files karya Luke Harding, Snowden ingin dunia tahu mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di balik beraneka peristiwa di dunia. “Saya tidak ingin hidup di dunia di mana setiap hal yang saya katakan, setiap hal yang saya lakukan, setiap orang yang bercakap-cakap dengan saya, setiap ekspresi kreativitas atau kasih sayang atau persahabatan direkam,” ujar Snowden.

Sebagai anak muda 29 tahun yang nice-looking, tindakan Snowden mungkin dianggap edan. Ia tinggalkan gaji US$ 200 ribu sebagai kontraktor NSA, juga rumahnya di Hawaii—yang ia sebut sebagai ‘surga’, hanya untuk membuat dunia tahu apa yang dilakukan oleh badan rahasia yang karena sedemikian rahasia, ada yang menyebut organisasi ini ‘No Such Agency’. Dalam sejarah badan intelijen ini, tidak ada informasi yang bocor keluar hingga akhirnya Snowden membuat lubang saluran.

Dokumen-dokumen yang bocor itu mengungkapkan bahwa Gedung Putih bukan hanya memata-matai musuh-musuhnya (al-Qaida, teroris, Rusia), tapi juga sekutunya (Jerman, Prancis), dan bahkan menguping komunikasi jutaan warga AS sendiri. Apakah ini nyata? Ya, meskipun Luke Harding, jurnalis The Guardian, menuturkannya bak John le Carré berkisah dalam novel-novelnya.

Niscaya terasa tidak menyenangkan hidup di pengasingan, merasa diburu dan dimata-matai, namun Snowden barangkali sudah membayangkan apa yang harus ia bayar lebih dari sekadar kehilangan gaji besar dan rumah surgawi. Ia telah membikin gusar para elite politik dan militer, serta membangkitkan perdebatan tentang bahaya pengawasan terhadap kegiatan inidvidu warga negara.

Snowden menyingkapkan apa yang dibantah tapi diam-diam dilakukan oleh negara. Keberaniannya membuahkan Right Livelihood Award 2014 yang ia peroleh bersama Alan Rusbridger—pemimpin redaksi The Guardian yang menulis laporan bersambung tentang pengintaian pemerintah AS berdasarkan dokumen yang dibocorkan Snowden.

Harding juga menulis buku lain, WikiLeaks: Inside Julian Assange’s War on Secrecy (2011). Bermula dari profesinya sebagai pemrogram komputer, penerbit, maupun jurnalis, Assange mendirikan WikiLeaks pada tahun 2006—WikiLeaks merupakan situs yang mempublikasikan beraneka dokumen rahasia agar dapat diakses oleh masyarakat. Ia memperoleh dokuemen-dokumen itu dengan menyusup ke server-server penyimpanan rahasia dan kemudian mempublikasikannya.

Assange, seperti dikisahkan di bbc.com, digambarkan oleh mereka yang pernah bekerja dengannya sebagai pribadi yang asyik, aktif, dan sangat cerdas—dengan kemampuan istimewa dalam meretas kode-kode komputer. Ia mengadopsi gaya hidup nomaden—yang sudah biasa ia lakukan sejak kanak-kanak, menjalankan WikiLeaks dari tempat yang berpindah-pindah. Ia sanggup fokus pada pekerjaan dengan hanya sangat sedikit tidur. “Ia menciptakan atmosfer di sekelilingnya yang membuat orang-orang dekat peduli kepadanya dan membantunya agar terus melangkah. Barangkali, ini sesuatu yang terkait dengan karisma,” ujar Raffi Khatchadourian, reporter majalah New Yorker, seperti dikutip bbc.com.

Assange muncul di headline berbagai media dunia ketika pada April 2010 ia mempublikasikan foto-foto yang menunjukkan tentara AS menembak mati 18 warga sipil dari helikopter di Irak. Tindakan ini membuat Assange jadi incaran, dan pada tahun itu pula ia ditahan di Inggris setelah Swedia mengeluarkan perintah penahanan dengan tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual—tuduhan pelecehan dibatalkan, tapi tuduhan pemerkosaan tetap dilanjutkan.

Lebih dari satu tahun setelah sempat 10 hari dipenjara, Assange menjalani tahanan rumah di sebuah kota kecil Inggris. Ketika pengadilan memutuskan hendak mengekstradisi dirinya, Assange mencari suaka ke Kedutaan Ekuador di London. Assange khawatir, bila dirinya diekstradisi ke Swedia, selanjutnya ia akan dikirim ke AS untuk menghadapi pengadilan karena membocorkan dokumen rahasia AS. Sejak Agustus 2012, Assange tidak bisa meninggalkan wilayah keduataan Ekuador di London dan diawasi secara ketat oleh kepolisian Inggris.

Kasus ini kemudian dibawa ke forum PBB. Pada Februari 2016, panel PBB menyatakan bahwa Assannge ‘telah ditahan secara sewenang-wenang’ dan harus diizinkan untuk berjalan bebas dan diberi kompensasi atas ‘perampasan kebebasan’-nya. Pihak Inggris menganggap keputusan panel PBB tidak mengikat secara hukum dan Kementerian Luar Negeri Inggris menyatakan: ‘tidak ada perubahan’. Polisi Metropolitan London tetap siaga dan akan menangkap Assange bila ia meninggalkan wilayah kedutaan tempat ia tinggal selama ini. (foto: berbagai sumber) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler