x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terasing dari Sejarah Sendiri

Dengan merobohkan rumah radio Bung Tomo, mereka menghapus jejak-jejak historis bangsa ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Semakin engkau memahami masa lampau, semakin baik engkau mempersiapkan diri untuk masa depan.”

--Theodore Roosevelt (Presiden AS, 1858-1919)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bangunan bersejarah di Jalan Mawar 10-12, Tegalsari, Surabaya, tempat Bung Tomo melakukan siaran radio, itu dibumiratakan oleh pemiliknya—sebuah perusahaan yang membeli rumah itu dari pemilik lama. Setelah ramai di media, Pemkot Surabaya bereaksi dengan memasang seng di lokasi. Instansi yang menangani cagar budaya mengirim orang untuk mencermati apa yang tersisa.

Langkah-langkah itu sudah terlambat. Rumah bersejarah itu sudah rata dengan tanah, padahal di rumah itulah Bung Tomo berpidato melalui siaran radio untuk menggelorakan semangat arek-arek Suroboyo yang tengah berjuang mengusir penjajah. Jejak sejarah itu sesungguhnya sudah sangat jelas, terlebih lagi rumah itu sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya—maknanya, harus dilindungi dari kerusakan.

Beberapa tahun yang lampau, kejadian serupa terjadi di Bandung. Bekas penjara Banceuy diratakan dengan tanah pada tahun 1983 untuk dibangun pertokoan, dan hanya disisakan satu sel—dilihat sepintas, tak ada kesan bahwa di sel itu para pejuang kita dipenjarakan oleh penguasa kolonial. Di penjara Jalan Banceuy, Bung Karno, bersama Maskoen, Soepriadinata, dan Gatot Mangkoepraja, menjalani kehidupan sembari memperjuangkan keadilan di pengadilan kolonial.

Agak susah dipahami bila kita menganggap para penggusur jejak-jejak sejarah itu sebagai orang yang tidak mengetahui bahwa Bung Tomo pernah berpidato di rumah itu maupun Bung Karno pernah dipenjara di Banceuy. Mereka, rasa-rasanya, bukan orang yang sama sekali buta terhadap sejarah atau tidak ingin mengetahui kaitan tertentu sebuah tempat dan sebuah peristiwa.

Namun mengetahui tidak sama dengan memahami nilai sejarah, maknanya, relevansinya dengan masa kini, maupun nilai legasinya bagi anak-cicit. Dan memahami belumlah sama dengan jenjang berempati—ikut merasakan detak nadi perlawanan orang-orang yang bersedia mempertaruhkan jiwanya yang satu-satunya itu demi kebebasan.

Orang-orang yang merobohkan bangunan itu sangat mungkin mengetahui jejak-jejak historis yang melekat pada bangunan itu, tapi memilih untuk tidak peduli. Keserakahan kapitalistik menjadi motivasi kuat untuk tidak mempertahankan bangunan itu. Orang-orang itu telah menghapus jejak-jejak sejarah.

Andaikan mereka mengerti dan mau, bangunan-bangunan itu dapat dipertahankan di tengah lingkungan komersial yang mengepungnya. Menjadikannya ikon yang menawarkan daya tarik bagi siapapun, sebab di sana ada jejak Bung Tomo, sebab di sana ada jejak Bung Karno.

Belajar sejarah bukanlah dimaksudkan hanya untuk mengingat peristiwa masa lampau dan mengenang heroisme para pejuang. Sejarah adalah sebuah jalan untuk memahami jejak-jejak masa lampu hingga sampai ke masa sekarang. Sejarah adalah jalan untuk mengerti benar bahwa memperjuangkan masa depan harus dimulai dari masa lampau.

Bila kita menghapus jejak-jejak sejarah itu, kita akan mengalami keterputusan dengan masa lampau dan orang-orangnya, ide-ide mereka, perjuangan dan cita-cita masa depan mereka. Itu pula agaknya yang terjadi ketika orang-orang merobohkan rumah radio Bung Tomo dan penjara Banceuy. Juga ketika seorang remaja mengacungkan jari tengah ke foto Jenderal Sudirman dan tiga pemuda lainnya menduduki patung tiga pahlawan. Mereka terasing dari sejarah bangsanya sendiri. (foto: Bung Tomo sedang berpidato di studio radio; sumber foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler