x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Pedih untuk Berdamai

Ayahnya terbunuh pada malam yang sangat mencekam itu, tahun 1965. Berpuluh tahun lamanya, kehidupan menjadi tidak mudah baginya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Judul Buku: Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965
Penulis: Nani Nurrachman Sutojo
Penyunting: Imelda Bachtiar
Penerbit: Kompas
Edisi: I, Februari 2013
Tebal Buku: xliv + 228 halaman

 

Ketika saat ini orang banyak berbicara tentang korban dan maaf terkait peristiwa 1965, saya teringat kembali kepada sebuah buku yang ditulis oleh Nani Nurrachman Sutojo. Buku ini menarik dan penting untuk dibaca siapapun, sebab menuturkan peristiwa di seputar malam yang mencekam pada 30 September-1 Oktober 1965 dari sudut pandang seorang remaja putri, serta kepedihan yang ia alami di hari-hari berikutnya—hingga bertahun-tahun kemudian. Berikut ini catatan saya tentang memoir Bu Nani, yang pernah terbit di Koran Tempo:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu terbaca teks ‘...Tragedi 1965’ di sampul buku ini, saya terlempar ke lorong waktu hingga 50 tahun yang silam. Di tempat pengungsian, saya mengintip dari balik kaca pemandangan yang hingga kini belum juga terhapus dari ingatan: seseorang mengejar seseorang lain sembari mengacung-acungkan arit. Sebagai anak 4 tahun saya tak mengerti apa yang terjadi, tapi ingatan lain sering muncul sekilas-sekilas: tari dan nyanyian Genjer-genjer, gereja dan pesantren kecil di dekat rumah, serta lambang palu-arit di sebuah bangunan.

Namun bagi Nani, yang di tahun itu remaja 15 tahun, kekerasan di Subuh buta yang kemudian merenggut nyawa ayahnya, Mayor Jenderal Sutojo, lebih dari sekedar ingatan sekilas. Peristiwa itu menikam perasaan dan pikirannya hingga menjelma trauma yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi, yang teramat sukar dan sakit untuk didamaikan. Sutojo, salah seorang dari tujuh jenderal yang diculik dan dibunuh pada 30 September/1 Oktober 1965, adalah figur yang selalu ia rindukan di tengah kekosongan kenangan akan sang ibu—yang wafat ketika Nani berusia 2 tahun—yang meninggalkan ruang hampa dalam dirinya.

Nani menyusun bayangan ibunya dari mosaik-mosaik cerita. Nani menggambarkan: ayah membentuk, buku mengisi. “Ketika menulis memoir ini, lama saya merenung, seolah-olah ayah telah menyadari apa yang kami butuhkan untuk masa dewasa kami. Ia juga seperti menyiapkan kami untuk ditinggal selamanya dalam usia yang masih kanak-kanak.”

Mengonstruksi pengalaman traumatis, dan terlebih lagi mengisahkannya kepada orang banyak melalui buku seperti ini, pastilah melewati pergulatan batin yang berat. Apalagi kematian seperti mengelilinginya: setelah ibu dan ayahnya berpulang, pengalaman traumatis merenggut adiknya melalui sirosis hati di usia 21 tahun. “Mengapa saya tidak dari dulu bersama Ari saling mendukung membicarakan trauma diri kami masing-masing?”

Trauma telah memberikan malam-malam panjang yang berlangsung bertahun-tahun dan menggerogoti batin dan raga Nani. Hanya buku yang menjadi teman baiknya. Di tengah kecurigaan kepada orang lain, Nani memasuki kehidupan kampus yang mempertemukannya dengan orang-orang yang membukakan harapan baginya dan mendekatkannya dengan cara berpikir Barat yang sudah dikenalnya melalui cerita-cerita Enid Blyton, Charles Dickens, hingga Jane Austen saat ia bersama kakaknya, Agus Widjojo—kelak juga menjadi jenderal, kini Gubernur Lemhanas—dan adiknya Ari, mengikuti Sutojo bertugas di Inggris.

Bersama kearifan nilai-nilai budaya Jawa, cara berpikir itu membantunya melewati masa-masa krisis kehidupannya. Pencapaian rekonsiliasi diri dari trauma masa lalu melalui sikap rela-melepas (letting-go) akhirnya dimungkinkan karena proses mengalami dan melakoni perpaduan ini secara langsung. Titik balik atas semua pergumulan nalar dan perasaan Nani terhadap peristiwa traumatik 1965 itu adalah sebuah forum diskusi yang digelar oleh para mahasiswa Indonesia di Leuven, Belgia, 35 tahun kemudian. Walaupun, sebelumnya ia telah terusik untuk mampu menyelesaikan trauma saat anak-kecilnya bertanya: “Mom, what is a communist? Did they kill Eyang Tojo?”

Di forum Leuven ia berjumpa dengan anak-anak para tokoh sejarah 1965—di antaranya Ibarurri Putri Alam, putri D.N. Aidit—yang harus meninggalkan tanah air dan sukar untuk kembali. Ini perjumpaan yang tak mudah karena orangtua mereka berdiri di tempat berseberangan, juga karena ingatan personal ihwal ‘pemenang’ dan ‘korban’. Melalui memoir psikologisnya ini, Nani ingin mengatakan bahwa kita semua adalah korban. “Kita semua, tanpa kecuali,” ujarnya. Pertemuan Leuven, yang disusul dengan pertemuan lain di forum yang berbeda, menjadi bagian dari upaya membangun kembali anak-anak manusia dari puing-puing reruntuhan kemanusiaan.

Kemarahan Nani kepada Tuhan, yang semula membentur dinding tebal, akhirnya berujung pada tangis di atas sajadah. Ia tak lagi mengejar kesaksian ‘kebenaran’ tentang apa yang terjadi dalam Tragedi 1965. Bukan ia tak ingin mendapatkan kebenaran dan keadilan. “Tapi, apa yang telah dapat saya capai memiliki nilai yang lebih hakiki dari kebenaran duniawi yang dikejar dan dikonstruksi oleh manusia.” Setelah puluhan tahun masa sukar untuk berdamai, Nani akhirnya merasa terlahir kembali melalui dialog dengan Tuhannya.

Dengan mengisahkan secara terbuka pengalaman traumatisnya terkait Tragedi 1965, Nani telah memberikan kontribusi khusus yang sangat bernilai bagi bangsa ini. Ia memaknai peristiwa tersebut dari sudut pandang psikologi perempuan dan berbagi wawasan serta pengalaman dalam mencari jalan keluar dari belenggu masa lampau. Walaupun perih, Nani menunjukkan dengan gamblang implikasi peristiwa historis terhadap kehidupan seorang anak manusia—bahkan, hingga berpuluh tahun kemudian.

Buku ini sangat perlu dibaca oleh siapapun yang ingin memahami dampak tragis suatu konflik politik. Kontribusi Nani sangat patut diapresiasi karena ikhtiarnya untuk menempatkan Tragedi itu sebagai bagian dari sejarah bangsa ini, yang betapapun kelam jangan sampai menutup harapan anak-anak yang lahir di kemudian hari. Dan langkah itu harus dimulai dari mendamaikan diri sendiri dengan masa lampau, betapapun menyakitkan dan menakutkan, dengan menerimanya sebagai realita yang, dalam kata-kata Nani, tidak menimbulkan kesumat, putus asa, dan kesedihan yang menghancurkan. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB