x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cerpen: Jaga Citra Famili Herodes

Terdengar sedu sedan tertahan-tahan. Kamar itu telah disewa secara khusus oleh pihak keluarga sang pasien. Ayahanda! Orang nomer satu di Nagara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 (Ilustrasi: ndturner.com)

Ibukota, saksi mata samudra  kontradiksi sejak tanah air merdeka, hujan lebat. Banjir hebat. Kemacetan dan hiruk pikuk lalulintas di mana-mana. Di tengah itu semua, seekor anjing teler lari terbirit-birit dan menabrak seorang pemulung pincang yang lalu terguling-guling di aspal dan disambut ciuman maut - dicium bemper bus kota yang tengah ngebut kejar setoran. Si pemulung gugur mandi darah di medan jalan raya. Pada saat sama, di tiga kamar paling mahal di sebuah rumah sakit megah dan mewah, bangunan berlantai lima belas yang sedang diguyur air dari langit berwarna kelam, diliputi kemuraman yang senyap.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiga kamar itu berselebahan. Kiri, tengah dan kanan. Terdengar sedu sedan tertahan-tahan dari kamar kiri dan kanan. Kamar itu telah disewa secara khusus oleh pihak keluarga sang pasien. Ayahanda! Beliau, 96 tahun,  orang nomer satu di Nagara,  seorang priyantun sepuh yang kini dirawat di kamar tengah. Ruang gawat darurat.

 

Ini hari kesembilanbelas beliau, orang mahakuat yang dijuluki Herodes oleh para remaja iseng tapi kreatif dari paduan suara gereja, dirawat di situ. Tiga dokter tengah membongkar pasang alat pacu nafas di tenggorokannya. Sang istri tercinta almarhumah, sosok cahaya, hilir mudik berputar-putar di antara kabel-kabel. Wajahnya berubah-ubah sukar ditebak maknanya.

 

Sembilan putra putri Ayahanda yang sudah menikah, sebagian bersama istri dan suami serta anak-anak,  berkumpul di kamar kanan. Satu-satunya putri yang masih melajang, Sriputri namanya, tidak datang. Dari wajah mereka semua, tampak jelas mereka semua baru saja bertangis-tangisan dengan hebat. Di pojok ruangan, Sang Bunda sekaligus Eyang, sang sosok cahaya yang itu juga, ada bersama mereka. Beliau memandangi mereka semua dengan wajah tanpa warna,  teduh bercampur  keruh.

 

"Ya, betul Mbahbuyut," ujar salah seorang dari mereka pada suatu hari di hari-hari murung itu kepada orang terpercaya, "kami, sembilan orang, termasuk dua dari si kembar tiga, rajin dan setia menunggui Ayahanda di ruang gawat darurat. Kecuali Sriputri, salah satu dari si kembar tiga. Dia hanya sesesekali saja datang. Karena keyakinan hidupnya. Tapi itu urusan pribadinya, yang sepenuhnya kami semua hormati. Tetapi ketidakhadirannya ini sungguh mengacau dan bikin repot kami semua. Merusak citra keluarga kami yang selalu kompak."

 

Sugatut, si putra sulung, menatap berkeliling. Belasan pasang mata dalam ruangan sejenak saling pandang. Tidak ada yang menanggapi. Mereka semua terpekur membisu. Kebisuan itu berlangsung lama sekali. Berpikir amat keras atau tidak peduli? Dua-duanya bisa. Mereka semua sama kuat. Sama kayaraya. Sama-sama hebat, sakti, dengan jalan pikiran sendiri-sendiri. Semua saudagar besar. Tuan-tuan agung. Nyonya-nyonya besar. Dan dari generasi cucu, ada beberapa yang sudah menjadi saudagar beranjak besar pula.

 

Mereka semua, menurut kabar-kabar, adalah kaum pengatur yang alamiah saja jika sukar diatur dan sukar mendengar. Paling sering, mereka bersibutatuli atas banyak hal negatif menyangkut mereka. Itupun niscaya belaka yang agaknya dihormati alam. Sebab nasib darah, takdir sejarah, suratan budaya, rajah tangan, telah menggiring mereka, memanjakan mereka, meniup-niup ubun-ubun mereka, hingga mereka menjadi semacam itu ... sekarang! Dengan segala kehebatan yang gemerlap, berpijar-pijar, membuat silau nyaris tiap warga anak bangsa di Nagara.

 

"Hukum?" ujar mantan hakim yang dipecat anak buah Herodes dan menjadi petani tembakau, "mereka itu hukum itu sendiri. Jangan heran jika tidak ada hari di Nagara tanpa lagu mengenai putra-putri famili Herodes.  Sebagian menjadi lelucon. Puisi. Menjadi berita. Omelan. Menjadi puja-puji memuja. Ada juga yang menjadi banyak buku serius yang ilmiah."

 

Salah satu buku ekonomi, lebih seribu halaman, mengupas tuntas sepak terjang kesepuluh putra-putri sang Ayahanda. Mendaftar jumlah perusahaan mereka. Ladangnya. Tanah. Hutan-hutannya. Kavling-kavling. Aset dan akses-aksesnya. Jaringan-jaringan. Kroni-kroninya. Pertarungan dan sikut-sikutannya. Nyaris segalanya. Intinya: harta benda tiap orang dari putra-putri Ramanda yang rata-rata tampan dan cantik itu, tak penting harta bergerak atau harta mandeg, tak akan habis dimakan sampai belasan keturunan. Dengan ongkang-ongkang kaki sekalipun.

 

Kamar kanan masih saja senyap. Akhirnya Sugatut tidak tahan. Ia berdehem-dehem dan berkata: "Ayo, bagaimana? Jangan diam saja. Ini masalah kita semua. Tak bisa kita abaikan begitu saja."

 

"Alaa, ini apa sih?" celetuk Prahara Dinargung, putra kesepuluh, si bungsu. Ia, yang kabarnya paling disayang Ayahanda dan Bunda, acuh tak acuh. Ya, dia termuda dalam keluarga besar tapi paling kenyang pengalaman. Pernah minggat dikejar-kejar polisi. Pernah masuk bui, dibuang di pulau narapidana kelas wahid, gara-gara suruh bunuh orang penting. Divonis duapuluh tahun. Tapi baru lima tahun hidup di hotel prodeo, karena kelakuannya baik sekali dan menjadi teladan pembangunan, syuut, sekarang dia sudah merdeka menghirup udara bebas.

 

"Ini apa sih bagaimana?" tanya Sugatut kesal.

 

"Ya yang mas ucapkan itu!" sahut Prahara. "Apa apaan? Igauan Mbak Sri kok digubris. Anggap sepi aja. Gak ngaruhlah tiga titelnya untuk urusan ini. Menyerahkan semua aset dan akses kita kepada negara? Tukang ngelindur! Gak ada gitu-gituan! Memangnya kita ini apa?"

 

Ucapan si bungsu mempengaruhi ruangan dengan dahsyat. Terdengarlah gumam-gumam mengiyakan. Sejenak kemudian disusul ucapan sahut menyahut oleh sebagian dan didengarkan oleh sebagian lainnya dengan mengangguk-angguk. Setuju.

 

"Ya, betul. Memangnya ini ada apa sih?""

 

"Jadi ucapan si Sri dianggap serius? Wah. Matik aku!"

 

"Amat jauhlah ide-ide konyol si Sri. Gendheng apa?"

 

"Selalu begitu deh dia."

 

"Nyimpang dari jalan yang benar!"

 

"Aneh sekali. Miring. Apa dia minta kawin?"

 

 

"Kawin tinggal kawin aja kenapa. Khan ada pacar. Kok malah ngurus yang bukan-bukan yang bukan urusannya."

 

"Bagaimana ya, adik kita yang satu itu. Bermimpi kok ndak habis-habis. Sejak dulu begitu. Sejak masih ngompol. Apa yang salah dalam dirinya?"

 

"Betul. Dosa kita ini apa sih?"

 

"Dosa? Dosa apa? Ya tidak adalah. Wong kita semua ini orang baik-baik dan bekerja baik-baik.

Tanya saja kepada semua orang diseluruh dunia."

 

"Semua orang, membela kitalah. Semuaaa. Kenapa takut? Betul tidak?"

 

"Betuul!" ujar serempak semua sahut menyahut.

 

Tiba-tiba mereka terdiam. Belasan orang dalam ruangan itu sadar. Sembilan putra putri, enam menantu, dan tiga cucu keluarga Ayahanda itu merasa telah berlaku gegabah. O, betapa dungu! Mereka telah mengobral aib dan ricuh keluarga, di depan orang luar. Serempak, tiap pasang mata di ruangan tertuju ke perempuan mirip Sriputi itu. Semua dengan tatapan mencuri-curi.

 

Kecuali Prahara!

 

Si bungsu itu menatap perempuan itu langsung pada matanya. Apalagi, tatapan mencuri-curi itu juga mubazir. Perempuan itu, sejak datang, tetap sama. Ia hanya menundukkan kepala. Ia tidak peduli kanan kiri. Ia konsekuen. Ia profesional. Ia robot. Ia patung. Ia hanya melakukan apa dititahkan sesuai kontrak. Yang gelap dan kabur di baliknya? Tidak urusan! Ia  hanya harus percaya. Mau tak mau, tetap harus mau. Tidak ada pilihan. Khas kontrak lingkaran mafia.

 

Mafia? Apa peduli dia akan hal semacam itu? Bagi makhluk-makhluk sejenis dia, uang di tempat pertama. Tidak peduli dari mana. Dari surga syukur dan dari neraka pun tidak peduli. Apalagi cuma dari, apa, mafia? Hah! Soal kecil.

 

Ya, memang itulah aku, perempuan tanpa nama, nista yang gemerlapan,  satu dalam jutaan insan, tetes air dalam lautan. Temui aku, di manapun. Lobi-lobi hotel berbintang, kafe-kafe internasional, terpuruk tanpa pilihan, di antara sejuta norma, sebab surga suci mulia, hanya bagi dewi dan dewa. Bukan milikku.

 

Ya, memang akulah perempuan itu, tanpa nama tanpa kelas. Hari demi hari yang lepas, kutuk cerca langit nasehat, menyertai keahlianku merawat: hasrat-hasrat purba yang tiada tara. Sayap-sayapku mengelupas, berkilauan di dipan beludru, surga duniawi yang untuknya, kalian telah bayar mahal kepadaku - aku yang tanpa diri. Wanita yang dipanggil-panggil, menjadi panggilan, kelas tinggi.

 

Itu semua dipahami benar oleh Prahara. Ia segera bertindak. Ya, ia dikenal paling gesit di lingkungan keluarga. Sudah bukan rahasia, ia juga dikenal kreatif, mirip Arjuna, dalam urusan putri-putri cantik. Ia menyeberang dari tempatnya berdiri di pojok kanan dan menuju pojok kiri. Tempat perempuan itu berdiri.

 

Perempuan itu masih patung yang setia. Masih berdiri gagu. Masih senyum-senyum. Tak bisa lain. Ia cuma orang bayaran yang harus menempatkan diri sebagai berlian, amat mahal tapi tetap batu. Ya, ia cuma robot atau budak, meski semerbak, di tengah dewa dolar atau dewi rupiah di ruangan itu - salah satu kamar paling luas dan paling mewah di rumah sakit, paling mahal, sewanya semalam tidak terbayar oleh sebulan gaji guru di Nagara. Hutan wewangian semerbak, menyebar, parfum mawar, melati, kenanga, bagai wewangian surgawi tumpah di ruangan itu.

 

Prahara mendekati perempuan yang masih saja menundukkan kepala itu. Menyentuh bahunya. Sang patung tergagap, serta merta mendongak. Dengan senyum maut Arjunanya, si tampan itu membisikkan sesuatu. Sang perempuan patuh, mengangguk, memberi hormat kepada semua yang ada dalam kamar, tak lupa menyebarkan senyum profesionalnya yang menawan, lalu beranjak pergi.

 

"Jangan lupa, mbak!" seru Prahara sebelum perempuan itu hilang di balik pintu, "seperti kemaren!"

 

Perempuan itu mengangguk. Tersenyum manis lagi, amat ahli, lalu jalan melenggang ala Sriputri seperti tertulis di dalam kontrak. Tiga kuli kontrak lainnya, para tukang pukul, segera berjalan mendampinginya. Maka patung batu berlian yang mahal itu beraksi "seperti kemaren". Ia tersenyum, melenggang, melenggok, dan selalu waspada jaga jarak terhadap ... wartawan! Ia tidak boleh terlalu jauh dan harus tidak terlalu dekat, terpenting harus ada kontak dengan manusia-manusia gila itu.

 

Profesionalisme sang batu berlian terlaksana dengan sempurna. Ia melambai-lambai dengan manis, segera masuk mobil, saat insan-insan kamera dan makhluk-makhluk mikrofon serta manusia-manusia kertas dengan bolpoin itu mulai mendekatinya ...

 

Gunung Merbabu, April 2016

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler