x

Iklan

Johannes Sumardianta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jendela Pembelajaran Keluarga

Seorang bocah bertanya kepada ayahnya, "Ayah, dapatkah ayah jelaskan apa itu politik?"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang bocah bertanya kepada ayahnya, "Ayah, dapatkah ayah jelaskan apa itu politik?" Ayah: "Nak, ayah akan jelaskan agar kamu mudah mengerti. Ayah adalah pencari nafkah bagi keluarga. Ayah bisa disebut kapitalisme. Ibu adalah pengatur keuangan. Ibumu boleh kamu sebut pemerintah. Ayah dan Ibu memenuhi kebutuhanmu. Kamu adalah rakyat. Bibi, pembantu kita, dinamakan buruh. Adikmu yang masih bayi, kita sebut masa depan."

Setelah selesai berbicara dengan ayahnya, anak itu masuk kamar untuk tidur. Tengah malam, dia mendengar adiknya menangis. Dia bangun dan memeriksa. Adiknya basah kuyup ngompol. Anak itu pergi ke kamar orang tuanya. Ia melihat ibunya sedang tertidur pulas kelelahan. Tak ingin membangunkan ibunya, dia pergi ke kamar pembantu. Kamar pembantu terkunci. Dia mengintip dari lubang kunci. Dia kaget melihat ayahnya tidur bersama pembantu. Dia sangat marah, tapi langsung kembali ke kamarnya.

Keesokan harinya, anak itu berkata kepada ayahnya. "Kurasa sekarang aku mengerti apa itu politik. Saat kapitalisme memanfaatkan buruh, pemerintah tertidur, rakyat hanya bisa menyaksikan dengan bingung saat mendapati masa depan berada dalam kesulitan besar."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

* * * *

Anak-anak pada dasarnya manis, gemar bermain, dan ceria. Lebih dari itu, karena kaya emosi positif, mereka menampilkan diri sebagai homo ludens---makhluk bahagia yang gemar bermain. Belajar jadi mirip tamasya menuju pengetahuan dan kearifan dengan tempat-tempat perhentian yang memikat di sepanjang perjalanan. Kegiatan belajar dipenuhi energi dan ketakjuban lugu.

Niente senza gioia. Tiada hari tanpa kegembiraan. Anak-anak akan mengalami dua jendela pembelajaran penting menuju kedewasaan mereka. Pertama, sejak lahir hingga 12 tahun. Kedua, 12 sampai 24 tahun. Orang tua mesti memahami dan menyadari pengalaman anak saat bergerak melintasi tahap-tahap pertumbuhannya.

Jendela pertama merupakan periode pembelajaran kuantum. Apa pun yang anak-anak lihat, alami, dan rasakan merupakan pengalaman belajar baru yang menyenangkan. Pada usia 4 tahun otak mereka terbagi menjadi belahan kanan dan kiri. Otak kanan identik dengan jiwa seni, kreatif, dan bersikap mengalir. Otak kiri cenderung suka membaca, kurang kreatif, dan lebih linier. Mereka yang berbakat dan ahli berbicara, menulis, dan berhitung dominan otak kirinya. Sekolah-sekolah tradisional menyebut mereka sebagai orang cerdas. Sekolah seni, musik, tari, olahraga, dan kuliner lebih menarik perhatian mereka yang dominan otak kanan.

Belajar, pada tahap pertama (fase meniru peran) ini, merupakan proses fisik, emosional, dan mental yang membahagiakan. Pada fase ini permainan merupakan sarana belajar utama. Permainan mengaktifkan belahan otak kanan sekaligus kiri. Pada jendela pembelajaran pertama, anak-anak disebut mesin pembelajar aktif. Mengalami kemajuan dari merangkak, berjalan, berbicara, makan, dan mengendarai sepeda. Keterampilan motorik, otot, dan rangka dibangun pada usia ini. Mesin belajar cilik ini kerap membuat orang tua mereka kewalahan dan kelelahan.

Otak anak relatif halus. Lajur saraf otak mereka terbentuk saat proses pembelajaran. Otak anak membentuk lajur saraf saat mereka belajar merangkak, berjalan, berbicara, dan naik sepeda. Dua belas tahun merupakan penanda usia penting. Sesudahnya, otak mulai menghapus dan membilas bagian-bagian otak yang belum membentuk lajur saraf. Ada pepatah "Anda tidak akan bisa mengajarkan trik baru kepada anjing tua".

Jendela pembelajaran kedua disebut pembelajaran pemberontak. Remaja ABG ingin mempelajari segala yang mereka minati, bukan yang dipaksakan orang lain. Secara naluriah, mereka belajar dengan cara memberontak. Sebagian besar konflik anak-orang tua berasal dari jendela pembelajaran kedua ini.

Atlet pelempar batu--julukan untuk para pemuda berandalan yang suka melempari bus dengan batu--sebagian besar berusia belasan tahun. Saat ditangkap polisi, mereka mengaku melakukan aksi tersebut semata demi aksi kekerasan itu sendiri. Di rumah, mereka tak mendapat pembelajaran etika dan kesusilaan.

Pada fase game stage (permainan peran) ini, remaja belum memahami kata "konsekuensi"ngebut, madat, dan seks sebelum menikah. Tanpa sadar, mereka bisa membangun kebiasaan mengkonsumsi narkoba, menjadi ayah terlalu muda, melahirkan dini, dan terjerumus kriminalitas. Mereka belum menyadari akibat-akibat sampingan dari tindak-tanduknya sendiri. Jendela pembelajaran kedua sangat krusial. Relasi orang tua-anak pada periode ini acap genting.

Hubungan senior-junior kerap diuji saat remaja harus menanggung konsekuensi. Saat orang tua mendapat laporan putra mereka yang imut menghasilkan puluhan juta rupiah dengan mengedarkan narkoba. Ketika orang tua mendapati putri mereka pulang ke rumah memberi tahu hamil, tidak jelas siapa ayah si janin. Inilah saat orang tua ditakar sebaik atau seburuk apa sebagai guru keutamaan.

Jelas tidak ada satu pun solusi mudah untuk semua situasi itu. Di sinilah keprigelan berkomunikasi memegang peran penting, juga kesediaan melihat dengan sudut pandang lain. Jika seorang anak bisa melalui tahun-tahun sulit jendela pembelajaran kedua, mereka punya peluang lebih besar untuk bahagia dan berhasil. Stephen Richard Covey, dalam The 3rd Alternative (2011), punya saran bagus: Telinga Anda dua. Mulut Anda satu. Wahai para orang tua, jadilah pendengar yang baik, bukan penasihat yang buruk.

J. Sumardianta, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

*) Tuisan ini terbit di Koran Tempo edisi Jumat, 20 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Johannes Sumardianta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler