x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Abad XXV (1)

Dongeng Sesudah Tidur Untuk Orang Dewasa tentang Indonesia adil makmur. Jalan-jalan mulus sampai jauh pelosok desa. Kebahagiaan tersebar merata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: nasional.rimanews.com)

 

Dongeng Sesudah Tidur Untuk Orang Dewasa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

SATU

 

Indonesia sudah makmur. Belasan ribu pulaunya sejahtera. Nyiur hijau melambai-lambai. Laut biru jernih. Hutan-hutan rimbun penuh pohon-pohon subur. Jalan-jalan mulus sampai jauh ke pelosok desa. Senyum bahagia tampak di mana-mana.

 

Indonesia makmur. Penduduknya rata-rata sehat dan jujur. Mereka tersebar merata seimbang ke semua pulau nusantara. Jakarta, mantan ibukota negara, kini menjadi kota museum terkemuka di dunia, penduduknya kurang dari dua juta jiwa.

 

Pulau Jawa berubah dahsyat. Pada abad ke-21 pernah menjadi pulau SOS sebab terlalu padat penduduk sekitar 140 juta manusia. Kini, dihuni tidak lebih dari 30 juta penduduk, Jawa menjadi pulau yang selalu ceria.

 

Indonesia makmur. Maka banyak rakyat biasa merawat kuku-kuku kakinya. Polisi-polisi hampir tidak pernah berurusan dengan pencuri. Mereka lebih disibukkan membantu siapa saja yang bingung menyeberang jalan raya. Tidak ada polisi marah-marah. Mereka dengan ramah menasehati para remaja iseng yang kepergok berbuat iseng terhadap ibu-ibu yang sedang berbelanja di mana saja.

 

“Jangan begitu ya nak? Itu tidak sopan namanya.” kata seorang polisi berpangkat paling rendah sambil menepuk-nepuk lembut pundak para remaja tersebut. Lalu remaja-remaja itu pun tersipu-sipu. Mereka meninggalkan kantor polisi dengan kepala tertunduk sambil berjanji dalam hati tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jika bertemu dengan polisi, anak-anak TK melambai-lambaikan tangan memberi salam: “Halooo ooom!”

 

Indonesia makmur. Maka kehidupan di segala bidang rapi. Antara serdadu dan rakyat sukar dibedakan. Mereka menyatu. Mereka sama-sama benteng negara, militer menjadi tentara reguler-profesional dan rakyat sipil adalah tentara amatir dalam rangka wajib militer. Ya, pertahanan negara di Indonesia abad ke-25 adalah tanggungjawab tiap warganegara. Semua rakyat sipil dewasa yang sehat jiwa raga menyimpan senjata dalam rumah masing-masing. Militer dan sipil sama-sama jaya. Maka tak mungkin ada serdadu menempeleng rakyat. Jika ada berita macam itu,  bisa dipastikan hanya berasal dari wartawan-wartawan luar negeri pencari sensasi yang coba-coba menghasut.

 

Tapi Indonesia sudah makmur. Hasut-hasutan dari mana pun tidak mempan. Sebab Indonesia sudah kuat. Dalam percaturan politik disebut sebagai negara adikuasa paling okidoki. Dalam kebudayaan: pusat dunia. Dalam bidang perekonomian disebut negara pemberi pinjaman. Hutang sejumlah negara pada Indonesia menumpuk-numpuk, yang sukar sekali dihitung oleh semua profesor ekonomi.

 

Indonesia makmur. Sebaliknya Habahibi. Menjadi negara sangat terbelakang. Negara yang terkenal rasis secara demografis dan diskriminatif teistik amat fanatik model abad pertengahan itu mengalami kemunduran sangat drastis. Menjelang akhir abad ke-24 pernah menjadi negara industri sangat maju. Tapi politik rasis dan sikap peradabannya yang fanatik diskriminatif dalam paham hidup dan agama itu sangat menjengkelkan dunia internasional. Embargo demi embargo dilancarkan tapi negeri itu tetap keras kepala. Akhirnya Rikamia Serikat, yang dipimpin seorang mantan peragawati, menjadi sangat marah. Dikili-kili oleh beberapa negara sahabatnya, Rimakia Serikat akhirnya menjatuhkan keputusan: Habahibi  disikat dengan tiga buah nuklir. Langsung tak berkutik. Terjadi revolusi. Kacau balau. Kelompok penguasa yang amat fanatik nyaris habis di negeri itu. Bukan berarti Habahibi lalu dipimpin kubu kaum moderat. Penguasa negeri itu sekarang rata-rata kacau sikap pikirnya, berkulit warna-warni, sebagai jenis manusia transformasi dari tanah tandus bekas dihantam nuklir.

 

Namun jatuhnya nuklir di Habahibi, juga jadi bencana bagi Rikamia Serikat sendiri. Negeri itu, bersama sejumlah  negara sahabatnya, dikutuk dan dikucilkan dunia internasional. Berangsur-angsur mereka menuju ke kebangkrutan. Sejarah bangkrutnya bekas negara-negara maju itu sungguh memilukan. Kisah-kisahnya  bisa dibaca di banyak perpustakaan besar di Indonesia sebagai sebuah negara satu-satunya di dunia yang menyimpan data paling lengkap mengenai hal itu.

 

Indonesia makmur.  Banyak negara lain gamang. Ada juga satu dua yang cemburu. Masalahnya, bahasa Indonesia sudah digunakan lebih separoh penduduk bumi. Maklumlah. Negara-negara bangkrut dan negara sedang berkembang dan negara-negara sangat terbelakang harus berguru ke Indonesia  kalau mau jadi makmur. Di banyak negara bahasa Indonesia menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah.

 

Pemerintah Tralisua puyeng namun gentar. Negeri yang tetap kaya dengan kanguru itu kewalahan menghambat laju pengaruh kebudayaan Indonesia yang dikuatirkan bisa membangkrutkan kebudayaan setempat.

 

Namun kemakmuran bukan berarti hanya terus tertawa. Sebab, pada suatu hari terjadi penculikan seorang walikota. Walikota itu bernama Kotir  (nama  intelek dari kalangan atas di jaman makmur itu umumnya hanya dua suku kata).

 

Dan geger!

 

Kotir bukan sembarang walikota. Dia walikota DKI (Daerah Kota Istimewa) Ambarawa, sebuah kota di  Jawa Tengah yang di awal abad ke-21 masih merupakan kota terlantar, berantakan, hancur-hancuran, penuh polusi udara, sebab tidak pernah diurus dengan becus. Ambarawa di-DKI-kan oleh keputusan DPP (Dewan Penata Propinsi) Jateng yang bermarkas di Tawangmangu pada awal abad ke-25. Dengan status DKI-nya itu diharapkan Ambarawa yang terlantar itu bisa bebas dari kemacetannya.

 

Keputusan yang jitu!

 

Nyatanya, setelah beberapa puluh tahun jadi DKI, Ambarawa berkembang. Apalagi setelah dipimpin  Kotir,  deras kemajuan Ambarawa  membanjir di segala bidang.  Tapi walikota yang telah banyak jasanya itu diculik. Bagaimana tidak  geger!

 

Satu jam setelah penculikan, berita itu segera sampai ke para pejabat di pusat, termasuk presiden. Ini sangat sepele mengingat kecanggihan teknologi komunikasi Indonesia.  Baru-baru ini Menteri Komunikasi Indonesia terpilih menjadi ketua Persekutuan Komunikasi Internasional (PKI). Bidang penyiaran hebat. Pemancar televisi  di Indonesia jumlahnya ratusan. Salah satunya, pemancar Rasakita, jangkauan siarnya tertangkap luas ke seluruh dunia. Banyak penggemarnya. Di samping suara dan gambarnya sangat jelas, para pemirsa juga bisa secara langsung mencium aroma  mata acara. Ruangan pemirsa langsung wangi saat ada acara tentang bunga. Juga bisa tercium bau amis, saat diwartakan berita-berita berdarah, membuat permirsa tergugah perasaannya.

 

Presiden dengan cermat menyimak peristiwa penculikan itu dari Tenangsari, ibukota Indonesia yang terletak di Kalimantan Tengah. Setelah puas menyimak, presiden segera memencet tevépon – telpon dilengkapi televisi. Barang semacam ini hampir rata-rata dimiliki oleh penduduk Indonesia.

 

“Sabar bu, sabar ya?” kata presiden lemah-lembut menghibur Ikem alias Nyonya Kotir yang sedang tertimpa musibah. Di layar tevépon tampak Ikem sesenggukan.

 

Ikem – namanya menyiratkan dari kalangan terpanggil dan terpilih  – adalah wanita biasa. Wajar saja menangis sebab suaminya diculik. Sebagai seorang istri yang setia, meski Ikem sarjana, dia merasa tak berdaya menghadapi musibah itu. Dia bukan sarjana ilmu penculikan. Dia sarjana ilmu rumah-tangga, mengambil spesialisasi bidang gaji-suami, dan tesis cum laude-nya yang berjudul “Dilarang Besar Pasak Daripada Tiang” pernah menjadi bahan pembicaraan meluas di kalangan para pakar. Jadi, mengenai seluk-beluk penculikan dia benar-benar awam. Maka sesenggukan adalah wajar saja  baginya. Tapi pembicaraan lewat tevépon itu dengan presiden. Dan Ikem tahu diri. Maka dia buru-buru mengusap air matanya dan mengucapkan terimakasih atas perhatian presiden.

 

“Resiko pejabat, bu,” ujar presiden lagi. Ikem merasa diingatkan kewajibannya sebagai istri seorang pejabat oleh presiden. Maka dia buru-buru mengangguk lagi. Kotir juga selalu mengingatkannya hal itu. Menjadi pejabat harus menanggung resiko sumpah jabatan.  Sebagai istri, Ikem juga diharapkan ikut menghayati sumpah jabatan suami. Dia bangga dan berbahagia diberi kesempatan ikut menangung sumpah sangat mulia itu. Sumpah jabatan itu, ringkasnya: mengabdi dan mendahulukan kepentingan rakyat serta negara di atas kepentingan pribadi. Dan penculikan itu terjadi dalam rangka tugas negara. Maka Ikem melenguh panjang. Dia lega. Tapi sekaligus berdebar-debar.

 

“Ibu harus tabah.”

 

“Tentu, siap  pak presiden.”

 

“Ada usul atau permintaan-permitaan tertentu?”

 

“Oh, tidak. Terimakasih.”

 

Presiden memutuskan sambungan tevépon. Dia lalu memencet-mencer sebuah alat lain yang banyak tombolnya. Dinding dihadapannya menjadi sebuah layar yang dipenuhi garis-garis elektronis. Presiden memencet tombol warna putih.

 

“Siap!”  garis-garis di dinding berubah menjadi huruf-huruf, menanggapi pencetan tombol yang dilakukan presiden.

 

“Kasus walikota Ambarawa,” kata presiden.

 

“Kode: X3-AB,” sahut tulisan di dinding.

 

Presiden memencet tombol yang bentuknya seperti cacing. Maka pada dinding di depannya segera muncul tulisan: X3-AB, siap! Selanjutnya terjadilah tanya-jawab antara presiden dengan dinding berlayar elektronis di depannya.

 

“Minta data keluarga korban.”

 

“Nama korban: Kotir. Umur 50 tahun. Monogami. Nama istri: Ikem. Kotir adalah ayah dua anak: Haha, lelaki, 25 tahun dan Hihi, perempuan, 20 tahun.”

 

“Jenjang pendidikan Kotir?”

 

“Biasa-biasa saja. Lancar sampai lulus sebagai sarjana ilmu-ilmu kepraktisan.”

 

“Riwayat hidup?”

 

“Riwayat hidup lengkap: RK-3. Setengah lengkap: RK-2. Garis besar: RK-1.”

 

Presiden memencet-mencet tombol biru.

 

“RK-3, siap! Demikian tulisan pada dinding.

 

“Silakan terus!” seru presiden.

 

Pada dinding elektronis sekarang bukan saja bermunculan huruf-huruf penunjuk data. Tapi juga muncul gambar-gambar. Kadang-kadang foto. Juga muncul slide-slide. Muncul guntingan-guntingan koran. Paling banyak berbentuk film. Selama sekitar dua jam presiden asyik menikmati lukisan riwayat hidup Kotir dalam bentuk-bentuk yang semacam itu. Presiden mengangguk-angguk puas, memahami latar-belakang kehidupan walikota Ambarawa yang tertimpa musibah itu.

 

(Bersambung)

 

***

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler