x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mungkinkah Kecerdasan Emosionalmu Ditingkatkan?

Kecerdasan emosional dianggap berperan dalam keberhasilan seseorang. Bisakah kecerdasan ini ditingkatkan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bila kita mengikuti pikiran Howard Gardner, kecerdasan manusia bukan hanya intelektual (IQ) seperti diyakini sebelumnya. Di antara beberapa jenis kecerdasan yang dirumuskan Gardner, kecerdasan emosional (EQ) dianggap berpotensi mendorong keberhasilan seseorang dalam berkarir, berbisnis, bersosialisasi, maupun hidup bahagia. Mereka yang mempunyai EQ tinggi umumnya memperoleh penghargaan tinggi. Jadi, siapa sih yang tidak menginginkan kecerdasan emosional yang tinggi?

Banyak ragam pelatihan digelar dengan tawaran mampu meningkatkan kecerdasan emosional. Namanya macam-macam, seperti soft skill training. Banyak perusahaan berminat pada pelatihan semacam ini agar karyawan dan manajernya lebih terampil dalam menjalin relasi dengan orang lain. Kecerdasan emosional disebut-sebut dapat ditingkatkan melalui latihan yang teratur. Tapi apa buktinya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tomas Chamorro-Premuzic, Profesor Psikologi Bisnis di University College London, memelajari artikel-artikel ilmiah yang mendiskusikan isu kecerdasan emosional. Dalam tulisannya di Harvard Business Review, Tomas menyebutkan bahwa hampir 3.000 artikel ilmiah mengenai kecerdasan emosional telah dipublikasikan sejak konsep ini diperkenalkan pada tahun 1980an dan semakin dikenal luas lewat tulisan Daniel Goleman.

Apa kesimpulan yang ditarik dari kajian literatur ini? Menurut Tomas, ada lima hal pokok yang patut memperoleh perhatian terkait isu peningkatan kecerdasan emosional, yakni:

Pertama, tingkat EQ kita tetap, tapi tidak sepenuhnya kaku. Kemampuan kita untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi-emosi kita cukup stabil sepanjang waktu, dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanak dan bahkan genetik. Ini bukan berarti kita tidak dapat mengubahnya, tapi perbaikan jangka panjang memerlukan dedikasi yang luar biasa.  Mengapa? Setiap orang dapat berubah, tapi sedikit orang yang sungguh-sungguh mau berusaha. Berita baiknya, EQ cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, sekalipun tanpa intervensi yang terus-menerus. Semakin tua, semakin matang secara emosional.

Kedua, program pelatihan yang baik berpotensi membuahkan hasil. Memang tidak ada program yang sanggup mendongkrak EQ seseorang dari 0 hingga 100%, tapi latihan dan praktik yang didesain baik mampu meningkatkan sampai 25% dengan mudah. Dari risetnya terhadap berbagai artikel tersebut, Tomas menyimpulkan bahwa unsur EQ yang paling dapat dilatihkan ialah interpersonal skill—dengan rata-rata perbaikan jangka pendek mencapai 50%. Contohnya adalah pelatihan negosiasi dan etiket sosial—apa yang disebut Dale Carnegie sebagai pelatihan “bagaimana memperoleh teman dan memengaruhi orang”. Untuk program manajemen stres, rata-rata perbaikan berkisar 35%.

Ketiga, kita hanya dapat memperbaiki EQ bila memperoleh umpan balik yang akurat. Meskipun banyak muatan yang masuk dalam program pelatihan, tapi aspek terpenting dari pelatihan EQ yang efektif adalah umpan balik yang akurat. Banyak orang tidak menyadari bagaimana orang lain melihat kita. Orang-orang yang terlihat cerdas, sangat bermotivasi, dan tampak bertanggungjawab jarang yang meluangkan waktu untuk merenungkan perilaku mereka sendiri.

Keempat, beberapa teknik dan pelatih lebih kompeten dibanding lainnya. Meskipun riset mengenai karakteristik pribadi pelatih masih sedikit, riset mengenai metoda yang berhasil baik cukup banyak. Teknik pelatihan paling efektif ada di seputar terapi kognitif-perilaku. Upaya meningkatkan kelenturan psikologis—kemampuan menerima dan menangani situasi yang tidak menyenangkan—juga efektif. Metode yang paling populer adalah relaksasi dan meditasi. Berbeda dengan keyakinan umum, intervensi yang dirancang untuk meningkatkan self-esteem atau kepercayaan diri jarang yang efektif dan bahkan kontra produktif.  Namun patut diingat bahwa pelatihan bukan sains murni, tapi juga seni; jadi keberhasilannya juga bergantung kepada bakat pelatihnya.

Kelima, sebagian orang lebih mudah dilatih dibanding lainnya. Pelatih maupun metoda pelatihan terbaik sekalipun bisa gagal saat berhadapan dengan klien tertentu, yakni yang bebal dan enggan berubah. Di satu sisi, EQ dapat meningkatkan kesiapan mengikuti latihan (coachability)—klien dengan keterampilan yang lebih baik, lebih berempati, dan self-awareness lebih besar akan lebih mudah untuk berubah. Namun, jika Anda sensitif terhadap kritik, merasa tidak aman, dan khawatir gagal (karakteristik orang-orang dengan EQ rendah), Anda harus punya kemauan lebih besar untuk berubah.

Mereka yang terlatih dengan baik akan menjadi orang yang lebih pro-sosial, dermawan, penolong, lebih baik di tempat kerja, bahkan juga lebih bahagia, lebih sehat secara mental dan fisik, memiliki hubungan sosial dan keluarga yang lebih baik, serta tingkat kortisol (hormon stres) yang lebih rendah. Intinya, kata Tomas, kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dengan program yang tepat. Jelas, ini kabar baik bagi siapapun yang ingin dan mau hidup lebih sehat. (sumber foto ilustrasi: verywell.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler