x

Ketua Umum terpilih Partai Golkar, Setya Novanto dan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham mengibarkan bendera partai saat penutupan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, 17 Mei 2016. Setya Novanto memilih Idrus Marha

Iklan

Hifdzil Alim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Badai Ketua Partai Beringin

Minimal ada tiga usaha yang dapat diinisiasi Setya. Pertama, konsolidasi intern menjadi langkah awal untuk menguatkan ikatan partai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Partai Golongan Karya telah memilih nakhoda barunya. Setya Novanto akhirnya menjadi ketua partai berlambang pohon beringin ini. Sebelum dilangsungkannya putaran kedua pemilihan, semua tampak biasa saja. Tapi tiba-tiba Ade Komarudin, pesaing terdekat Setya, mengundurkan diri dengan alasan senioritas Setya dan meletakkan kansnya dalam perebutan kursi ketua umum. Karpet merah bagi orang nomor satu di Partai Golkar itu seakan digelar dengan gratis.

Apakah terpilihnya Setya akan membawa angin segar bagi Golkar? Pertanyaan ini mungkin akan menemui ganjalan. Jika dipotret dengan kacamata hukum, rekam jejak Setya tak terlalu bagus. Ada banyak perkara yang bakal menjadi batu sandungan.

Koran Tempo pekan lalu melansir beberapa kasus yang mengait ke Setya, dari kasus Bank Bali pada 1999, dugaan impor limbah beracun pada 2006, hingga dugaan korupsi proyek Pekan Olahraga Nasional 2012. Ini ditambah lagi dengan dugaan korupsi proyek e-KTP dan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam renegosiasi kontrak PT Freeport, yang populer disebut sebagai kasus "Papa Minta Saham".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak yang mengira jenjang politik Setya akan habis karena kasus "Papa Minta Saham". Tapi kenyataan berkata lain. Pengadilan etik yang digelar oleh Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat atas kasus Setya yang menghadiri kampanye calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, jadi tak banyak berarti karena Setya buru-buru mengundurkan diri sebagai Ketua DPR. Namun karier politiknya jalan terus hingga akhirnya terpilih sebagai ketua umum partai yang identik dengan warna kuning itu.

Bermacam kasus yang melanda Setya menjadi tantangan khusus bagi Partai Golkar. Posisi politik partai yang sempat anjlok gara-gara kalah dalam gerbong Pemilihan Presiden 2014 harus dibayar mahal. Partai beringin pecah menjadi dua kubu. Untung saja elite partai mengambil jalan islah-meski berliku-liku-demi mengatrol posisi partai yang terjepit situasi pasca-pemilihan presiden.

Setya memutuskan menarik kembali partai ke deretan koalisi pendukung presiden, Koalisi Indonesia Hebat. Setidaknya, opsi masuk ke pendukung pemerintah akan mengamankan kedudukan hukumnya dari kejaran aparat penegak hukum. Dengan menggunakan teori patron-klien yang diperkenalkan oleh James Scott, gambaran transaksi hukum-kekuasaan melalui kebijakan menyokong pemerintah dapat dibaca dengan mudah.

Minimal sampai 2019, Partai Golkar di bawah kendali Setya akan berperan sebagai klien dan kelompok pendukung kekuasaan berlaku sebagai patron. Penguasa memiliki akses yang luas untuk menggerakkan tangan hukum guna memeriksa kasus yang disangka menempel ke Setya. Pengaruh seperti inilah yang sedikit sekali dimiliki Partai Golkar setelah pemilihan presiden 2014. Sebagai imbalannya, Setya tidak akan menghidupkan mesin partai di legislatif untuk memproduksi kritik serta pengawasan terhadap penguasa. Sederhana sekali.

Jika pola transaksi hukum-kekuasaan tersebut benar-benar terjadi, bukan angin segar yang sedang dibawa Setya, melainkan badai. Pemilihan Umum 2014 menunjukkan Partai Golkar menduduki peringkat kedua perolehan suara dengan meraup lebih dari 18 juta suara. Jumlah ini bakal dipertaruhkan dalam Pemilihan Umum 2019. Boleh jadi, perolehan suara partai akan mengalami penurunan yang drastis.

Aneka kasus yang melanda Setya adalah penyebabnya. Informasi seputar kasus menjadi amunisi lawan politik untuk menggembosi citra partai. Ini ditambah dengan keberadaan para pemilih yang cukup melek berita, jangkauan industri media yang luas, dan gelontoran dana yang tak terbatas yang siap menjadi faktor yang memudahkan penggerogotan 18 juta suara lebih yang diperoleh dalam pemilihan umum sebelumnya.

Jangan pula dilupakan, banyak faksi dalam partai beringin yang juga mengincar jabatan ketua umum. Partai akan dirundung aral, baik dari dalam maupun luar--sebuah keadaan mahasulit akan mereka hadapi.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Setya sudah dipercaya oleh forum tertinggi untuk mengemudikan partai sampai 2020. Waktu tak bisa lagi diputar ke belakang. Mau tak mau, harus ada aksi demi mencegah karamnya bahtera partai dalam samudra Pemilihan Umum 2019.

Minimal ada tiga usaha yang dapat diinisiasi Setya. Pertama, konsolidasi intern menjadi langkah awal untuk menguatkan ikatan partai. Setya harus memainkan tugas dengan tegas sebagai wasit. Tak boleh lagi ada gesekan antar-elite. Sanksi wajib diterapkan. Kedua, meski menjadi bagian dari penguasa, Setya harus mampu menaikkan kekritisan Partai Golkar terhadap penguasa--walau agak ambigu dengan sistem presidensial.

Ketiga, apabila penegak hukum memeriksa kasusnya, Setya harus kooperatif. Hal ini sekaligus untuk membuktikan bahwa dia adalah benar-benar orang yang bertanggung jawab dan partai telah benar memilihnya sebagai ketua umum. Dengan demikian, niscaya angin ketua beringin adalah angin segar, bukan badai yang akan memporak-porandakan partai.

Hifdzil Alim, pengajar ilmu hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Senin, 23 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik Hifdzil Alim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler