x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Memuliakan Vagina

Kebiadaban pemerkosaan dll terhadap kaum perempuan, khususnya usia bocah dan remaja, tak bisa ditenggang lagi. Mengingatkan orang pada Vagina Monolog.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: wnmu.edu)

 

Bicara tentang sesuatu yang tentangnya lidah kita diandaikan bakal kelu.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

( Eve Ensler, aktris teater, aktifis feminis, penulis The Vagina Monologues)

 

Hari-hari ini tersiar kabar kebiadaban tiga pemuda di Tangerang yang setelah memperkosa seorang gadis lalu menusuk vaginanya  dengan gagang cangkul sampai sekitar 60 cm terhunjam ke dalam. Juga tersiar banyak kabar serupa di banyak tempat di negara kita. Tidak sedikit dengan kebiadaban jauh lebih absurd. Pemerkosaan, kekerasan, dan pembunuhan terhadap kaum perempuan, khususnya usia bocah dan remaja tersebut, tidak bisa ditenggang lebih jauh lagi. Kita sedih dan marah atas itu semua!

 

Apa sejatinya sedang berlangsung dalam kebiadaban pemerkosaan dengan ujung pelecehan vagina tersebut? Banyak faktor bisa diusut dari segala sudut. Dalam telusur seksualitas gender, kebiadaban macam itu adalah wujud keangkuhan kedunguan dalam peradaban rusak. Itulah wujud kedunguan lelaki yang belum mampu memuliakan vagina perempuan. Ini  mengingatkan kita pada drama The Vagina Monologues alias Sang Monolog Vagina karya Eve Ensler.

 

Empatbelas tahun lalu, 8 Maret 2002, drama tersebut pernah dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebagai bagian kiprah kaum feminis global, pementasan didukung sejumlah perempuan aktifis dan aktris papan atas. Tujuannya, menggalang dana bagi program penanggulangan perdagangan perempuan dan anak, dan sekaligus memperingati Hari Perempuan. Dengan drama tersebut, publik diharapkan tergerak memuliakan vagina, sebagai sosok yang bebas dari keterkungkungannya sebagai istilah  tabu. Sebab, apa yang menakutkan dengan kata “vagina”? Ujar Eve Ensler,  dalam berbagai kesempatan.

 

 

Tantra, Feminisme, HAM

Bahwa vagina bukan tabu dan biasa-biasa saja, sebenarnya kita sudah kenal lama. Secara artistik,  urusan mengagumi, menghormati, dan memuliakan vagina itu sudah dilakukan ribuan tahun silam. Para pematung, pemahat dan pelukis di sekitar candi Hindu sudah amat ahli dalam urusan memuja misteri di balik vagina yang mulia, menjadi dewi-dewi adorasi.

 

Dalam selebrasi puja-puji Tantra, pemeluk melakukan adorasi di depan patung sekuntum bunga indah segitiga, oval terbelah menjadi dua bagian kembar, melambangkan vagina. Itulah Yoni, yang bersebelahan dengan Linga, lambang penis. Yang pertama disembah dan dimuliakan secara lebih “macam-macam” sebab dianggap lebih perkasa katimbang pasangannya. Sikap pemuliaan ini dimaksudkan bukan untuk melecehkan lelaki, tapi sekedar mengingatkan, lelaki tidak akan bisa mencapai pemenuhan spiritual tanpa melewati persekutuan emosional dan spiritual dengan energi spiritual dahsyat perempuan — vagina! Vagina adalah keniscayaan bagi lelaki. Tanpa vagina, lelaki tak pernah penuh, menjadi “minus” dan puyeng kelabakan secara spiritual.

 

Agaknya, sejauh cuma menyangkut selebrasi puja-puji - hakikat dan maksudnya di dunia nyata berarti harapan -  seluruh diskursus kegelisahan feminisme sudah purna terselesaikan, bahkan ribuan tahun silam. Tapi nyatanya, bahkan di negara-negara Barat yang dianggap gudang para feminis, gempuran secara politis terhadap feminisme masih bisa dirasakan begitu telak di sana sini. Itu terselang-seling jadi santai dalam sense of humor (pornografi) ketika soalnya menyangkut seksualitas dan seksisme. Toh, ujungnya selalu menimbulkan perpecahan gagasan dan kerumitan menjawab perkara pemberdayaan perempuan secara menyeluruh.

 

Di tengah kecamuk macam itulah Eve Enster muncul secara bertahap di bumi asalnya, AS. Sebagai naskah panggung, The Vagina Monologues yang mendapat The Obbie Award Winning Play itu, dipentaskan melalui jalan merangkak, tetapi terus bertahan, sampai akhirnya melangkah tegak. Manggung kali pertama di lingkaran  off-off-Broadway pada 1996, sebagai one man show. Lalu meningkat ke off-Broadway pada  2000.  Sementara itu, pada 1998 sudah main di sekitar 65 sekolah, pada 1999 lebih 150 sekolah, dan pada 2000 sekitar 300 sekolah. Pada 2001, meraih sukses besar ketika dimainkan 70 pemain di Madison Square Garden, New York, dengan pengunjung 18.000 orang.

 

Banyak kota telah mementaskannya. Jakarta, menjadi kota ke-252. Artinya, tontonan itu sukses. Bukan cuma dibicarakan, tapi ditanggapi secara nyata oleh masyarakat, yang singkatnya adalah: menjadi diskursus cukup “serius” di Negara yang acapkali mendaku sebagai pengawal HAM itu.

 

The Vagina Monologues karya Eve Ensler itu sampai sekarang menjadi tontonan andalan dalam rangka perayaan tahunan Valentine Day meski di sana sini masih juga dipersoalkan. Bahkan di AS sendiri.

 

 

 

HAM dan Vagina

Melihat judul, orang boleh saja mengira sebagai sebuah tontonan cari sensasi cuma bermain-main istilah. Yang jelas, fondasi The Vagina Monologue yang dilahirkan dari kalbu Eve Elsner, perempuan aktris, aktifis dan praktisi feminis, awalnya berangkat dari soal HAM. Ia menulisnya semasa Perang Bosnia berkecamuk, berkisah tentang para pengungsi Bosnia, utamanya para perempuannya. Itu diawali setelah Eve Elsner melihat sebuah foto sampul majalah Newsday, yang memotret enam gadis yang dibebaskan dari kamp-kamp pemerkosaan pengungsi Bosnia. Ia tergetar! Sudah abad XX, bagaimana mungkin terdapat  kamp-kamp sebiadab itu?

 

Itulah tonggak yang mendorongnya  melanglang jagat, menelusuri dan meriset segala yang ada sangkut paut dengan peristiwa tersebut. Ia fokus pada hal ihwal perempuan, yang ujungnya bermuara ke — vagina! Maka ia ke mana-mana. Dari Los Angeles ke Rio de Jainero, Moskwa, Afghanistan, Turki, Paris, Kepulauan Bahama, Nigeria, Afrika Selatan, India, Muangthai, Tokio, dan tentu saja dengan sejumlah perempuan AS sendiri. Tidak kurang dari 200 perempuan ia wawancarai secara intensif. Ia bertanya mengenai bagian-bagian raga mereka.

 

Mengapa mereka berkerudung? Apakah berjilbab tidak sumuk dan tersiksa? Bagaimana perasaan mereka harus menyembunyikan tubuh sendiri agar selaras dengan budaya tempat mereka hidup? Ujungnya, bagaimana kira-kira kata vagina mereka mengalami itu semua? Berdasar wawancara itulah Eve Ensler menyusun drama berisi monolog-monolog. Siapa bermonolog? Perempuan-perempuan itu? Bukan! Tetapi vagina-vagina mereka.

 

Sebab berasal dari lebih 200 perempuan  berbagai latar belakang dan tempat, monolog-monolog vagina itu menjadi amat kaya. Dalam wawancara, Enster menemukan betapa antusias tiap orang yang ditemuinya menceritakan penghayatan dan pergaulannya dengan vaginanya sendiri. Mereka begitu dahaga, menurut versi masing-masing, berkisah tentang vaginanya. Ternyata, vagina, bagi sang pemilik sendiri, begitu mulai dideskripsikan, menjadi cerita yang seolah tak bisa tamat.

 

Terpenting, begitu los dalam hal vagina sendiri, perempuan jadi menemukan pencerahan — “lho, vagina saya ini betul-betul eksis, ada, aktif, bisa macam-macam dan sekaligus bisa dimacam-macami, dan, suci!”. Dengan pencerahan itu, menurut Ensler, para subyek wawancara lalu merasa mengalami pembebasan.

 

Pesan dan “Kecerdasan” Linguistik

Lewat monolog-monolog itu, sandiwara Ensler lalu diwarnai segala perkara menyangkut vagina, baik karena faktor dalam mau pun faktor luar.  Maka, manakala sang vagina bernyanyi, merintih, atau bengok-bengok, kita akan dibawa dalam suasana hati yang riang, suksma yang gelisah, gangguan pada perut menyentak, 1001 suasana kalbu perempuan yang mengalir, menelusuri rambut, aroma, masturbasi, seks, orgasmus, onani, main rahasia, datang bulan, kelahiran, pemerkosaan, pelecehan suami, dll.

 

Lalu pada ujungnya, sang vagina juga bertanya, apakah vagina itu? Apa busananya jika harus berbusana? Apa yang akan diucapkan jka mereka berbicara? Dan seterusnya. Singkatnya, pengakuan bahwa vagina itu eksis. Vagina adalah tali-temali dan pertemuan dari segala persoalan tersebut.

 

Sebagai contoh, silakan simak monolog berikut. “Vaginaku menyanyikan semua nyanyian gadis kecil, semua bunyi lonceng, semua nyanyian padang liar di musim gugur, nyanyian vagina, nyanyian rumah vagina. Tidak sejak tentara meletakkan bedilnya yang panjang dan keras, masuk ke dalamku — “

 

Terpenting dari tontonan tentu saja pesannya. Sebab, tidak sedikit orang mengira, drama itu antilelaki. Menurut sang penulis, The Vagina Monologues sekedar imbauan kepada lelaki dan perempuan untuk sama-sama bertanggungjawab atas begitu banyaknya pelecehan dan eradikasi terhadap perempuan di seluruh jagat. Sampai hari ini, kebiadaban melecehkan perempuan dalam bentuk pemerkosaan,  pembakaran, pembunuhan, penyiksaan, penyekapan, dan diperjualbelikan nyaris  di tiap negara di dunia ini, masih terjadi dan seperti sudah di luar kontrol.

 

Jika imbauan semacam itu, dan akhirnya menuntut sesuatu untuk tebusannya yang mau tak mau menunjuk lelaki, apakah masuk akal jika lalu disebut sebagai anti lelaki? Yang pasti, sutradara dan produser The Vagina Monologue di off-Broadway adalah lelaki.

 

Alhasil, lepas dari entah apalah pesan tontonan tersebut, bagi publik Indonesia, drama karya Eve Ensler itu agaknya akan membawa dampak budaya yang lebih menggebrak dan lebih total optimal apabila kata Vagina itu diterjemahkan ke dalam kata Indonesia yang betul-betul asli. Apalagi jika diterjemahkan ke dalam bahasa ibu kita masing-masing.  Cobalah  terjemahkan. Rasakan dampaknya.

 

 

Gunung Merbabu, Mei 2016

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB