x

Partai Pemerintah Tolak Golkar

Iklan

mohammad mustain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menakar Mantan Napi di Partai Golkar

Empat orang mantan napi korupsi, mantan napi kasus pembunuhan, dan kader yang tersangkut video mesum disebut masuk kepengurusan Partai Golkar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Munculnya mantan napi koruptor, mantan napi pembunuhan, dan mantan pemeran video mesum dalam susunan kepengurusan Partai Golkar hasil Munaslub Golkar-Bali, yang dinahkodai Setya Novanto (meski belum resmi diumumkan), kembali meneguhkan keraguan tentang standar etika dan moral yang dianut partai ini. Apa sebenarnya motif tindakan kontroversial ini?

Ada empat nama kontroversial yang masuk dalam daftar kepengurusan yang beredar (meski belum resmi diumumkan Setya Novanto), yaitu Yahya Zaini, Nurdin Halid, Fahd El Fouz Arafi, Sigit Haryo Wibisono. Zahya dipecat dari keanggotaan DPR karena terlibat skandal video mesum bersama artis Maria Eva. Nurdin Halid divonis dua tahun penjara karena kasus korupsi pengadaan minyak goreng.

Faahd El Fouz Arafi divonis 2,5 tahun karena kasus suap DPID. Sigit Haryo Wibisono divonis 15 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnain dirut Putra Rajawali. Kasus Sigit ini cukup populer karena menyeret nama mantan ketua KPK Antasari Azhar. (kompas.com, 26 Mei 2016)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak proses Munaslub Partai Golkar sampai akhirnya memutuskan Setya Novanto sebagai ketua umum, standar etika yang dianut partai ini memang menarik diperbincangkan. Misalnya saja, soal figur

"tak tercela" yang jadi syarat ketua umum. Ternyata, yang disebut tak tercela itu adalah surat keterangan polisi. Karena itu, meski Setya Novanto sudah diputus melakukan pelanggaran sedang sampai berat oleh Mahkamah Kehormatan DPR, dalam kasus Papa Minta Saham, dia dinyatakan "tidak tercela".

Tah usah heran atau protes dengan pengertian “tak tercela” versi Golkar ini. Di internal Golkar pasti ada juga yang heran dengan pengertian “tak tercela” versi komite etik munaslub Golkar itu. Namun wajar juga kalau ada celetukan, “Apa urusan polisi dengan urusan tak tercela itu. Mahkamah Kehormatan Dewan DPR kan sudah memutuskan Setya Novanto telah melakukan pelanggaran sedang hingga berat. Itu artinya tercela.”

Selain urusan “tak tercela” itu, masih ada masalah pencatutan nama presiden juga politik uang selama munaslub itu. Dua hal terakhir semakin memperkokoh bahwa persoalan moral memang menempati urutan ke sekian saja (kalau masih dipandang perlu) dalam perilaku politik kekuasaan di Partai Golkar. Kalau memang nilai etika dan moral masih dipakai, tentu kejadian semacam itu tak akan terjadi. Tapi begitulah yang terjadi.

Apa yang terjadi di Partai Golkar ini, mengingatkan pada sikap pro dan kontra tentang pentingnya nilai moral dalam kekuasaan. Perdebatan yang telah berlangsung berabad-abad. Ada kelompok penganut paham kekuasaan tak harus bersandar moral, ada kelompok penganut paham kekuasaan harus bersandar moral.

Indonesia yang mengakui Pancasila sebagai dasar negara, seharusnya masuk kelompok kedua. Namun, dalam prakteknya, politisi kita sering menempatkan  moral hanya sebatas pelengkap saja. Yang terjadi di Partai Golkar itu dan sangat mungkin juga di partai lain, menguatkan pendapat itu. Moral ditampilkan saat berhadapan dengan massa yang menghendakinya: jika tak ada massa yang demikian, lupakan saja.

Pemikiran Nichollo Machiavelli (1469-1527) dari Florence, Italia juga pemikiran Chanakya (350-283 SM) seorang pendeta  dan guru politik ulung  India, tentang bagaimana kekuasaan harus diraih dan dijalankan-- sudah sangat akrab dengan perilaku politisi kita.

Penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, menunjukkan bagaimana kestabilan kekuasaan itu menjadi acuan utama dan bukannya norma hukum. Perilaku politisi kita saat pemilu, yang mengobral janji dan uang dan melupakan setelah duduk di Senayan, juga sama dengan nasihat Machievelli. Seorang penguasa tidak harus menepati janjinya, jika itu meneguhkan kekuasaannya.

Kembali ke persoalan Partai Golkar. Meskipun, katakanlah moral dan etika tak jadi acuan utama di Partai Golkar, tindakan berani Partai Golkar di bawah Setya Novanto memasang figur kontroversial karena keterlibatannya dalam tindak pidana korupsi, pembunuhan, juga video mesum, tetap saja patut dipertanyakan. Kalau memang nilai etika dan moral sudah dianggap tak penting, tetap perlu diperhitungkan reaksi masyarakat atas pilihan itu.

Citra Partai Golkar sedikit banyak pasti akan terimbas citra negatif mereka. Dan pada akhirnya diakui atau tidak, keberadaan para kader bermasalah di dalam kepengurusan partai pasti akan menjadi beban. Ini tentu harus diperhitungkan jika partai ini ingin tetap eksis pada pilkada 2017 dan Pemilu 2019 nanti.

Dalam perkaran ini, Partai Golkar tidak bisa hanya memandang persoalan pengurus partai sebagai urusan internal partai. Kader Golkar lain mungkin bisa “dipaksa” menerima keputusan itu. Dengan begitu, di internal partai sangat mungkin hanya akan ada riak-riak kecil terkait hal itu. Namun, Golkar tak hanya butuh kader yang jumlahnya relatif kecil jika dibanding massa di luaran sana.

Masyarakat yang semakin kritis, terbuka, dan terdidik, awalnya mungkin hanya akan tertawa dan kasak-kusuk mendengar ada figur kontroversial semacam itu di kepengurusan Golkar. Mungkin pula akan ada pertanyaan, “Apa Golkar sudah kekurangan orang baik dan bersih untuk jadi pengurus partai.” Dan guyonan dan sinisme ini pasti akan semakin menguatkan ketidak-percayaan mereka kepada partai politik.

Sikap berani Partai Golkar di bawah Setya Novanto yang menempatkan figur kontroversia dalam kepengurusannya, bisa juga dinilai sebagai rasa percaya diri yang berlebih. Sepertinya, ada pemikiran yang sudah terpatri, citra dan kebesaran Partai Golkar akan menutupi kekurangan dan sejarah buruk para pengurusnya. Partai dinilai jadi “mesin cuci” yang efektif untuk figur-figur kontroversial itu.

Di Barat, yang tak punya Pancasila dan masyaraktnya cenderung sekuler, ternyata partai ditempatkan pada posisi yang lebih utama. Contohnya, menteri perindustrian Spanyol, Jose Manuel Soria, memilih mengundurkan diri setelah namanya masuk dokumen Panama Papers. Dia tak ingin partai dan pemerintahan careteker-nya harus menerima akibat buruk kasus itu, meskipun dia belum tentu bersalah. Sikap yang sangat berkebalikan dengan sikap politisi Partai Golkar.

Meski diterima atau tidaknya figur kontroversial dalam kepengurusan Golkar itu, ukurannya ada di penerimaan masyarakat saat pemilu nanti, langkah itu jelas sangat beresiko. Apakah Setya Novanto begitu percaya dirinya sehingga menafikkan kenyataan masyarakat yang semakin tidak percaya pada partai politik. Terlebih lagi citra Golkar tentunya sudah jauh menurun. Ini jelas pertaruhan yang tidak menguntungkan.

Langkah Partai Golkar yang menganut asas kekaryaan, selama ini memang dikenal oportunistik dan pragmatis. Apa pun akan ditempuh dan dilakukan jika itu menguntungkan, baik secara perorangan kadernya, maupun secara organisatoris. Dinamika hubungan antarpartai dengan sangat cepat berubah. Ke mana arah kekuasaan berada, di sanalah kader Partai Golkar berlabuh.

Meskipun munculnya figur-figur kontroversial itu, bisa dipandang urusan internal Partai Golkar yang beresiko menurunkan kepercayaan dan dukungan terhadap partai itu, hal ini bisa pula berimbas pada citra mitra koalisinya. Ambil saja persoalan Papa Minta Saham yang melibatkan Setya Novanto dan Presiden Jokowi yang namanya dicatut itu.

Sejak proses Munaslub, terpilihnya Setya Novanto, rekomendasi Munaslub, nama Jokowi terus disebut sebagai sekutu yang harus didukung, baik di pemerintahan maupun saat Pilpres 2019 nanti. Bisa saja ini dinilai sebagai keuntungan bagi Jokowi untuk kelangsungan kekuasaannya. Mulai dari keseimbangan hubungan presiden dan wapres, keseimbangan hubungan presiden dan PDIP partai pengusungnya, hingga jaminan maju dalam pilpres 2019 nanti.

Namun, itu semua tidak gratis. Ada kasus hukum yang membelit Setya Novanto termasuk Papa Minta Saham, ada pula ada desakan jatah menteri. Yang kedua mungkin dinilai wajar dalam hal barter dukungan politik. Namun, terkait persoalan hukum, ini tentu tak sesederhana yang digambarkan. Saat ini saja sudah ada yang menilai ucapan keras dan “marahnya” presiden saat skandal Papa Minta Saham disidangkan di MKD DPR dulu, hanya dagelan saja.

Saat ini, Partai Golkar di bawah Setya Novanto memang memerlukan figur populer untuk menutupi kelemahan sang ketua umumnya. Tak heran pula, setelah Jokowi dirangkul, giliran Ahok yang akan dirangkul. Manfaatnya sudah jelas, baik Jokowi maupun Ahok bisa ikut membersihkan citra negatif Partai Golkar. Imbalannya adalah dukungan politik sebagai partai peraih suara kedua terbanyak pemilu 2014 lalu.

Ada nasihat di kalangan tetua, “bergaulah dengan para alim supaya kau tertulari kealimannya; bergaullah dengan orang terkenal supaya kau tertulari keterkenalannya; bergaullah dengan orang yang berkuasa supaya kau dapat bagian kekuasaannya; bergaullah dengan orang terkenal dan punya pengikut banyak supaya kau ikut terkenal dan ikut punya pengikut banyak”.

Mungkin, setelah serangkaian manuver “memeluk” Jokowi dan kemudian disusul Ahok, dirasa cukup berhasil dan efektif, nama-nama kontrovesial itu dinilai tak bermasalah jika masuk kepengurusan Golkar. Toh, nanti citra partai pasti akan terangkat dengan sendirinya, kalau pelukan dan dukungan itu membuahkan hasil. Kalau kurang  ya akan dicarikan lagi figur populer yang dekat dengan rakyat. Masalahnya adalah, apakah sang figur populer dan mitra koalisi itu mau jadi ‘’mesin cuci”.

 

Salam.

 

Ikuti tulisan menarik mohammad mustain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB