x

Iklan

Trisnadi Waskito

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keluhan Warga Soal Pembebasan Tanah Tol Semarang-Batang

Sejak adanya rencana pembangunan tol, tahun 2008, aset tanah dan bangunan kami tidak bisa dijadikan agunan pengajuan kredit/pinjaman dari bank umum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Surat ini kami tujukan kepada Yth Kepala Satuan Kerja Inventarisasi dan Pengadaan Lahan untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang – Batang Kementerian PUPR untuk mendapatkan jawaban atau penjelasan. Kami adalah bagian dari warga terdampak rencana pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang - Batang di Kelurahan Gondoriyo Kecamatan Ngaliyan Semarang. Tanah dan bangunan kami terdaftar dengan Nomor Bidang 245, terletak di Jl. Bukit Beringin Asri Raya Blok A No. 36 Semarang 50187.

Pada 14 Maret 2016 di Balai Kelurahan diadakan acara Penjelasan Hasil Verifikasi Keberatan/Komplain atas Hasil Inventarisasi/ Identifikasi Tanah/Bangunan. Saat itu secara khusus pemilik 19 (sembilan belas) bidang tanah di lingkungan Blok A mendapatkan penjelasan oleh Petugas Sosialisasi. Intinya, ada kemungkinan 19 bidang tanah dan bangunan tersebut (termasuk milik kami) tidak jadi dibebaskan karena masing-masing luas sisa tanah yang tidak terkena pembebasan lebih dari 100 m2. Pada 17 Maret 2016, atas saran Panitia Kelurahan, kami menghadap petugas Badan Pertanahan Nasional Kota Semarang. Dari Petugas, kami mendapatkan penjelasan bahwa semua itu demi efisiensi, karena pemerintah akan rugi.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan harapan kami. Kami berharap, bahwa setelah 8 tahun, sejak 2008, kami terkatung-katung tanpa kejelasan, tanpa kepastian, di ujung proses pemerintah justru menciderai rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada 18 Maret 2016, via Kantor Kelurahan Gondoriyo, kami dan teman-teman telah berkirim surat kepada Kepala Satuan Kerja Inventarisasi dan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Jalan Tol Batang – Semarang Kementerian PUPR di Jakarta, memohon agar tanah yang terkena dan sisa tanah dan bangunan kami bisa dibebaskan/dibayar seluruhnya. Mengingat sampai detik ini tidak ada tanggapan, maka surat ini kami kirim  via Koran Tempo.

Sebagai pertimbangan, kami sampaikan fakta-fakta yang secara material maupun immaterial telah merugikan warga sbb:

Sejak adanya rencana pembangunan tol, tahun 2008, aset tanah dan bangunan kami tidak bisa dijadikan agunan pengajuan kredit/pinjaman dari bank umum.

NJOP tanah dan bangunan kami juga seperti di-bonsai, tidak ada peningkatan signifikan. Tanpa prasangka buruk, kami mempertanyakan, ini memang merupakan kebijakan pemerintah, yang secara sistematik – bila saatnya tiba, maka ganti rugi atas tanah yang dibebaskan akan tetap kecil nilainya (karena besaran gant-rugi antara lain berpatokan pada NJOP). Dan baru tahun ini, NJOP tiba-tiba melonjak hingga lebih dari 60 % dari tahun lalu.

Akibat lebih jauh, warga tidak bisa memperjual-belikan tanah dan bangunannya, karena akan ditawar jauh di bawah harga pasar. Kami tetap berbaik sangka, bahwa kebijakan itu untuk mencegah tanah-tanah tsb menjadi objek spekulasi “mafia tanah”. Dalam konteks ini, kami catat pesan wanti-wanti gubernur Jateng Ganjar Pranowo, agar warga jangan menjual tanah mereka yang terkena projek jalan tol. Bila harus menjual, jual saja ke Pak Gub.

Apabila, setelah penantian 8 tahun tanpa kepastian, dan pada akhirnya tanah dan bangunan kami tidak jadi dibebaskan, maka akan timbul kerugian lebih lanjut yang harus kami tanggung. Menurut pengalaman dan kenyataan selama ini, permukiman di pinggir jalan tol akan “mati” dan terisolir (dalam gambar yang disosialisasikan sejak 8 tahun lalu hingga sekarang kami juga kehilangan akses jalan) Aset juga akan mengalami devaluasi atau merosot nilai ekonomisnya. Juga tidak nyaman (karena kebisingan lalu-lintas) dan tidak aman (karena polusi udara) yang berisiko pada kesehatan warga.

Pemerintah selama ini selalu melakukan dikotomi antara kepentingan umum/publik vs kepentingan perorangan dalam setiap (potensi) konflik kepentingan pembangunan. Dikotomi ini menyesatkan. Karena sesungguhnya ada masalah mendasar lain, yakni kepentingan bisnis/komersial vs kepentingan sosial. Jalan tol, pada akhirnya adalah projek bisnis/komersial berorientasi keuntungan (profit oriented), sedangkan tanah dan bangunan warga adalah rumah tinggal, kebutuhan primer dan kebutuhan dasar warga.

Di sini terjadi double standard  dalam pemerintah. Jika ada warga yang “mbalela” disebut melawan kepentingan umum. Bila ada warga yang justru mendukung, sekaligus tidak ingin dirugikan (diperlakukan adil), justru dicederai, dengan alasan efisiensi dan untung-rugi – ini merupakan terminologi bisnis.

Bila ditarik ke hulu persoalan, warga juga bisa mempertanyakan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang tumpang tindih, dalam arti sebenar-benarnya. Bagaimana mungkin bisa terjadi, perumahan yang dibangun oleh pengembang plat merah yang notabene telah memenuhi segenap perijinan dan peruntukan lahan, bisa ditabrak oleh jalan tol?

Demikian permohonan kami. Kami berharap Kepala Satuan Kerja Inventarisasi dan Pengadaan Lahan Jalan Tol Semarang – Batang Kementerian PUPR berkenan menanggapi dan meluluskan permohonan kami.

Terima kasih tak habis-habis.

Trisnadi Waskito

Jl. Bukit Beringin Asri Raya Blok A No. 36

Semarang 50187

*) Foto Tempo.co (TEMPO/Budi Purwanto)

Ikuti tulisan menarik Trisnadi Waskito lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler