x

Tambang Grassberg Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc. di Papua. REUTERS/Stringer

Iklan

iggm.adi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Freeport dan Kurva Belajarnya

Dalam isu lingkungan hidup, Freeport memiliki rekam jejak yang suram. Setidaknya demikian laporan berbagai lembaga masyarakat sipil dan pemberitaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Opini "Perpanjangan Kontrak Freeport Dibayangi Masalah Lingkungan" di Koran Tempo edisi 16 Mei 2016 mengajukan dua kesimpulan menarik. Pertama, dalam perpanjangan kontrak antara pemerintah Indonesia dan Freeport, aspek lingkungan perlu mendapat perhatian serius. Kedua, Freeport telah menghasilkan kurva belajar (learning curve) dalam pengelolaan lingkungan di pertambangan besar, sehingga hanya mereka dan perusahaan dalam daftar Fortune 500 yang mampu mengelolanya.

Dalam persoalan lingkungan hidup, Freeport perlu penilaian yang adil. Sampai 2014, perusahaan ini sudah menyelesaikan tujuh audit lingkungan eksternal. Pemerintah tidak pernah memberikan tanggapan publik atas hasil audit itu, sehingga tak semua pihak tahu apa yang telah dikerjakan Freeport. Siapa pun yang mengelola tambang Grasberg akan menghadapi persoalan yang sama dengan Freeport, yaitu tantangan geografis dan kondisi sosiokultural dan ekonomi yang unik, termasuk dinamika politik lokal, nasional, dan internasional.

Seringkali pengelolaan lingkungan mencakup memilih di antara beberapa opsi yang disediakan alam dan teknologi. Dua dari tujuh isu lingkungan terpenting Freeport, yaitu pembuangan pasir sisa tambang (sirsat) dan pembuangan lapisan tanah pucuk (overburden), menunjukkan pilihan dan dampaknya. Freeport mengambil opsi paling murah saat memutuskan membuang sirsat ke daerah aliran Sungai Ajkwa dengan memanfaatkan kondisi topografi yang curam ketimbang membangun pipa pembuangan seharga US$ 750 juta. Celakanya, hujan dan badai pada 1990 melebarkan sebaran sirsat sejauh 5 kilometer dan menghilangkan area hutan sagu, yang merupakan sumber pangan, kemudian merusak jalur transportasi air tradisional dan melenyapkan batas tanah ulayat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Freeport juga memanfaatkan bentang alam untuk menimbun overburden (lapisan tanah dan batu di atas mineral) di lembah Wanagon, tapi beberapa kali runtuh dan merenggut korban jiwa. Apakah semua opsi itu yang terbaik untuk lingkungan dan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam di kawasan itu? Inilah yang seharusnya dijawab melalui audit lingkungan yang, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akan segera dilaksanakan.

Dalam isu lingkungan hidup, Freeport memiliki rekam jejak yang suram. Setidaknya demikian kesimpulan laporan berbagai lembaga masyarakat sipil dan pemberitaan media. Supaya adil, semua klaim Freeport dan kritik terhadap mereka harus diperiksa secara tuntas melalui audit lingkungan independen yang diumumkan kepada publik untuk menentukan untung-rugi berbagai pilihan kebijakan, program, teknologi, biaya, dan praktek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan Freeport. Hasil audit ini dapat menjadi dasar dalam menyusun pasal-pasal lingkungan pada kontrak yang baru.

Satu isu lingkungan penting di Freeport adalah audit lingkungan sosial. Audit lingkungan yang hanya memperhatikan paramater fisik merupakan cara pandang yang menganggap alam dan masyarakat sebagai dua entitas terpisah. Masyarakat dipandang sebagai entitas statis, sehingga hanya perlu dipelajari satu kali saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau setelah terjadinya konflik berkepanjangan. Audit lingkungan sosial seharusnya menjelaskan ongkos sosial yang ditanggung masyarakat dari setiap perubahan lingkungan fisik di area Freeport. Ironisnya, sampel lingkungan fisik diteliti dan dilaporkan secara teratur setiap tiga bulan, tapi masyarakat diasumsikan imun dari dampak perubahan tersebut.

Apakah tambang Grasberg hanya mampu dikelola oleh Freeport? Jika karyawan Freeport telah mengalami kurva belajar yang cukup lama dan melakukan segalanya dengan cara terbaik, tindakan paling tepat untuk kontraktor pengganti Freeport adalah tetap mempekerjakan mereka dan melanjutkan semuanya. Jika mereka diupah dengan layak dan diberikan fasilitas memadai, mereka tidak akan pindah.

Jika rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan atas sumber daya alam ingin mengganti Freeport, itulah kehendak tertinggi. Mengganti Freeport ibarat mengganti seorang operator, sebuah profesi yang bisa ditemukan dengan bayaran yang layak. Mengganti Freeport di tambang Grasberg tidak sama artinya dengan mengganti seluruh staf, sistem remunerasi dan karier, praktek manajemen, teknologi, atau program lingkungan terbaik. Freeport bisa digantikan oleh PT Timah atau Aneka Tambang atau siapa saja sesama "mandor tambang". Dalam bisnis pengelolaan tambang dan lingkungannya, mustahil menjadi pihak yang tak tergantikan. Saat hanya sang operator yang berganti, tidak ada alasan mengapa yang lain tidak bisa berjalan seperti biasa.

Apabila dikaitkan antara lingkungan hidup dan teori kurva belajar, kurva Freeport baru teruji pada kurva belajar manusia dengan mesin serta manusia dengan lingkungan fisik, tapi belum menggambarkan pembelajaran dengan lingkungan sosial.

Apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan dari kurva belajar setelah berakhirnya kontrak tambang Grasberg pada 2021 adalah memperbaiki kesalahan yang memisahkan manusia dengan lingkungannya dan menciptakan kurva pengalaman antarmanusia. Bila memungkinkan, kurva-kurva itu harus curam agar pembelajaran terjadi dengan cepat. Bagi pemerintah, kebutuhan itu barangkali dapat dipenuhi dengan membuat kebijakan yang adil, transparan, dan partisipatif untuk Grasberg.

IGG Maha Adi, Direktur The Society of Indonesian Environmental Journalists

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Selasa, 31 Mei 2016

Ikuti tulisan menarik iggm.adi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler