x

Presiden Joko Widodo menerima kedatangan Pimpinan DPR RI di Istana Merdeka, Jakarta, 15 April 2016. Pertemuan untuk mengkonsultasikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. TEMPO/Subekti.

Iklan

wiko saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memaknai Penolakan Pengampunan Pajak

RUU Pengampunan Pajak juga mengeliminasi asas dasar dari konstitusi, UUD 1945 yaitu asas kesamaan kedudukan setiap WNI di dalam hukum.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jalan buntu keberlanjutan proses pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak untuk sementara sudah selesai. Dalam pertemuan Presiden dengan pimpinan DPR di Istana Merdeka, pekan lalu, kedua belah pihak bersepakat untuk mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak pada masa sidang DPR di bulan April 2016.

Bagi pemerintah, sebagai pihak inisiator RUU Pengampunan Pajak, kesepakatan ini tentu memberikan asa terhadap banyak hal. Pertama, dipercepatnya pembahasan RUU Pengampunan Pajak, akan berimplikasi terhadap proses pengajuan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016. Karena, menurut Kementerian Keuangan, kebijakan Pengampunan Pajak dapat mempengaruhi target penerimaan negara dari pajak.

Kedua, kebijakan pengampunan pajak juga berimplikasi terhadap aliran dana masuk ke dalam negeri (repatriasi). Menurut data Kementerian Keuangan, ada sekitar Rp 11.400 triliun dana Warga Negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri. Adanya kebijakan pengampunan pajak, sebagian dana tersebut akan kembali ke Indonesia. Dan ini dapat menaikan investasi dan mengairahkan dunia usaha.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, kebijakan pengampunan pajak akan bermanfaat untuk rekonsiliasi perpajakan nasional, yang selama ini memiliki permasalahan akut seperti persoalan database Wajib Pajak (WP) yang masih amburadul, banyaknya sektor informal yang belum masuk ke dalam data WP dan persoalan hukum yang menghambat proses peningkatan penerimaan pajak.

Jika, tiga asa pemerintah ini bisa dicapai sekaligus dengan kebijakan pengampunan pajak, sungguh mulia sekali kebijakan ini. Tapi, lazimnya sebuah kebijakan yang ‘maha penting’ di Indonesia, selalu banyak jurang antara desain kebijakan dengan implementasi. Apalagi, di dalam RUU Pengampunan Pajak, peluang masuknya berbagai kepentingan bisnis dan politik sangat kental. Sehingga, potensi gagalnya kebijakan ini sangat besar.

Dilihat dari proses RUU Pengampunan Pajak, yang berubah-ubah skemanya, malahan sampai menjadi RUU Pengampunan Nasional, yang mengampuni semua kejahatan keuangan termasuk pencucian uang dan korupsi, tentu sebagian masyarakat bingung, apa sebenarnya arah dari kebijakan ini. Belum lagi polemik terkait substansi RUU Pengampunan Pajak yang tidak pernah jelas arahnya dan berubah-ubah.

Sekali waktu, pemerintah mengklaim kebijakan ini diarahkan untuk mencapai target penerimaan pajak. Tapi tidak lama, berubah lagi kearah repatriasi. Belum selesai perdebatan repatriasi, muncul lagi polemik terkait data, tahun pengampunan dan besaran tarif. Dan, di kalangan pemerintah sendiri juga tidak satu suara menyikapi arah dari RUU Pengampunan Pajak. Malahan, publik semakin bingung, ketika ada indikasi proses transaksional antara RUU Pengampunan Pajak dengan RUU KPK.

Melihat proses yang rada aneh ini, tentu sangat logis ada suara-suara yang menolak RUU Pengampunan Pajak. Walaupun, suara menolak tidak sekencang suara yang setuju. Tapi, ini perlu disikapi oleh pemerintah. Karena, kebijakan pengampunan pajak merupakan kebijakan nasional yang berlaku bagi seluruh WNI (universal coverage policy). Maka, asas keadilan harus dipertimbangkan dalam kebijakan tersebut.

Terkait makna keadilan, tentu kebijakan pengampunan pajak perlu dikritisi. Kebijakan ini tentu mencederai WP yang selama ini patuh dan taat dalam membayar pajak. Padahal, asas utama yang menjadi pondasi sistem perpajakan yang baik adalah asas keadilan (tax justice). Dan, banyak kasus kegagalan kebijakan pengampunan pajak di berbagai negara disebabkan oleh terdegradasinya asas keadilan.

RUU Pengampunan Pajak juga mengeliminasi asas dasar dari konstitusi, UUD 1945 yaitu asas kesamaan kedudukan setiap WNI di dalam hukum. Karena, RUU Pengampunan Pajak sangat terang benderang memberikan perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu yaitu WNI yang mempunyai uang, mereka dengan mudah membayar tarif tebusan pajak, lalu mereka bisa terbebas dari proses hukuman. Apalagi, dengan skema repatriasi, WNI sebagai pemilik dana besar, yang mendapatkan pengampunan akan dimaknai sebagai ‘orang yang berjasa’, padahal banyak dari mereka ini, terindikasi sebagai pelaku kejahatan keuangan dan perpajakan.

 

Terkait pelaku kejahatan tersebut, kajian Global Financial Integrity (2015), menempatkan Indonesia sebagai peringkat ketujuh dunia mengenai alirang uang haram (illicit financial flows). Diperkirakan dari tahun 2003-2012, totalnya mencapai USD 187.844 juta atau setara dengan Rp 1.690 triliun. Salah satu indikator penyebabnya adalah banyaknya praktek penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengemplangan pajak (tax evasion).

 

Kasus Dokumen Panama (Panama Papers) yang terkuak oleh International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ), yang juga melibatkan jurnalis dari Indonesia, memperlihatkan begitu rawannya kegiatan bisnis di Indonesia terhadap praktek-praktek tax avoidance dan tax evasion. Modusnya adalah menyembunyikan kekayaan dan asset mereka di negara suaka pajak (tax hevans). Dan ini melibatkan pengusaha terkaya di Indonesia, pejabat publik dan politisi. Kelompok inilah yang selama ini menikmati kue ekonomi terbesar tapi tidak patuh dan taat membayar pajak. Dan kelompok ini yang menjadi target kebijakan Pengampunan Pajak.

 

Benarkah obat mujarab?

 

Efektifitas sebuah kebijakan tentu di nilai dari dua aspek yaitu output dan outcomes. Tentu pemerintah sudah punya dasar argumentasinya dalam merumuskan RUU Pengampunan Pajak. Walaupun, pada kenyataannya tidak jelas apa output dan outcomes kebijakan ini. Output kebijakan bisa saja tercapai, seperti tercapainya target penerimaan pajak dan repatriasi yang menjadi output kebijakan ini. Tapi, ketika itu tercapai, tidak dibarengi oleh perbaikan sistem perpajakan, yang merupakan outcomes kebijakan, maka kebijakan pengampunan pajak bisa dikatakan gagal.

 

Inilah yang terjadi dibanyak negara. Dalam jangka pendek, memang ada penambahan penerimaan pajak dan masuknya aliran dana dari repatriasi. Tapi, itu hanya sementara. Paska pengampunan pajak, musibah dan masalah perpajakan kembali terjadi, malahan semakin kompleks seperti menurunnya tingkat kepatuhan WP. Sebenarnya, ini pernah terjadi di Indonesia ketika kebijakan pengampunan pajak di tahun 1983 dan kebijakan sunset policy tahun 2007.

 

Terkait repatriasi, tidak ada yang bisa menjamin kebijakan pengampunan pajak bisa mengembalikan semua atau sebagian besar dana WNI yang berada di luar negeri. Sistem keuangan global yang semakin bebas, memberikan banyak pilihan bagi seseorang untuk menempatkan dananya dengan berbagai tujuan seperti mencari keuntungan yang besar, kerahasian dana, kemudahan melakukan transaksi keuangan, penghindaran pajak, pencucian uang dan lainnya. Sehingga, instrumen pengampunan pajak bukan menjadi instrumen yang efektif untuk repatriasi.

 

Jika output kebijakan pengampunan pajak adalah peningkatan penerimaan pajak. Tidak juga ada jaminan kebijakan ini sesuai harapan pemerintah. Kalkulasi Kementerian Keuangan, diprediksi akan ada kenaikan penerimaan pajak sebesar Rp 114 triliun. Bagi penulis, target ini di luar batas logika. Melihat proses dan instrumen yang ada di dalam RUU Pengampunan Pajak, angka sebesar itu sangat mustahil untuk dicapai.

 

Dalam kondisi diatas, maka sangat logis ketika suara-suara penolakan terhadap RUU Pengampunan Pajak muncul kepermukaan. Selain sebagai kanal menyuarakan pendapat dan kebebasan berekspresi. Suara penolakan ini juga merupakan wujud untuk merestrukturisasi sistem perpajakan yang lebih baik dan berkeadilan, sesuai prinsip-prinsip konstitusi UUD 1945.

 

Masih banyak alternatif kebijakan, diluar pengampunan pajak, yang sebenarnya sangat penting segera dilakukan oleh pemerintah, seperti perbaikan kelembagaan perpajakan, penataan regulasi perpajakan, perbaikan database WP dan penegakan hukum. Aspek-aspek ini yang belum berjalan optimal sampai saat ini.

 

Pemerintah tidak punya peta jalan perpajakan yang komprehensif. Tidak ada peta persoalan, identifikasi dan kluster masalah. Justru, semua masalah perpajakan yang ada saat ini dimasukan ke dalam satu keranjang besar dan di injeksi dengan satu pengobatan yaitu pengampunan pajak. Pola pikir seperti ini sangat naïf dilakukan oleh pemerintah. Selayaknya penolakan RUU Pengampunan Pajak mendapatkan ruang publik yang lebih besar dan pemerintah harus memaknainya dalam kerangka perwujudan sistem perpajakan yang berkeadilan di Indonesia.

 

 

BIODATA

 

Ikuti tulisan menarik wiko saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler