x

Iklan

Irfantoni Listiyawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rekam Jejak Sejarah dalam Roda Sepeda

Di balik putaran roda, sepeda menyimpan rekam jejak sejarah bangsa. Sepeda menjadi saksi bisu para pejuang dan punggawa republik dalam meraih kemerdekaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepeda selain sebagai moda transportasi roda dua masyarakat juga menyimpan nostalgia sejarah bangsa Indonesia. Nostalgia tersebut adalah bagaimana pelaku sejarah menempatkan sepeda (dalam hal ini sepeda onthel) sebagai mitra dalam perjuangan bangsa menuju kemerdekaan. Sepeda onthel sedikit banyak telah memberi sentuhan dalam deretan kisah perjuangan bangsa ini. Perjalanan sepeda masuk bumi Indonesia memiliki rekam jejak yang panjang jika kita telusuri. Sepeda merupakan produk yang dikenalkan oleh bangsa Belanda di era kolonial, dilanjutkan dengan pendudukan Jepang yang membawa sepeda produk Jepang. Hal ini sebagaimana tergambar dalam roman klasik Anak Semua Bangsa karya begawan sastra Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Adapun penggalan tentang sepeda tersebut tercermin dalam kalimat :

“Di depan saya ada...apa itu? Ya Allah, Sang Velocipide, sang sepeda, sang kereta angin !. ...Ini yang dinamai kereta angin...kencang, cepat seperti angin,...lari secepat kuda. Tidak perlu rumput. Tidak perlu kandang....lebih nyaman daripada kuda...Kendaraan ini tidak pernah kentut, tidak butuh minum, tidak buang kotoran.”

Nampaknya, cuplikan roman Pram diatas mungkin menjadi alasan bagi para pelaku sejarah dahulu untuk memilih sepeda onthel sebagai mitra perjuangannya. Tidak ribet, dan tidak buang kotoran.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepeda yang semakin banyak di bumi nusantara pada awal abad ke-20 juga sebagai penanda status sosial terutama di ibukota Jakarta, sebagaimana ditulis Bambang Purwanto dalam esai ilmiahnya berjudul “Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta : Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia”. Para serdadu Belanda tidak jarang pula menggunakan sepeda ini sebagai sarana dalam melakukan patroli. Pun demikian dengan masyarakat berada, para priyayi menggunakan sepeda buatan Belanda macam Batavus, Phillip, Gazele, dan lainnya sebagai penanda status sosialnya. Tak hanya priyayi dan para meneer, kaum intelektual dan para pejuang dalam era pergerakan kemerdekaan juga menggunakan sepeda sebagai mitra setianya.

 

Sepenggal Kisah Sepeda dan Perjuangan Bangsa

Jika pada jaman kisanak (baca : jaman kerajaan), para punggawa negeri sering mondar-mandir menggunakan kuda sebagai mitra setianya maka sepeda mengambil alih posisi tersebut pada awal abad ke-20. Pada jaman ini sosok pendiri bangsa seperti Ir. Soekarno, sang pencetus paham Marhaenisme. Cindy Adams menuliskannya dalam “Bung Karno : Penjambung Lidah Rakjat Indonesia”, ketika itu Bung Karno berkeliling di sebuah desa di Jawa Barat dengan sepedanya, dan di jalan dia bertemu dengan seorang petani kecil bernama Marhaen.

Semendjak itu kunamakan rakjatku sebagai Marhaen. Selandjutnya di hari itu aku mendajung sepeda berkeliling mengolah pengertianku jang baru....”

Begitu kira-kira kata Bung Karno seperti yang ditulis Cindy Adams. Berkat sepeda pula Bung Karno bertemu seorang petani bernama Marhaen yang kelak menjadi akar ideologis pemikiran beliau.

Lain Bung Karno, lain pula kisah Kapten Widodo dalam kisahnya bersama sepasukan Republik menghadadpi gempuran Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan di Jogjakarta tahun 1948-1949. Saat itu, Kapten Widodo sebagai seorang kurir dalam satuannya. Dia mengemban tugas yang tidak mudah, yakni menyampaikan informasi secara bersambung dari satuan satu ke satuan lain yang jaraknya berjauhan dan dapat dilaluinya dengan sepeda. Dalam novel ilmiah sejarah berjudul “Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku” karya Purnawan Tjondronegoro dikisahkan, bagaimana perjuangan Kapten Widodo yang baru saja menikah menyampaikan pesan rahasia kepada induk pasukan yang jauh dari Jogja menyusuri gelap malam dibawah kepungan musuh dengan sepedanya. Sesekali Sang Kapten harus memanggul sepedanya kala melewati pematang sawah dan medan yang sulit dilalui lainnya. Setelah bersepeda berjam-jam melewati medan yang sulit, akhirnya Kapten Widodo dengan selamat sampai ke tempat tujuannya, meyampaikan pesan untuk pasukan yang lain. Dapat dibayangkan betapa besar peran sepeda Kapten Widodo tersebut.

Perang telah usai, namun perjuangan masih terus berlanjut. Pak Samidjo, seorang polisi di era awal masa kemerdekaan sedang berpatroli bersama sepeda onthelnya bermerk Hima. Di era 1950-an sepeda Hima memang menjadi inventaris kepolisian kala itu. Rute Kulon Progo – Jogja sejauh 20 kilometer menjadi salah satu saksi Pak Samidjo bersama sang Hima. Setiap hari Pak Samidjo gowes untuk bertugas sebagai satuan polisi di Jogjakarta. Berangkat pagi buta dan kembali kerumah selepas Maghrib melalui jalur pinggir Selokan Mataram. Sepeda bermerk Hima saat itu menjadi mitra setia Korps Bhayangkara ini, dan sepeda ini mengambil bagian dalam perkembangan keberadaan institusi kepolisian.

Dekade berikutnya sepeda kembail mengambil perannya, awal tahun 1960-an menjadi tahun genting bagi bangsa Indonesia, terutama pasca peristiwa 1965. Hal ini membuat para mahasiswa UI gerah dengan kondisi perpolitikan yang ada. Aliansi  mahasiwa yang teragabung KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), melakukan demonstrasi di sekitaran ibukota Jakarta menuntut pemulihan keadaan di tahun 1966. Para mahasiswa Fakultas Sastra dan Fakultas Psikologi UI memenuhi jalanan kota menggunakan sepeda onthel, beramai-ramai melakukan konvoi menyuarakan tuntutannya. Gambaran ini dituliskan oleh salah seorang aktivis muda saat itu, Soe Hok Gie dalam buku “Catatan Seorang Demonstran”.

“Acara hari Kamis adalah acara bersepeda. Fakultas Sastra-Psikologi pergi bersepeda untuk memacetkan lalu lintas. .....Dari senen melalui jalan Gunung Sahari rombongan pergi ke Departemen Kejaksaan dekat Lapangan Banteng. ....Rombongan ini datang memprotes Jaksa..., Isinya sebaimana biasa : anti PKI, anti kenaikan harga dan retooling kabinet”.

Peristiwa tersebut dapat kita lihat dalam adegan dalam film karya Mira Lesmana dan Riri Riza berjudul “Gie”, yang dibintangi oleh aktor Nicholas Saputra. Sekali lagi, sepeda kembali mengambil tempatnya dalam perjuangan bangsa yang kali ini dimotori oleh mahasiswa dalam menuntut sebuah pemulihan kondisi bangsa. Yaa, karena roda sepeda selalu menyajikan cerita dalam perjalanannya.

 

Tutup Kata

Kisah sepeda bersama punggawanya diatas merupakan sedikit cuplikan deretan kisah dalam sejarah bangsa ini. Tentunya masih banyak lagi peran sepeda dalam sejarah bangsa jika kita eksplor lebih lanjut. Sebagai generasi penerus kita hendaknya tidak mengesampingkan dan memandang sebelah mata terhadap keberadaan sepeda, juga kepada pengendaranya. Oleh karena itu, keberadaan sebagai induk organisasi Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI) merupakan sebuah wadah untuk melestarikan eksistensi sepeda tua (onthel) di Indonesia. Organisasi yang dibentuk pada Februari 2008 ini berusaha menyatukan masyarakat dari segala latar belakang melalui sepeda onthel.

Selain itu, KOSTI juga menanamkan pada para anggotanya untuk senantiasa menjaga solidaritas, brotherhood, hingga tidak melupakan sejarah bangsa melalui kegiatan-kegiatan positif yang dihelat. Hal ini penulis rasakan betul saat bergabung dengan komunitas onthel, tidak melupakan sejarah seperti dengan bersepeda menyusuri kota tua yang sarat akan perjuangan bangsa. Ditambah lagi apabila kita menyurusi kota tua dengan memakai kostum ala pejuang Tempo Doeloe, seakan menambah semangat nasionalisme dengan menngenang dan menapak tilas jejak pejuang bangsa, serta bangga menjadi bagian dari bangsa besar bernama Indonesia. Setidaknya itu yang saya dan kawan-kawan rasakan. Dan roda sepeda akan senantiasa berputar, menciptakan sejarahnya sendiri hingga dapat dikenang di masa mendatang.

 

Sumber Tulisan :

  • Arif, Ahmad. 2010. Melihat Indonesia dari Sepeda. Jakarta : Kompas

  • Bentara Budaya. 2011. Seri Lawasan : Pit Onthel. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia

  • Gie, Soe Hok. 2011. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta : LP3ES

  • Majalah KOSTI (Komunitas Sepeda Tua Indonesia). Edisi : 01/Tahun ke-1/2016.

  • Purwanto, Bambang. “Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta : Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia” dalam Henk Schulte, dkk. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta : KITLV

  • Tjondronegoro, Purnawan. 1982. Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku.  Jakarta : CV. Nugraha

Ikuti tulisan menarik Irfantoni Listiyawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler