x

Puluhan mahasiswa menyalakan lilin membentuk simbol pita yang melambangkan perang terhadap virus HIV saat peringatan Hari AIDS Sedunia di Universitas Muhammadiyah Surabaya, 1 Desember 2015. Aksi ini sebagai bentuk untuk menghindari dan memerangi peny

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Berliku Pengobatan Anak HIV di Indonesia

Sebuah pendapat tentang pengobatan anak HIV di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kursi roda itu tak lagi dipakai untuk mengantar Fikri ke sekolah. Bocah sembilan tahun itu meninggal pada bulan Januari 2016 di RS Ciptomangunkusumo. Diagnosa gagal ginjal dan infeksi lain memperburuk kondisinya yang positif HIV sejak lahir. Seandainya Fikri tidak kesulitan menelan obat yang harus diminumnya tiap hari, mungkin kursi roda itu masih didudukinya. 

Sebelum meninggal, Fikri seperti 14 anak lain yang didampingi Lentera Anak Pelangi sudah memasuki lini kedua pengobatan antiretroviral (ARV). ARV memang tidak membunuh virus HIV di dalam tubuh namun laju perkembangbiakannya bisa ditekan. Sayangnya, ARV jenis ini belum tersedia di Indonesia dalam formula khusus anak. “Kalau digerus, obatnya akan sangat lengket di tenggorokan. Kalau disuruh telan utuh, lebih sering keluar lagi karena terlalu besar,” kata nenek Fikri.

Sebenarnya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan pedoman terbaru pada Oktober 2014. Pedoman ini sudah disesuaikan dengan pedoman keluaran World Health Organization (WHO) tahun 2013. Berdasarkan pedoman ini, ada tiga jenis ARV yang formulasinya sangat bersahabat dengan anak karena sudah tersedia dalam bentuk tablet kombinasi dosis tetap (fixed dose combination-FDC)  dan dapat larut dalam air, sehingga sangat memudahkan anak dalam meminumnya. Satu di antara dua jenis tadi bahkan sudah dalam formulasi yang cukup diminum sekali sehari, bukan setiap 12 jam sekali. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam pendampingannya, Lentera Anak Pelangi menemukan bahwa hanya ada dua jenis saja yang tersedia di rumah sakit serta puskesmas rujukan di Jakarta. Tablet kombinasi dosis tetap sekali sehari belum tersedia untuk anak.

Hingga September 2015 ada 8.160 anak yang pernah masuk dalam perawatan, 5.912 di antaranya memenuhi syarat untuk memperoleh ARV dan hanya 4.866 anak yang pernah memperoleh ARV (Kemenkes, 2015). Sementara data tentang anak yang masih dalam pengobatan ARV tidak tersedia. Berdasarkan data pendampingan Lentera Anak Pelangi, ada 89 anak dari 93 anak yang masih dalam pengobatan ARV. 25 anak sudah mendapatkan ARV dalam formulasi FDC dan sisanya masih mengkonsumsi obat formulasi dewasa yang dosisnya disesuaikan dengan dosis anak. Obat-obat itu terpaksa digerus dan dijadikan puyer untuk memudahkan anak meminumnya. Padahal dalam pedoman penerapan terapi HIV pada anak beberapa jenis obat tidak disarankan untuk digerus serta diracik, kemudian disimpan dalam keadaan sudah tergerus. Pelarangan penggerusan obat ARV ini terkait pada efektivitas kerja obat dalam darah serta kesesuaian dosis untuk anak.

Sulitnya anak mengkonsumsi ARV yang formulanya tidak sesuai akan berdampak pada kepatuhan terapi ARV. Selain itu karena masih harus dikonsumsi setiap 12 jam sekali, ada anak yang terpaksa harus minum obat secara sembunyi-sembunyi di sekolah agar tidak diketahui oleh teman sekelasnya. Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi ARV dapat berakibat munculnya infeksi oportunistik seperti jamur pada kulit serta menurunnya kondisi tubuh. Akibat terburuknya adalah resistensi virus terhadap ARV yang dikonsumsi sehingga anak harus beralih pada lini kedua, seperti yang terjadi pada Fikri. Jika anak tidak patuh pada pengobatan lini kedua, bukan tak mungkin resistensi virus terjadi lagi sehingga anak harus beralih pada pengobatan lini ketiga yang belum tersedia di Indonesia.

Pemerintah sebenarnya bisa mengatasi permasalahan ini dengan cara  memberikan perhatian khusus pada penyediaan obat ARV formula anak di Indonesia. Pemerataan penyebaran obat ARV anak harus dilakukan sampai ke daerah.

Selain itu pengetahuan tentang penerapan terapi HIV pada anak juga masih kurang. Padahal, pedoman yang diluncurkan Kemenkes tahun 2014 itu diharapkan dapat menjadi panduan bagi semua petugas layanan kesehatan, bukan hanya dokter anak, dalam menangani anak dengan HIV di layanan kesehatan. Pedoman tersebut juga direncanakan untuk masuk dalam kurikulum pendidikan jarak jauh sehingga nantinya tidak ada lagi kasus anak HIV yang ditolak penanganannya di rumah sakit daerah karena keterbatasan pengetahuan dokter tentang terapi HIV pada anak.

Fikri mungkin hanya satu dari sekian anak yang juga mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi ARV terutama ARV lini kedua. Adanya dukungan psikososial juga diperlukan untuk membantu anak memahami manfaat obat bagi tubuhnya sehingga bisa berlatih untuk secara teratur mengkonsumsinya. Fikri kini sudah tiada namun teman-temannya yang bernasib sama masih harus berjuang untuk sehat dan berumur panjang.  Seandainya obat ARV itu bentuk dan rasanya enak, mungkin mereka tidak perlu merasa terbebani untuk meminumnya setiap hari seumur hidup mereka.

***

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler