x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pekerja Anak dan Kemiskinan

Tak bisa dimungkiri, kondisi serba kekurangan dan tekanan ekonomi yang dihadapi keluarga seringkali merupakan penyebab utama anak dipaksa bekerja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada satu ungkapan yang sudah lazim kita dengar: banyak anak, banyak rejeki. Ungkapan ini mungkin ada betulnya bila posisi anak semata-mata dilihat sebagai faktor produksi tenaga kerja atau sumber pendapatan keluarga.

Kenyataannya, selama proses tumbuh kembangnya dari lahir hingga dewasa, setiap anak punya hak-hak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Dengan kata lain, anak bukanlah obyek eksploitasi untuk menambah pendapatan keluarga. Hak-hak tersebut, antara lain, mencakup asupan gizi yang cukup dan pendidikan yang berkualitas.

Setiap orang tua bertanggung jawab membesarkan anaknya agar menjadi generasi produktif dan siap memasuki pasar kerja. Dari sudut pandang ini, membesarkan anak bukanlah investasi yang murah. Anak bukan lagi sebagai sumber pendapatan keluarga, tapi beban tanggungan yang membutuhkan alokasi pendapatan yang tidak sedikit. Artinya, ungkapan “banyak anak, banyak rejeki” sejatinya kurang tepat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sayangnya, hingga kini, eksploitasi anak sebagai pekerja  untuk menambah pendapatan keluarga masih saja terus berlanjut. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan, tingkat partisipasi anak di pasar kerja masih cukup tinggi. Pada 2014, misalnya, jumlah anak berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun.

Mereka aktif bekerja membantu keluarga ketika anak-anak lain sibuk bermain dan bersekolah. Sekadar diketahui, definisi anak adalah penduduk yang berumur di bawah 18 tahun. Definisi ini diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.

Peran keluarga

Pada 12 Juni 2016 dunia kembali memperingati World Day Againts Child Labour. Kampanye yang diluncurkan pertama kali pada 2002 itu bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarkat global terhadap isu pekerja anak. Pekerja anak harus dicegah karena merampas hak-hak anak, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, menikmati waktu luang (bermain), dan hidup di lingkungan yang sehat dan mendukung tumbuh kembang mereka.

Anak yang bekerja  berisiko terganggu tumbuh kembangnya. Risiko tersebut bakal semakin besar jika anak bekerja pada lapangan pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan keselamatannya. Hasil Survei Pekerja Anak yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009 memperlihatkan bahwa 985 ribu anak usia 5-14 tahun bekerja pada kondisi yang berbahaya akibat interaksi dengan benda berbahaya, debu atau uap, dingin atau panas yang esktrim, api dan gas, bahan kimia, ketinggian berbahaya, serta mesin dan peralatan berbahaya.

Pendidikan anak yang bekerja juga bakal terganggu. Hal ini pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap kapabilitas mereka ketika beranjak memasuki usia dewasa. Meski sebagian besar anak-anak yang bekerja juga bersekolah, tak bisa dimungkiri mereka bakal tertinggal dari kawan-kawannya, baik dari sisi kehadarin di sekolah maupun prestasi belajar.

Celakanya, banyak anak yang melakukan kegiatan ekonomi ternyata tidak bersekolah. Data yang dikeluarkan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 177,37 ribu anak berusia 7-17 tahun yang berasal dari rumah tangga sangat miskin tidak bersekolah dan pada saat yang sama bekerja di sektor pertanian, perikanan, perdagangan, jasa-jasa, dan lain-lain.

Juga patut diperhatikan, jumlah anak yang aktif bekerja di usia belia ternyata relatif tinggi. Hasil Survei Pekerja Anak menunjukkan, jumlah penduduk berumur 5-12 tahun yang bekerja mencapai 674,3 ribu jiwa atau mencakup sekitar 16,64 persen dari jumlah total pekerja anak (penduduk usia 5-17 tahun) yang mencapai 4,05 juta orang.

Survei Pekerja Anak 2009 juga memperlihatkan bahwa 65,5 persen pekerja anak merupakan pekerja keluarga tidak dibayar (unpaid family worker). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, sebagian besar pekerja anak merupakan “korban” eksploitasi keluarga. Kedua, keberhasilan pemerintah dalam menekan jumlah pekerja anak atau menghentikan eksploitasi terhadap anak sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi kepala keluarga. Selama mereka terkungkung dalam cara pandang yang keliru, bahwa anak merupakan faktor produksi tenaga kerja, eksploitasi terhadap anak bakal terus berlanjut.

Kemiskinan

Di atas itu semua, eksploitasi terhadap anak pada dasarnya tidak terlepas dari alasan ekonomi keluarga. Tak bisa dimungkiri, kondisi serba kekurangan dan tekanan ekonomi yang dihadapi keluarga seringkali merupakan penyebab utama anak dipaksa bekerja. Pendek kata, kemiskinan adalah sumbunya.

Faktanya, anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sangat rentan digiring ke pasar kerja untuk menyokong ekonomi keluarga. Hasil Survei Pekerja Anak 2009 memperlihatkan bahwa sebagian besar kasus anak bekerja terjadi di daerah pedesaan. Mudah diduga mayoritas kasus anak bekerja di daerah pedesaan terdapat di sektor pertanian yang secara struktural mendominasi kegiatan ekonomi di daerah pedesaan. Dan faktanya memang demikian. Hasil Sakernas pada 2012 menunjukkan bahwa 72 persen pekerja anak usai 10-17 tahun di daerah pedesaan bekerja di sektor pertanian.

Kita tahu bahwa daerah pedesaan dan sektor pertanian merupakan kantong kemiskinan di negeri ini. Data BPS memperlihatkan bahwa 62,75 persen dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai 28,51 juta jiwa pada September 2015 tinggal di daerah pedesaan. Sementara itu, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2014 menunjukkan bahwa 67,26 persen rumah tangga miskin di daerah pedesaan merupakan rumah tangga dengan lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.

Karena itu, upaya paling mendasar yang harus dilakukan pemerintah untuk menghentikan eksploitasi terhadap anak sejatinya adalah mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Terkait hal ini, pembangunan daerah pedesaan, termasuk di dalamnya sektor pertanian, harus menjadi fokus perhatian. Pengentasan kemiskinan adalah kuncinya. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB