x

Muhammad Ali memukul wajah lawannya Joe Frazier pada pertandingan tinju kelas berat di Manila, Filipina, 1 Oktober 1975. Setelah 32 tahun berjuang melawan penyakit Parkinson, Muhammad Ali meninggal dunia pada usia 74 tahun. AP/Mitsunori Chigita, Fil

Iklan

m alfan alfian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tinju Muhammad Ali dan Politik Kita

Tak hanya mengejutkan di ranah tinju-permainan olahraga yang sejatinya begitu kontroversial-Ali juga mengentak jagat politik, selain keagamaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sehari setelah selesainya Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Bali, pertengahan Mei lalu, saya balik ke Jakarta. Di Bandar Udara Ngurah Rai, saya sempat menengok kios buku dan menemukan buku tentang Muhammad Ali, sang petinju legendaris. Ketika mendengar Ali telah meninggal pada usianya yang ke-74, 2 Juni lalu, saya ingat akan isi buku itu dan tergerak untuk merefleksikannya ke konteks yang lebih luas, yakni politik.

Judul buku itu pun berkaitan dengan politik: King of The World, Muhammad Ali and The Rise of an American Hero. Buku yang ditulis dengan menawan oleh David Remnick ini diterbitkan pertama kali pada 1998. Buku ini merekam masa hidup sang legenda yang mengalir, tapi mengagetkan jagat tinju dunia. Ia menaklukkan Sony Liston dan raksasa tinju lainnya. Ia berkawan dengan Malcolm X, menjadi pengikut organisasi Nation of Islam di bawah kepemimpinan Elijah Muhammad, dan, tentu saja, beralih dari Cassius Clay menjadi Muhammad Ali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak hanya mengejutkan di ranah tinju-permainan olahraga yang sejatinya begitu kontroversial-Ali juga mengentak jagat politik, selain keagamaan. Ali menolak terlibat dalam Perang Vietnam, yang menjadi proyek perang antikomunis AS di Asia Tenggara. Karena itu, ia harus berurusan dengan negara. Ia pun menjadi ikon antiperang. Dan, tak terelakkan, ia masuk ke ranah isu politik yang paling panas ketika itu. Tapi, justru dengan begitu ia menjadi tokoh politik yang populis, menjadi bagian dari inspirator gerakan sipil yang berkembang di AS pada dekade 1960-an.

Isi buku ini memang terbatas pada deskripsi masa kejayaan Ali-tidak merekam senjakala kariernya di dunia tinju dan riwayatnya setelah menderita Parkinson. Namun justru di situlah menariknya, Ali bukan sekadar legenda. Ia adalah manusia penuh imajinasi, sebagaimana pernah dikatakannya, "The man who has no imagination has no wings." Ali ialah manusia yang bersayap. Ia mampu menyihir banyak orang dengan sayapnya itu.

Dalam bertinju, Ali selalu melompat-lompat ke sana-kemari, memancing emosi lawan, menghindari pukulan, memukul seperlunya, sebelum lawan ia jatuhkan. Ali memakai imajinasi float like a butterfly, sting like a bee-mengambang bagai kupu-kupu, menyengat bagai lebah. Dan, siapa yang tak menyukai laga tinju Ali?

Generasi zaman kita banyak yang tak menyaksikan secara langsung masa kejayaan Ali. Masa edarnya memang berakhir pada awal dekade 1980-an. Ia telah berkarier di dunia tonjok-menonjok ini sejak 1950-an, ketika masih bocah. Maka, dekade 1960-an dan terutama 1970-an menjadi periode penting bagi masyarakat dunia untuk berkesempatan menonton Ali.

Di Indonesia, popularitas Ali tiada terkira pada masanya. Pada 1977, kelompok musik Bimbo dari Bandung menciptakan lagu berjudul Tangan, dengan kutipan syairnya: Muhammad Ali bertinju, selalu pakai sarung tangan.

Untuk melacak masa-masa jaya sang legenda, generasi masa kini bisa memakai Internet. Tapi tentu mereka tidak mampu sepenuhnya meresapi nostalgia masa lalu, ketika jumlah televisi masih terbatas dan berwarna sekadar hitam-putih. Masa jaya Ali ialah era ketika modernisasi berderap di mana-mana, menyeruak ke dunia ketiga. Publik Indonesia menyimak legenda Ali melalui benda ajaib penanda modernisasi itu: televisi yang ditonton secara kolektif.

Tentu, zaman sudah berubah jauh sekarang. Kishore Mahbubani, akademikus dan penulis dari Singapura, mencatat bahwa bahkan bangsa-bangsa Asia yang dulu terbelakang pun kini sudah melampaui era berderap menuju modernisasi. Maka, ketika Ali wafat, banyak yang mengetahui informasi tersebut dari telepon pintar masing-masing.

Saya sering membuat perumpamaan tinju Ali sebagai sesuatu yang harus diperhatikan oleh para politikus dalam berpolitik. Pakailah imajinasi, seni, keindahan, bukan asal-asalan. Pada hakikatnya, politik adalah pertandingan, kontes, seperti tinju. Ali punya kepekaan terhadap publik penontonnya. Itu sebabnya, ia berikhtiar bertinju seetis dan seestetis mungkin. Ia memang provokatif dan berjulukan "Si Mulut Besar". Tapi, itu bisa dianggap sekadar retorika kreatif. Sebab, dalam bertinju, ia cukup berempati kepada lawan.

Maka, persoalannya ialah bagaimana seni bertinju Ali menjadi inspirasi, sehingga ranah politik kita menjadi lebih indah dan "bermartabat". Tidak grusa-grusu, menyeruak ke sana-kemari dalam mencari dan mempertahankan kekuasaan tanpa empati sama sekali. Empati dalam politik tak hanya tecermin dari gaya tinju Ali di atas panggung, tapi juga dari beragam kisah hidupnya sebagai anak manusia di luar panggung.

Bak filsuf, Ali juga banyak menghasilkan kata-kata mutiara. Kita bisa menemukan kutipan-kutipan Ali yang berhikmah, dari soal mental juara, persahabatan, hingga hal-hal yang terkait dengan keindahan. "Champions aren't made in gyms," kata Ali. "Champions are made from something they have deep inside them-a desire, a dream, a vision." Juara tercipta dari tekadmu, mimpimu, visimu-bukan finansialmu. Jelaslah nasihat ini juga berlaku untuk para politikus, juga yang lain.

M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

*) Tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Jumat, 10 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik m alfan alfian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB