x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terbang, Terbanglah, Ali!

Banyak orang punya kenangan tentang Muhammad Ali meskipun mungkin tidak pernah bertemu muka dengan sosok inspiratif ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Banyak orang punya kenangan tentang Muhammad Ali, meskipun mungkin tidak pernah bertemu muka. Siapapun yang pernah menyaksikan Ali bertarung di ring tinju akan punya kenangan tentang petinju yang menjadikan olahraga ini bukan sekedar adu kekuatan fisik, tapi juga kecerdikan, perang urat saraf, bahkan juga bertinju sebagai seni pertunjukan.

Saya termasuk di antara mereka, meskipun hanya kenangan kecil dan sederhana, sebagai kanak-kanak yang menyenangi apa yang dibicarakan banyak orang dengan penuh kekaguman dan kesenangan. Kenangan ini terkait dengan sejumlah peristiwa di tahun 1974—di luar kerusuhan Malari yang menggegerkan Indonesia, yang ketika itu belum saya pahami apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 1974 adalah momen mengesankan karena pada tahun itu saya berkesempatan menonton perhelatan Piala Dunia yang digelar di Jerman Barat dengan bintang-bintang di laga final seperti Franz Beckenbauer dan Johan Cruyff. Tentu saja, saya menonton di televisi milik tetangga. Meskipun Belanda menampilkan total football yang amat memukau, tapi di final Beckenbauer berhasil memimpin tim Jerman Barat menaklukkan tim Oranye berkapten Cruyff dengan skor 2-1.

Pada tahun itu pula, saya juga berkesempatan menonton pertandingan tinju kelas berat dunia yang paling ditunggu-tunggu pada masanya, antara Muhammad Ali dan juara dunia Geoge Foreman. Pertandingan yang berlangsung di Kinshasa, ibukota Zaire (kini Republik Kongo), itu juga saya tonton di televisi tetangga—kabarnya banyak orang bolos kerja untuk menyaksikan pertarungan dua raksasa itu, begitu pula di pertarungan Ali lainnya. Pertarungan yang dipromotori Don King itu dimenangi oleh Ali—yang berhak menghadapi Foreman setelah Ali mengalahkan Joe Frazier di Madison Square Garden, New York, juga pada 1974. Di Kinshasa, Ali memukul roboh Foreman dan merebut kembali gelar juara dunia.

Keberhasilan Ali ini mengilhami musisi Johnny Wakelin untuk menciptakan lagu berjudul Black Superman, yang iramanya masih melekat di benak saya. Lagu yang memuji gaya bertinju Ali segera populer hingga menembus tangga Top 10 di Inggris, antara lain. Penggalan liriknya: He floats like a butterfly and stings like a bee/ Mohammed, the black superman/ Who calls to the other guy I’m Ali catch me if you can. Di atas ring tinju, Ali akan bergerak terus mengelilingi lawannya, memanfaatkan kelenturan tali ring untuk melontarkan tubuhnya yang besar lalu melempar tinjunya ke tubuh lawan. Ya, ia memang mengapung bak kupu-kupu dan menyengat bagaikan lebah.

Namun Ali lebih dari sekedar petinju. Meskipun bermulut besar, Ali dikagumi banyak orang. Ia bermulut besar hanya di ring tinju untuk mengintimidasi lawan-lawan bermainnya, melancarkan perang urat saraf untuk menguji ketegaran lawan menjelang pertandingan.

Di usia mudanya ia sudah menunjukkan keberpihakannya kepada kemanusiaan. Ia menolak wajib militer untuk dikirim ke medan Perang Vietnam, dan karena itu gelar juara tinju dunianya dicopot—tapi ini tak mampu membuatnya patah arang. Sekalipun begitu, Ali tetap berkukuh pada prinsip yang ia anggap benar. Benar apa yang dikatakan Lonnie, istri Ali, bahwa “Muhammad ingin kamu muda dari latar belakang apapun untuk melihat hidupnya sebagai bukti bahwa kesulitan bisa membuat Anda lebih kuat.” Lonnie juga benar ketika mengatakan, “Jauh lebih sulit untuk mengorbankan jati diri seseorang demi perdamaian daripada mengangkat senjata.”

Ali kerap sesumbar sebagai The Greatest, tapi itu lebih karena kebutuhan perang urat saraf di dunia tinju yang keras. Parkinson membuktikan bahwa dirinya bukanlah The Greatest yang sebenarnya, dan ia agaknya menyadari benar hal itu. Ia pun belajar untuk tidak mengeluh menghadapi kesehatannya, sebab seperti dituturkan anak bungsunya, Asaad, “Anda tidak akan bisa menebak kapan hari buruk bersama Parkinson dan kapan hari baik.” Dalam kata-kata Bill Clinton, mantan Presiden AS, Ali adalah sosok yang tidak terbelenggu oleh penyakitnya. Ali tentara universal bagi kemanusiaan, pria bebas yang penuh keyakinan. (foto: Ali bersama The Beatles, tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler