x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca e-Book Berbeda dari Buku Cetak

Perbedaan medium melahirkan pengalaman membaca yang berbeda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ketika berselancar dengan mesin pencari Google, saya menemukan Selected Poems of Robert Frost. Kumpulan puisi penyair Amerika ini terbit pada 1923 atau hampir satu abad yang silam. Saya pernah membaca karya yang sama, tapi dalam wujud buku cetak berukuran saku dan merupakan edisi cetak ulang. Tidak begitu tebal dan mudah dibawa kemana-mana.

Meskipun sama-sama karya Frost—penyair yang diundang untuk membacakan puisinya dalam acara pelantikan Presiden AS John F. Kennedy, 1961, namun saya merasakan pengalaman membaca yang berbeda. Perbedaan ini, saya rasa, lebih terkait perbedaan dua medium: buku elektronik (e-book) dan buku cetak.

Ketika membaca e-book Frost, mata saya menatap layar laptop dan jemari saya sesekali menekan papan ketik untuk beralih halaman atau berpindah dari atas ke bawah pada halaman yang sama. Ini berbeda dengan ketika saya membaca buku cetaknya: saya merasakan tengah memegang buku, membuka halaman, menyentuh kertasnya, dan bahkan mencium aroma kertas yang dimakan usia. Ada sejenis sensasi inderawi yang tidak saya peroleh ketika membaca e-book Frost.

Bukan berarti e-book itu jelek, tapi barangkali bagi pembaca yang hanya berkepentingan dengan isi buku, ia tidak berharap pengalaman membaca yang lebih emosional. Yang saya maksud ialah sensasi ketika memegang buku, mengamati desain sampulnya, merasakan tekstur kertas, juga mencium aromanya. Membaca buku edisi hardcover berbeda dengan softcover atau paperback.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam banyak hal, pengalaman membaca dapat bertautan dengan asal-usul buku yang sedang kita baca. Ada masa ketika untuk menemukan sebuah buku kita harus berikhtiar datang ke toko buku loak, mendatangi lapak demi lapak untuk menemukan buku yang mungkin sudah tidak dicetak ulang. Internet meringkus pengalaman ini dengan menyediakan kemudahan: ketikkan kata kunci dan selebihnya biarkan mesin bekerja hingga menemukan sejumlah tempat yang berpotensi memiliki koleksi buku itu.

Memang ada kemudahan semacam itu, yang menghemat waktu, tapi sekaligus juga menghilangkan pengalaman personal yang diperoleh saat mencari buku cetak. Seringkali, buku cetak juga menyimpan semacam ingatan masa lampau atau nostalgia. Buku cetak Selected Poems of Robert Frost ukuran saku yang saya punya saya beli di trotoar daerah Tunjungan ketika bersekolah di Surabaya. Ketika membaca kembali karya Frost ini, ingatan saya berjalan ke masa lampau.

Buku itu masih ada sebagai bagian koleksi saya. Kemudahan menemukan e-book Frost sepertinya (saya belum yakin sepenunya) meniadakan ingatan sentimentil semacam itu. Semakin banyak buku cetak yang kita koleksi, semakin butu ruang untuk menyimpannya—ini yang diatasi oleh teknologi digital dengan meringkusnya dalam flash disk atau hard disk, ataumemori smartphone. Karena itu, saya merasa, menyimpan e-book dalam laptop itu tak ubahnya menyimpan data; ketika kita membeli e-book, kita membayar untuk dapat mengakses data. Ketika kita membeli buku cetak, kita benar-benar mengantonginya dalam tas, membawanya pulang ke rumah,  menaruhnya di rak buku, dan mengambilnya saat kita hendak membaca.

Dengan hanya berbekal laptop, saya tidak dapat membuat coretan-coretan pada margin buku elektronik. Lagi-lagi, ini berbeda dengan saat membaca buku cetak—saya dapat menorehkan kometar di marjin buku, mencoret kata dan istilah yang belum saya pahami, atau membuat pengingat untuk mencari rujukan lain. Di sampul dalam, saya bisa menulis kapan buku itu saya beli dan di mana.

Perbedaan medium kelihatannya memang melahirkan perbedaan pengalaman, itulah yang saya rasakan di antara membaca e-book dan buku cetak. Isi karya Robert Frost tadi sama, tapi memberi pengalaman yang berbeda. Medium memengaruhi cara kita membaca dan melahirkan perbedaan pada pengalaman yang kita dapatkan. Barangkali ini menyerupai antara kita menonton film Les Miserables dan menyaksikan dramanya di panggung teater. (sumber foto: theguardian.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB