x

Mahasiswa UNS membawa poster tuntutan saat mengepung Rektorat dalam aksi menolak Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), di Semarang, 26 Mei 2016. Mahasiswa menuntut penghapusan sumbangan SPI dan Biaya Peningkatan Mutu dan prestasi Kemahasiswaan teru

Iklan

Darmaningtyas

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apa Guna Mengimpor Rektor?

Perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, mengalami permasalahan birokrasi dan politik yang akut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rendahnya kualitas pendidikan tinggi kita, terutama pendidikan tinggi negeri (PTN), membuat Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir gusar, sehingga entah bercanda atau serius menyatakan agar rektor dipegang oleh orang asing. Ia mencontohkan Arab Saudi, Cina, dan Singapura yang memakai orang asing untuk menjadi rektor. King Saud University, yang dulu tidak diperhitungkan, sekarang masuk peringkat 200 dunia. Tapi gagasan yang dia lontarkan saat mengunjungi Universitas Negeri Surabaya pada awal Juni lalu itu langsung menuai kontroversi.

Gagasan Nasir itu, jika diterapkan di Indonesia, belum tentu memberikan hasil yang sama karena tantangannya amat berbeda. Perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta, mengalami permasalahan birokrasi dan politik yang akut. Birokrasi itu diciptakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemenristek Dikti) ataupun Kementerian Keuangan,yang harus ditaati oleh perguruan tinggi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang semula diharapkan menjadi solusi untuk menjadikan perguruan tinggi kita berdaya ternyata hanya pepesan kosong. Birokrasi pendidikan masih bercokol dengan adanya suara menteri (35 persen) dalam pemilihan rektor di PTN. Calon rektor yang hebat seperti apa pun, kalau tidak mendapat dukungan menteri, tidak akan terpilih. Karena itu, kesibukan pada saat akan pemilihan rektor di PTN adalah lobi terhadap orang-orang dekat menteri untuk mendapatkan dukungan, bukan menyiapkan program yang dapat meyakinkan senat guru besar atau sivitas akademika umumnya untuk memilih dirinya sebagai rektor. Akhirnya, yang terpilih menjadi rektor di PTN belum tentu yang terbaik, melainkan orang yang memiliki jaringan dengan menteri.

Adapun birokrasi keuangan itu terlihat dari seragamnya aturan keuangan negara untuk semua instansi pemerintah dan jenis layanan yang tidak memberikan fleksibilitas bagi layanan publik, sehingga merepotkan PTN kita. Contohnya,  mekanisme keuangan yang tidak akomodatif terhadap anggaran praktikum atau penelitian. Alat-alat atau perlengkapan praktikum itu harus tersedia begitu semester awal dimulai. Semester genap umumnya dimulai pada Februari, tapi pada bulan tersebut APBN belum tentu cair. Demikian pula dana riset seringkali cair setelah Agustus, sehingga sangat menyulitkan untuk kegiatan riset yang memerlukan waktu panjang (lebih dari enam bulan). Akibatnya, kegiatan riset di PTN mayoritas sekadar memenuhi target penelitian saja dengan mengabaikan hasilnya karena penganggarannya tidak mendukung untuk hasil riset yang bagus.

Secara politis, hal yang membuat PTN kita sulit maju adalah pola rekrutmen calon dosen yang lebih didasari sentimen primordial, baik itu agama, organisasi ekstra, suku, maupun kedaerahan. Jika yang menjadi pemimpin universitas/fakultas/jurusan adalah aktivis dari GMNI/HMI/PMII, dosen yang akan banyak direkrut, ya, dari kelompok tersebut, sehingga yang terjadi adalah monokultural, bukan multikultural. Sulit sekali di PTN kita mendapatkan dosen dari etnis Thionghoa. Bukan karena mereka tidak berminat menjadi dosen, tapi tidak ada yang merekomendasikannya. Atau, sulit mendapatkan orang Jawa menjadi pemimpin di Universitas Padjadjaran, yang dari rektor hingga ketua jurusan didominasi orang Sunda.

Persoalan lain adalah dosen PTN kita umumnya lulusan dari PTN yang sama. Jarang sekali terjadi silang lulusan antar-PTN. Mereka yang berasal dari lain PTN menjadi orang pinggiran. Meskipun mereka cerdas, kompeten, dan memiliki integritas; tetap saja dipandang sebagai warga kelas dua (pendatang), sehingga tidak dilibatkan dalam perencanaan universitas dan sulit menduduki jabatan struktural.

Akar masalah PTN kita jelas, yaitu birokratisasi, baik administratif maupun keuangan, serta politis. Solusinya bukan dengan mengimpor rektor dari luar (asing), tapi membenahi regulasinya. Rektor Universitas Harvard sekalipun, jika diangkat menjadi rektor di sini, tidak akan mampu memajukan PTN bila birokrasi kita masih seperti saat ini. Mungkin yang bisa dilakukan oleh rektor impor itu adalah mengubah pola rekrutmen dosen yang bersifat primordial-sektarian menjadi lebih akademis.

Karena itu, yang perlu diubah adalah birokrasi pendidikan dan keuangannya. Menteri perlu memberikan otonomi penuh kepada PTN untuk mengelola kampus yang dipimpinnya. Adapun mekanisme penggunaan anggaran negara untuk PTN perlu dibuat lebih fleksibel agar lebih mengakomodasi kebutuhan layanan publik, termasuk PTN.

Darmaningtyas, Penulis Melawan Liberalisasi Pendidikan

*) Tulisan ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 15 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik Darmaningtyas lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler