x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Donald Trump dan Ingatan akan Hitler

Jika mampu mengalahkan Hillary Clinton, akankah Donald Trump membawa bangsanya semakin jauh ke kanan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sistem demokrasi membuka peluang bagi siapapun untuk dapat maju ke gelanggang kompetisi politik dan meraih kemenangan. Kuncinya terletak pada kepiawaian membujuk pemilih, baik di dalam internal partai maupun rakyat. Walau begitu, pemilu demokratis juga membuka pintu bagi terjadinya perubahan drastis yang berpotensi membahayakan demokrasi.

Bila kita becermin kepada sejarah, kita pernah melihat bagaimana Adolf Hitler merebut kepercayaan rakyat Jerman melalui pemilihan umum yang demokratis setelah ia sempat gagal merebut kekuasaan melalui jalan kudeta. Rakyat menghendaki perubahan dan Hitler sangat pintar mengambil hati rakyat dengan mengecam Perjanjian Versailles dan menjunjung Pan-Jermanisme, antisemitisme, dan antikomunisme.

Dengan memakain kuda tunggangan Partai Nazi, Hitler memenangkan pemilu dan ditetapkan sebagai kanselir pada 1933. Kekuasaannya semakin kukuh sehingga ia mampu mengubah Republik Weimar menjadi Reich Ketiga. Hitler menegakkan kediktatoran satu partai dengan bertumpu kepada ideologi Nazi yang totaliter. Di satu titik sejarah ini, demokrasi menjadi korban dirinya sendiri. Hitler mengandalkan teror, kekerasan, intimidasi, penjara, dan kamar gas.

Di AS, kini, Donald Trump telah mengalahkan para elite Republik di kandangnya sendiri. Ini hanya mungkin terjadi apabila pemegang hak suara dalam partai punya keinginan melihat sosok lain yang bukan elite partai sendiri. Tak peduli, ia sosok kontroversial sekalipun. Bahkan, boleh jadi, Trump adalah potret alternatif yang dicari para pemilih partai selama ini. Bahwa para elite Republik kurang happy dengan kemenangan Trump dalam merebut suara pemilih partai, itu soal lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana nasib Trump selanjutnya, akankah ia berhasil mengalahkan Hillary sebagai calon dari Demokrat? Kemungkinan ini ada bila melihat kecenderungan para pemilih yang cenderung berayun dari Republik ke Demokrat, dan sebaliknya. Setelah George Bush, Sr. terpilih sebagai presiden dari Partai Republik, ia digantikan oleh Bill Clinton dari Demokrat. Berkuasa selama dua periode, kursi kepresidenan beralih ke Republik yang menampilkan George Bush, Jr. Begitu Bush, Jr. usai berkuasa selama dua periode, Barack Obama dari Demokrat terpilih menggantikannya.

Bila mengikuti ayunan bandul ini, Trump berpeluang kuat untuk terpilih karena rakyat Amerika ingin berganti suasana—dan bila ini terjadi, Hillary Clinton gagal mencetak sejarah untuk menjadi presiden perempuan pertama sejak negara AS berdiri. Trump membujuk rakyat Amerika melalui slogannya yang menyentuh harga diri dan romantisme sebagai negara besar: “(Let’s) Make America Great Again”. Frasa ini pernah muncul dalam kampanye Ronald Reagan pada 1980.

Ke arah mana AS akan dibawa ole Trump semakin terlihat lewat motto kampanye yang mulai ia gunakan saat menanggapi kritik Presiden Barack Obama terhadap retorika Trump. “Jika aku presiden, Amerika selalu yang pertama,” jawab Trump. Maka, jadilah motto yang menegaskan tekad Trump: America First!—seperti ia populerkan lewat cuitan twitternya, 14 Juni lalu.

Menarik bahwa Eric Rauchway, guru besar sejarah University of California at Davis, menulis di Washington Post, 14 Juni: ‘America First’ adalah motto yang disuarakan oleh orang-orang Amerika yang Nazi-friendly pada tahun 1930an. Trump, kata Rauchway, lebih dari sekedar memiliki motto yang sama dengan mereka. Trump mendefinisikan ‘Amerika’ dengan mengecualikan orang-orang keturunan asing yang lahir di bumi AS—yang bagi Trump masih orang asing. Juga dengan mengecualikan penduduk Muslim (apa bedanya kebijakan ini dengan hukum Nazi dalam memperlakukan Yahudi?)

Trump pernah berkata akan menggugat Amendemen Pertama yang melindungi kebebasan pers. Ia juga menyebut Islam bukan teman Amerika. “Islam membenci kita,” ujar Trump. Ia juga bertekad mendorong perubahan undang-undang demi melegalkan teknik penyiksaan terhadap tersangka teroris dan penyerangan terhadap keluarga teroris.

Trump membuat stereotyping dengan menyebutkan bahwa imigran asal Mexico telah membawa masuk obat-obatan dan kejahatan. Trump pernah mengatakan akan mengasingkan Cina dari perdagangan dengan Amerika dan menolak sistem perdagangan bebas, termasuk NAFTA. Trump ingin membangun tembok metaforis dengan kaum imigran, yang bahkan sudah menetap di AS berpuluh tahun, dan bahkan membangun tembok riil berbatasan dengan Mexico.

Apabila pandangan Trump mencerminkan sikap mayoritas rakyat AS terhadap berbagai isu global, maka Amerika akan berayun jauh ke kanan melampaui masa George Bush, Jr. Akankah tragedi demokrasi pada masa Hitler berulang kembali, kali ini di negara yang mengagungkan diri sebagai negara demokrasi terbesar? (sumber foto: people.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler