x

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila (kedua kanan), Komisioner Subkom Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Siane Indriani (kiri) dan Sekjen Komnas HAM Masduki Ahmad (kanan) memberi keterangan seusai pertemuan te

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ada Apa dengan Komnas HAM

UU No. 39 Tahun 1999 dianggap tidak cukup menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Komnas HAM.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia telah 23 tahun berdiri. Namun, sebagai lembaga yang bertugas untuk menegakkan hak-hak asasi manusia, kedudukan dan kewenangannya sangatlah terbatas. Itu sebabnya sejumlah pihak kini mendesak agar rancangan undang-undang tentang hak asasi manusia yang baru, yang telah dirancang dan diusulkan sejak 2007, segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Saat ini, parlemen telah memasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Program Legislasi Nasional 2015–2019. UU No. 39 Tahun 1999 itu adalah dasar dari pengaturan Komnas HAM, tapi dianggap tidak cukup menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penyatuan pengaturan mengenai Komnas HAM dengan norma-norma hak asasi manusia ke dalam satu peraturan perundangan mengakibatkan peran penting Komnas HAM, sebagai lembaga pemajuan dan perlindungan HAM yang dibentuk oleh negara, tidak cukup mendapat tempat. Hal ini berbeda dengan komisi-komisi sejenis yang keberadaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.

Sejalan dengan para pemikir dan aktivis HAM yang telah menyampaikan usul rancangan perubahan undang-undang itu ke DPR, undang-undang yang ada sekarang masih memiliki beberapa kelemahan.

Pertama, jumlah anggota (komisioner) yang ditetapkan undang-undang dirasa terlalu banyak (35 orang), sehingga bisa terjadi ketidakefisienan dan ketidakefektifan kerja Komisi. Bahkan, sejak undang-undang itu diberlakukan, ketentuan tentang jumlah anggota komisi itu tidak pernah terpenuhi. DPR periode 1999–2004, yang memilih anggota-anggota Komnas HAM periode 2002–2007, hanya memilih 23 anggota. DPR periode 2004–2009 hanya memilih 11 anggota untuk masa keanggotaan 2007–2012. Jadi, jumlah anggota ini nantinya bisa dipangkas agar Komisi bisa lebih efektif dalam bekerja.

Lalu, dari seluruh kewenangan yang diberikan kepada Komisi, ternyata lembaga ini tidak mempunyai legal standing untuk meminta pengujian materi suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau yang melanggar hak asasi. Dengan demikian, Komisi tidak dapat mengajukan gugatan kepada pihak yang melakukan pelanggaran hak asasi atau tidak memenuhi rekomendasi Komisi. Padahal, banyak peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar hak asasi.

Kewenangan Komisi dalam memanggil dan meminta keterangan atau kesaksian seseorang tidak dilengkapi dengan pemberian sanksi bagi pihak yang tidak memenuhinya. Untuk itu, mereka yang tak berminat untuk mendukung penegakan hak asasi bisa saja tidak memenuhi pemanggilan Komisi.

Demikian pula kewenangan Komisi dalam memberikan rekomendasi kepada pihak yang berwenang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka perlindungan, penegakan, atau pemenuhan hak asasi tidak dilengkapi dengan kewajiban pihak penerima rekomendasi. Pun tak ada langkah yang dapat dilakukan Komisi jika pihak penerima rekomendasi tidak memenuhi kewajibannya. Kewenangan pemanggilan paksa juga tidak mengatur pemaksaan secara fisik untuk hadir memenuhi panggilan Komisi.

Keberadaan kantor perwakilan Komisi ternyata tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, sehingga pelaksanaan fungsi, tugas, dan kewenangan hanya dapat dilakukan oleh Komisi di Jakarta. Hal ini mengakibatkan penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan di daerah tidak dapat berjalan secara efektif. Ketidakjelasan status dan ketidakpastian karier staf Komisi yang melaksanakan kegiatan operasional bisa mengurangi semangat bekerja para anggota staf. Padahal, pada merekalah bergantung pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari.

Karena itu, perlu kiranya segera dibahas rancangan undang-undang tersendiri yang dapat memperbaiki kesalahan dan mengisi kekurangan yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun 1999. Dengan undang-undang yang baru, Komnas HAM diharapakan dapat menjadi lembaga negara yang benar-benar independen, kredibel, beranggotakan orang-orang berintegritas dan kompeten, serta mempunyai staf fungsional yang berdedikasi tinggi dan andal.

Posisi dan status Komisi ini sangat penting diperkuat karena pelanggaran hak asasi dengan segala variasinya masih saja terus terjadi. Data menunjukkan, pada 2010 ada 6.438 pengaduan; pada 2011 ada 6.358 pengaduan; pada 2012 terdapat 6.284 pengaduan; 2013 sedikit menurun menjadi 5.919 pengaduan. Tapi, pada 2014 meningkat tajam menjadi 7.285 pengaduan dan pada 2015 melambung lagi menjadi 8.249 pengaduan.

Ada berbagai macam pelanggaran hak asasi yang diadukan. Namun, yang cukup besar angkanya adalah dugaan pelanggaran hak asasi atas kesejahteraan dan hak untuk memperoleh keadilan. Intinya, kondisi penghormatan terhadap hak asasi manusia masih memprihatinkan.

Kemala Atmojo, auditor hukum

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Kamis, 16 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu