x

ArtJog 2016 di Jogja National Museum, Yogyakarta 27 Mei-27 Juni 2016.

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Polemik ArtJog dan Dana Freeport

Munculnya perdebatan di media sosial apakah etis pergelaran budaya menerima dana dari perusahaan bermasalah semacam Freeport?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alia Swastika

Kurator seni rupa

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

ArtJog, pergelaran seni terbesar di Indonesia, yang kini berlangsung di Yogyakarta pada 27 Mei-27 Juni pada tahun ini menuai banyak kritik dan semprotan publik karena menerima sponsor dari perusahaan yang dikenal telah mengeksploitasi alam habis-habisan di Papua dan moda operasinya telah menimbulkan banyak konflik sosial serta kekerasan di wilayah tersebut. Yang paling menarik dari fenomena ini adalah munculnya perdebatan yang cukup kencang dan tegang di media sosial, baik di kalangan pekerja dan pegiat seni maupun aktivis sosial dan kebudayaan soal apakah etis bagi pergelaran budaya untuk menerima dana dari perusahaan bermasalah semacam Freeport.

 

Ada beberapa poin penting yang perlu dipetakan dari perdebatan ini. Pertama, pertanyaan soal etika bagaimana organisasi budaya menerima dana publik dari lembaga yang problematis. Apakah dengan meminta atau menerima dana dari lembaga tersebut lantas idealisme pelaku kebudayaan menjadi tergadaikan? Apakah penerimaan terhadap dukungan dana mencerminkan sikap politik pelaku budaya tersebut?

BACA: ArtJog Diprotes

Wilayah seni dan budaya, sebagaimana wilayah ilmu dan intelektualisme, selama ini selalu dibayangkan sebagai dunia yang penuh idealisme karena wataknya yang setia kepada keinginan menggali kebenaran dan menjadi bagian dari perubahan sosial. Tentu saja, dalam dua dunia tersebut, terjadi pula perubahan yang memberikan kemungkinan bahwa budaya dan keilmuan menjadi bagian dari industri. Perubahan sistem ekonomi dan politik global telah menunjukkan bagaimana universitas tidak saja dilihat sebagai institusi keilmuan, tapi juga merupakan sebuah lembaga ekonomi. Demikian pula dengan lembaga-lembaga kebudayaan, yang membangun dalam dirinya sebuah sistem ekonomi yang terhubung dengan pasar dan industri besar.

 

Meski pada kenyataannya sistem ekonomi ini terus memaksa lembaga budaya dan universitas untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan situasi yang dianggap lebih "masuk akal", sebagian dari pekerja atau aktivis seni-budaya itu sendiri masih berharap dunia budaya dan ilmu masih bisa menjadi sebuah wilayah yang "bersih" yang mencerminkan "dunia ideal". Keinginan mempunyai sebuah ruang yang bersih tampaknya memang sebuah utopia. Sebab, seperti yang banyak disebutkan dalam perdebatan-perdebatan yang sedang terjadi, “tidak ada yang benar-benar bersih”. Bahkan, negara pun tidak lepas dari tindak-tindak kekerasan dan ketidakadilan.

 

Tetapi, dalam hal ini, saya kira, mempunyai mimpi atau utopia atas dunia yang ideal masih sangat penting, sehingga kita tidak asal maklum dan bisa menoleransi hal-hal buruk dengan alasan tidak ada lagi yang bersih di dunia ini. Keinginan menjaga idealisme, menjaga etika kerja, bagi saya merupakan sebuah cara untuk menjaga agar praktek seni-budaya tetap punya manfaat bagi bertahannya nilai-nilai kemanusiaan yang berpihak pada perdamaian, keadilan, dan toleransi. Idealnya, dengan keinginan menjaga nilai-nilai ini, sebuah organisasi seni perlu menetapkan batasan sumber-sumber dana mana saja yang bisa diakses, dan ini akan sangat mempengaruhi sikap politiknya.

 BACA: Freeport Sposori ArtJog?

Kedua, perdebatan menuju sumber pendanaan kegiatan kesenian. Heri Pemad, penyelenggara ArtJog, menyatakan keputusan menerima dana Freeport dipengaruhi oleh kenyataan betapa sulitnya memperoleh dukungan dana untuk menyelenggarakan peristiwa seni. Selama beberapa tahun, pihaknya terpaksa nombok untuk bisa menyelenggarakan ArtJog dengan kualitas baik dan pemerintah tidak punya inisiatif untuk berkontribusi. Padahal, ArtJog telah menjadi bagian dari identitas kegiatan seni di Yogyakarta dan telah menerima tamu-tamu dari berbagai penjuru dunia, sehingga ia menyumbang bagi perekonomian kota.

 

Apakah tidak adanya dukungan negara—di luar sulitnya mencari bantuan dari korporasi—bisa menjadi alasan penyelenggara untuk menerima dana dari sebuah lembaga yang dianggap "kotor"? Dan, tidak perlu dibahas berapa jumlah dana yang diberikan oleh lembaga tersebut karena bisa jadi tidak relevan. Dalam kasus di Yogyakarta, telah puluhan tahun kegiatan seni berlangsung dengan gegap-gempita dalam situasi minim fasilitas dan dukungan. Apakah ArtJog sedemikian putus asa atau sedemikian perlu untuk membangun sesuatu yang "glamor" di tengah keterbatasan tersebut dan mengabaikan keberpihakan seni terhadap persoalan kemanusiaan? Saya kira, tanpa dukungan negara selama ini, seni tetap tumbuh dan berkembang justru karena para seniman selalu percaya mereka tidak digerakkan oleh uang.

 

Dalam kasus ArtJog sendiri, memang pergelaran ini merupakan sebuah peristiwa seni yang lebih menitikberatkan pada “yang komersial”, sehingga landasan dan logika pasar menjadi salah satu visi penyelenggara. Dan, sebagaimana yang sudah banyak disebut, adalah hak mereka untuk mendapatkan dana dari mana pun.

 

Yang tampaknya diabaikan dari perdebatan-perdebatan tersebut adalah soal bagaimana jejaring kerja kesenian atau jaringan kebudayan pada umumnya mempunyai logika atau cara main yang lebih kompleks daripada hal-hal pragmatis atau yang berorientasi pasar. Kita bersusah-payah sedemikian rupa, bekerja membabi buta, meski dalam keterbatasan dukungan dan infrastruktur, justru dalam rangka menjaga agar mimpi dan utopia atas dunia yang lebih baik tetap ada. Dan, senyatanya, bukankah itu juga merupakan salah satu fungsi seni? Menebalkan keyakinan bahwa sebaiknya kita tidak menerima dana dari lembaga bermasalah adalah sebuah cara kita bersikap dan menyampaikan pendapat dengan tegas, yang rasanya sangat penting dalam situasi segenting sekarang, di mana semua bisa dijelaskan dengan logika pragmatis.

* Tulisan ini sudah dimuat di Koran Tempo edisi 17 Juni 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB