x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Abad XXV (9)

Di Indonesia Abad XXV rakyat percaya total kepada para pejabat pegawai negeri abdi rakyat. Sebab dipercaya, para pejabat berlomba bertanggungjawab.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: youtube.com)

SEMBILAN

Sekarang di layar televisi ada tepuk tangan bergemuruh. Menyambut selesainya upacara resmi pelantikan Holi sebagai Menteri UBULN. Ia mengucapkan sumpah jabatan. Menempatkan pengabdian pada rakyat di atas pengabdian pada keluarga.  Kotir dan Ikem menyaksikan ikrar sang paman dengan khikmad.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tentu saja sambil berpelukan. Yah, mereka lagi bulan madu sih.

 

Holi menyelenggarakan jumpa pers. Untuk pers asing. Untuk pers dalam negeri tidak perlu. Semua wartawan dalam negeri sudah tahu menahu duduknya perkara. Maka, pertanyaan-pertanyaan para wartawan asing itu, di telinga Kotir terdengar lugu, naif, dan amat sederhana.

 

Sebagian bahkan kekanak-kanakan.

 

Betapa awam mereka dalam bidang keindonesiaan! Lebih-lebih ihwal perkara  mekanisme untuk sampai ke jenjang Menteri. Padahal, bagi Kotir, itu jelas terang benderang. Menteri UBULN, untuk sang paman, adalah jabatan yang  pas. Sejak muda paman Holi bekerja pada Dinas Bantuan Luar Negeri. Semua soal bantuan luar negeri, paman Holi hafal luar kepala, berdasar isi kepala yang profesional.

 

Tapi aneh. Seorang wartawan luar negeri, karena kurang faham, coba-coba ungkit hal itu. Dia bertanya. “Bapak Menteri, bukankah Anda seorang pegawai negeri?”

 

“Betul,” sahut Holi, tersenyum simpatik. “Ada apa?”

 

“Kok bisa menjadi Menteri?”

 

“Justru harus.”

 

“Justru harus?” wartawan itu mengeryitkan dahi. “Setiap Menteri harus diangkat dari pegawai negeri? Atau, setiap Menteri adalah pegawai negeri?”

 

“Dua-duanya. Setiap Menteri adalah pegawai negeri, karena harus berasal dari pegawai negeri, baik sipil mau pun militer.”

 

“Tidak bisa ditawar?”

 

“Kadang-kadang bisa. Tapi amat sukar.”

 

“Jadi pegawai negeri, baik sipil mau pun militer, adalah satu-satunya sumber untuk jabatan Menteri?”

 

“Betul.”

 

“Kok begitu?”

 

“Maksud Anda, minta pertanggungjawaban?”

 

“Kalau Bapak Menteri sudi mempertanggungjawabkan …”

 

“Dengan senang hati!” tukas Holi tersenyum, “Mengapa jalur ke jenjang Menteri hanya dari pegawai negeri. Sebab kami membutuhkan Menteri profesional, fungsional, dan benar-benar menguasai bidangnya. Ini hanya mungkin kami dapatkan dari mereka yang sejak awal, atau selama hidupnya, selalu bergelut dengan persoalan-persoalan bangsa dan negara.  Peluang menjadi Menteri karbitan tidak ada. Menteri katrolan, tidak mungkin. Sebab  tidak ada Menteri yang dicabut dari sembarang sumber. Atau asal comot.”

 

“Asal comot? Maksud Bapak Menteri?”

 

“Asal comot itu misalnya dari tokoh-tokoh partai, organisasi, kelompok atau wakil perkumpulan-perkumpulan tertentu. Ini bukan berarti negeri kami melarang partai atau organisasi-organisasi. Kami dorong mereka hidup dan berkembang.”

 

“Lalu apa fungsi partai dan organisasi di negara Anda?”

 

“Sebagai alat pergaulan, sarana iseng-iseng, dan perkakas hiburan. Mereka harus berkembang. Filsafat akal sehat nenek moyang kami mengajarkan, pergaulan, iseng-iseng, dan hiburan adalah bagian pelengkap kehidupan yang tidak bisa disepelekan. Padahal secara obyektif  tiga hal  itu memang sepele. Namanya juga pelengkap. Tapi soal Menteri, nah, ini lain. Menteri adalah jabatan serius, bukan jabatan pelengkap. Menjadi Menteri, harus merangkak dari bawah, sehingga benar-benar matang menguasai bidangnya. Kalau Anda tentara misalnya, wajar jika suatu ketika menjadi Menteri Pertahanan, sejauh mengubah watak asal taat komando menjadi watak menempatkan nalar sehat di tempat tertinggi. Juga, jangan harap menjadi Menteri Pertanian. Ini jatah mereka yang bekerja di Dinas Pertanian atau para ahli pertanian. Atau menjadi Menteri UBULN, ini bidang saya. Ingat! Semua Menteri di Indonesia adalah Menteri-menteri karier atau profesional.”

 

“Tetapi, bukankah negara Anda terkenal paling demokratis?”

 

“Lho! Apa salahnya? Apakah bertentangan antara profesionalitas dengan demokrasi?”

 

“Saya kurang tahu, Bapak Menteri.”

 

“Kini saya beri tahu. Keduanya, meski dua hal beda, tidak saling lawan.”

 

“Lalu bagaimana bisa dipahami perbedaan jabatan karier dari jabatan politis?”

 

“Mengapa perlu dipahami?”  Holi tersenyum. “Tidak mungkin dipahami. Sebab tidak ada perbedaannya. Di Indonesia, semua jabatan di pemerintahan bersifat karier dan politis sekaligus. Kedua sifat itu menyatu lengket tak bisa dipisah. Ibarat sambal dengan pedas. Apakah ada sambal yang tidak pedas? Jika ada, itu bukan sambal, tetapi sambal-sambalan. Begitu pula halnya Menteri yang tidak punya dua sifat itu. Dia menteri-menterian, Menteri gadungan. Ini umpama. Nyatanya, di Indonesia tak pernah ada Menteri gadungan.”

 

Begitu dengar soal sambal terasi, wartawan asing itu terpana. Ia tiba-tiba penuh semangat. Seperti tersihir. Sambal, apalagi sambal terasi, mendarah daging baginya. Perumpamaan dengan sambal terasi itu semakin memperjelas masalah. Warga sebangsa di negerinya rata-rata sehidup semati dengan sambal terasi. Dalam pesta-pesta golongan kaum terdidik, selalu dihidangkan sambal terasi. Yang belum kenal pedasnya sambal terasi, bagi warga sebangsa wartawan itu datang, seolah belum maju. Bahkan lebih jauh, mereka merasa diri kurang  jika tidak bisa bergaya hidup model Indonesia. Soal nama-nama pun, tidak sedikit meniru nama-nama Indonesia paling top yang hanya terdiri atas dua suku kata.

Wartawan tersebut datang dari salah satu negara di Eropa. Saat itu nyaris semua negara di Eropa kacau balau karena dijajah rezim-rezim teokratis Islam garis keras kaum imigran. Kekacaubalauan niscaya belaka. Salah sendiri. Isme muluk-muluk jenis politik menjadi senjata makan tuan. Tumbuh kembang kaum imigran, 7 sampai 10 lipat penduduk asli, dibiarkan berlalu mirip angin pagi yang sepoi-poi.

 

Jelasnya, wartawan tersebut datang dari negeri Belanda.Terkait Belanda, sejarah versi Indonesia di zaman adil makmur mencatat tiga fakta.

 

Pertama, Belanda pernah menjajah Hindia Belanda alias Nusantara secara utuh  sekitar 50-70 tahun. Itu baru terjadi setelah Belanda berbuat begini begitu lebih tiga abad.  Rentang waktu lebih tiga abad itu membuat sambal terasi menjadi mendarah daging bagi banyak warga bangsa Belanda.

Kedua, salah satu bagian Nusantara,  Aceh, mengakui dijajah Belanda selama 33 tahun saja. Sampai 1912 Aceh merupakan kerajaan yang masih berdaulat.

Ketiga,  sejarah Indonesia abad XX dan abad XXI mencatat Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Ya biarkan saja. Tak ada gunanya dipersoalkan.

 

Meski wartawan dari Belanda itu masih antusias dengan sambal terasi, rupanya ada sesuatu mengganjal di hatinya. Dia bertanya lagi. “Tadi Bapak Menteri berkata, di Indonesia tidak pernah ada menteri gadungan. Apa jaminannya?”

 

Holi tersenyum lebar.

 

“Anda tahu,” sahut Holi, “dengan teknologi supramodern kami, sebagian unsur alam di Indonesia diatur begitu rupa, yang langsung membuka kegadungan seorang Menteri. Unsur-unsur angin tertentu akan bereaksi dengan semua rambut yang dilewatinya, termasuk rambut para menteri, akan langsung berdiri tegak seperti kawat. Padahal Anda tahu, semua pejabat di Indonesia, lelaki dan perempuan, umumnya berambut panjang. Rata-rata pejabat lelaki berambut gondrong. Muka kami mau ditaruh di mana dengan rambut panjang yang tegak seperti kawat.”

 

“Kalau Menteri itu gundul? wartawan Belanda itu belum puas juga.

 

Holi terkekeh-kekeh.

 

“Anda ini bisa aja,”  tanggap Holi dengan kocak, “segundul-gundul atau serontok-rontoknya rambut manusia, toh punya rambut entah sehelai dua. Nah, rambut dua helai itu pun akan tegak seperti kawat. Lebih heboh bukan? Namun syukurlah. Jika Anda mengenal sejarah Indonesia, segera Anda tahu peristiwa rambut kawat itu tidak pernah terjadi. Apakah Anda puas?”

 

“Puas, Bapak menteri. Terimakasih.”

 

Keadaan menjadi hening. Holi menatap sekeliling. Agaknya sudah tidak ada yang mau bertanya. Benar-benar sudah puas mereka. Holi sendiri justru belum puas. Dia begitu bersemangat melanjutkan omongannya. “Dengan mekanisme jalur ke jenjang Menteri seperti yang telah saya sampaikan, mungkin Anda lalu bertanya, di mana letak kedemokratisan negara kami?”

 

Holi bernafas sejenak. “Betul?”

 

“Betuuul!” sahut seluruh gedung.

 

“Kedemokratisan negara kami terletak pada dan lewat perwakilan. Bentuk keterwakilan mewujud dalam diri pegawai negeri, sipil dan militer. Dengan kata lain, rakyat sepenuhnya mempercayakan pada kami untuk berfungsi sebagai wakil-wakil mereka. Kami pilih cara praktis. Tidak macem-macem. Tidak sok.”

 

Seorang wartawan mengangkat tangan.

 

“Ya?” Holi menanggapi. Sedikit mengangkat kepala.

 

“Lalu bagaimana kaitannya dengan Pemilu, Bapak Menteri? Pemilihan Umum. Untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam Parlemen.”

 

Holi mengernyitkan dahi sejenak. Berpikir cermat, tenang, lalu menjawab. “Hmm, mengenai soal itu, Pemilu dengan seluruh ikutannya yang secara obyektif  tidak ada artinya itu, rakyat kami manjakan saja. Mereka tinggal tahu beres, tidak kami ajak repot-repot . Yang repot biar kami saja. Kami tidak tega merepotkan rakyat. Lalu, tak penting bagaimana asal usul dan tradisinya, yang pasti adalah bahwa sejarah Indonesia adil makmur mencatat, rakyat percaya penuh pada kami. Jadi tatacara mendapatkan wakil rakyat itu, dengan pemilihan umum, main tunjuk,  cara lotere, dan cara apapun, kami merdeka. Rakyat membebaskan sepenuhnya kepada kami, para pegawai negeri abdi rakyat.  Sebab diberi kebebasan dan kepercayaan, kami lalu bergairah untuk bertanggung-jawab. Singkat kata, rakyat  tidak peduli perkara bagaimananya. Rakyat  lebih mementingkan hasilnya. Yakni pemimpin yang dihasilkan dengan cara apapun itu, sungguh-sungguh benar, baik, berguna,  dan membahagiakan masyarakat.”

 

Holi mengambil nafas sejenak. Menatap berkeliling. Seorang wartawan berkulit gelap bertanya: “Dalam situasi semacam itu, Sir, bagaimana bisa diharapkan peran serta rakyat yang aktif?”

 

Holi menjawab dengan amat tenang:  “Di setiap Kantor RT di seluruh Indonesia telah kami sediakan kotak-kotak pendapat umum. Ada petugas khusus yang tiap hari mengontrol isinya. Begitu muncul kritik, segera kami bahas dan selesaikan. Kami juga segera memberi hadiah bagi kritik yang membangun. JIka ada kritik ngawur, kami langsung murung, segera kami pelajari sebagai bahan mawas diri. Jika rakyat sampai ngawur, berarti kami, sebab kami pemimpin mereka, pasti juga ngawur. Nah setelah mawas diri, lalu kami memperbaiki diri. Sekian.”

 

Semua wartawan mengangguk-angguk khusuk. Kotir dan Ikem, berpelukan di depan televisi, juga mengangguk-angguk khusuk. Rentang waktu saling peluk  lama-lama mengirim getar-getar molekul-molekul purbakala dalam tubuh sejoli pengantin baru.  Lalu, acara di televisi serasa tidak menarik lagi. Akibatnya, dengan sepak terjang penuh aroma sejuta bintang, mereka lalu melanjutkan acaranya sendiri.  Acara itu, oleh semua pengarang di Indonesia jaman adil makmur, tidak diuraikan. Hanya menjadi macam begini saja jadinya.

 

Acara di televisi serasa tidak menarik lagi? Betul. Dari sudut subyektif pengantin baru. Kenyataan obyektifnya, banyak pejabat  di luar negeri, khususnya para pejabat dari negara-negara peminta dana, begitu seksama menyimak pidato Menteri UBULN Indonesia yang baru. Yang sedang jelaskan  garis-garis kebijakan dan agenda-agendanya.

 

*****

*****

 

 

Tiga kali duapuluh-empat jam telah lewat. Bulan madu lewat. Lalu adalah hari-hari yang sibuk. Halo sudah sibuk kembali dengan tokonya, di samping itu, ia juga sibuk membujuk anaknya yang baru saja jadi pengantin itu. Ternyata, Kotir tidak mempan dibujuk.

 

“Jadi,” Halo kecewa, “kalian  tetap tidak mau bapak belikan rumah?”

 

Kotir menggeleng mantab. “Tidak! Kami berdua mau menjalani hidup berkeluarga seperti umumnya keluarga-keluarga muda lain di Indonesia menjalaninya.”

 

Halo terdiam.

 

“Juga ingat, pak!” lanjut Kotir. “Saya adalah calon pegawai negeri, calon abdi bangsa dan negara. Saya mohon, bapak jangan lagi coba bujuk-bujuk saya  dengan barang-barang yang bukan-bukan semacam itu.”

 

Halo tidak berkutik. Kotir telah berulang kali mengatakan, sebagai calon pegawai negeri, dia punya sikap pikir tertentu. Mau dibelikan rumah, berarti ingkar. Berarti membuat rancu azas-azas kesederhanaan abdi negara. Wajarlah kalau Kotir menolak sang pembuat rancu itu. Apalagi, jenjang kariernya untuk menjadi pegawai negeri, sudah diproses. Semuanya sudah terurus!

 

Ya. Semuanya sudah diurus. Betul-betul diurus dan diproses. Maklumlah. Urusan dan proses seseorang menempuh cita-citanya, apalagi cita-cita menjadi abdi bangsa dan negara, selalu dibantu dan dipermudah semua pihak terkait yang berwenang dengan tanpa pamrih.  Di Indonesia jaman adil makmur sejahtera, sistim koneksi dan uang pelicin hanya bisa dijumpai di Jakarta. Itupun cuma di museum-museum. Itupun cuma tontonan-tontonan tentang keprihatinan di teater belaka.

 

Jadi, segala hal jelek hanya ada di Jakarta.  Memang! Tapi, sekali lagi, itu bukan kenyataan. Hanya tontonan. Tontonan di Jakarta sebagai kota museum.

 

(Bersambung)

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

 

*****

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler