x

Sebuah flare menyala di dalam stadion saat berlangsungnya pertandingan antara Kroasia melawan Ceko dalam penyisihan Grup D Piala Eropa 2016 di stadion Geoffroy Guichard di Saint-Etienne, Perancis, AP phto AP Photo

Iklan

Irfan Budiman Barus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Revolusi Dong, Biar Seru

Akankah wajah sepak bola kelak berubah? Hanya kematian yang tidak mengenal perubahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Irfan Budiman 

Wartawan

Piala Eropa kali ini minim gol. Sampai 15 pertandingan yang sudah digelar, hingga Kamis lalu, hanya ada 29 gol. Artinya, rata-rata jumlah gol yang ada hanya 1,9. Lebih tak asyik lagi, dalam 47 menit, hanya ada 1 gol yang tercetak. Padahal Eropa adalah benua yang paling maju dalam olahraga ini. Tiga Piala Dunia terakhir dimenangi oleh tim dari Konfederasi Sepak Bola Eropa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun kenapa gol-gol itu minim sekali? Banyak sebab yang bisa ditunjuk. Saking majunya sepak bola di sana, kualitas permainan di antara mereka memang menjadi ketat. Tim macam Albania teramat sulit ditaklukkan. Sebab lainnya, bisa juga karena taktik beberapa tim yang mau main di belakang saja. Sambil diam-diam mencuri kesempatan melakukan serangan balik.

Sepak bola memang harus seperti film jenis thriller yang sarat ketegangan dari masing-masing pendukung tim yang sedang bertarung di lapangan. Saling balas bikin gol, dan skornya pun besar.

Satu laga yang memenuhi syarat itu adalah ketika Manchester United bertarung melawan Real Madrid di babak perempat final Liga Champions pada 2003. Ketika itu kedua tim memang diisi pemain-pemain hebat. Madrid punya Zinedine Zidane, yang belum botak benar kepalanya, lalu Figo, Roberto Carlos, dan tentu saja “El Phenomenon” Ronaldo.

Di United, masih ada David Beckham, Ryan Giggs, Juan Sebastian Veron, dan mesin gol Ruud van Nistelrooy.

Nyata nama besar dan harga mahal mereka berbanding lurus dengan yang terjadi di lapangan. Gol bergantian turun di sana. Ronaldo bikin hat-trick dan Beckham, yang main belakangan, mencetak dua gol. Keduanya saling bernafsu membuat gol. Di Old Trafford, gol seperti hujan, total ada 7 buah. Skor akhirnya pun mencengangkan, 4-3 untuk United.

Siapa pun senang dengan pertandingan itu. Tak terkecuali Roman Abramovich, yang duduk di antara puluhan penonton di Old Trafford. Gara-gara menyaksikan pertandingan itu, dia pun ingin memiliki klub sendiri. Beberapa bulan kemudian dia membeli Chelsea.

Seharusnya sepak bola seperti itu. Banyak gol. Tapi, makin maju olahraga ini, juga teknik dan fisik para pemainnya, membuat lapangan menjadi sempit. Dalam dua final Piala Dunia terakhir, nyata gol yang tercipta sebiji saja. Itu pun dilakukan setelah perpanjangan waktu dari durasi asli: 90 menit.

Taktik dan strategi sepak bola seperti berbalas pantun. Memarkir bus, seperti dilakukan Jose Mourinho, diperbuat untuk mengganjal serangan. Pertandingan menjadi tidak menarik. Karena wasit sepak bola tidak seperti di ring tinju, yang bisa menyuruh petinju yang hanya menutupi wajahnya dengan double cover dan bersandar di tali ring untuk segera saling gebuk.

Sebaliknya, taktik hebat seperti tiki taka pun kemudian kedodoran. Presiden kehormatan Bayern Muenchen, Franz Beckenbauer, mangkel bukan main terhadap permainan Muenchen di tangan Pep Guardiola. “Aneh sekali. Bola yang sudah dioper-oper hingga di depan gawang kemudian dioper lagi ke belakang,” katanya. Seperti coitus nan interruptus. Gol yang menjadi puncak dari segala usaha di lapangan tiba-tiba mentah lagi.

Nah, kalau sudah begitu, sepak bola tak ubahnya permainan bola di atas papan yang diisi paku dan karet. Mandek. Sepak bola perlu revolusi. Caranya? Mengubah peraturan secara drastis, salah satunya. Jumlah 11 pemain terlalu banyak. Bola sulit lagi jalan--karena ukuran pemain Eropa yang besar dan kuat.

Gol-gol bisa terjadi ketika lapangan hanya diisi pemain dengan jumlah yang lebih sedikit. Sembilan orang, plus kiper, sudah cukup. Selain itu, lebar dan tinggi gawang perlu diperbesar. Bola pun bisa lebih mudah masuk.

Oh, iya, satu lagi. Jika dalam bola basket ada lemparan tiga poin, di sepak bola pun tendangan dari jauh perlu juga diberikan nilai lebih. Seru? Paling tidak, gol-gol akan lebih banyak terjadi.

Sepak bola juga bisa jadi lebih aman. Pendukung tim takkan punya waktu yang cukup untuk memprovokasi lawannya karena keduanya akan sibuk merayakan gol.

Akankah wajah sepak bola kelak berubah? Hanya kematian yang tidak mengenal perubahan. Apalagi, di masa sekarang, jumlah tim yang berjumlah 10 orang masih bisa menang melawan tim yang lebih komplet. Satu yang mungkin berkeberatan atas perubahan pasti datang dari tim yang tak pernah menang. Salah satunya, timnas negeri ini, yang meski bermain dengan 11 pemain, kemenangan tetap saja sulit.

 

Ikuti tulisan menarik Irfan Budiman Barus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler