x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ingin Dengar Kabar Baik atau Kabar Buruk Dulu?

Mana yang ingin kita dengar lebih dulu, kabar baik atau kabar buruk, mengungkapkan siapa diri kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"Kabar buruk berjalan secepat cahaya, kabar baik berjalan bagai gula menetes."
--Tracy Morgan (Aktor, 1968-...)

 

Sebagai manajer perusahaan, entah di bagian pemasaran, produksi, sumberdaya manusia, ataupun keuangan, manakah yang Anda ingin dengar lebih dulu: kabar baik atau kabar buruk? Biasanya, kabar baiklah yang ingin didengar lebih dulu, lagi pula biasanya kabar baiklah yang ingin dilaporkan lebih dulu oleh staf Anda (Bukankah seorang bawahan seringkali cemas bila hendak melaporkan kerugian, cacat produksi, atau banyaknya karyawan yang mangkir, sebab takut dimarahi atasan?)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi Toyota, raksasa di industri otomotif dunia, kabar buruklah yang didahulukan; kabar baik bisa menunggu. James Wiseman, yang pernah menjabat vice president of corporate affairs untuk Toyota Engineering and Manufacturing (TEMA) Amerika Utara, memetik pelajaran penting di awal kariernya di Toyota. Pelajarannya: untuk bisa menjadi lebih baik setiap hari, masalah harus lebih dulu dikemukakan.

Di Toyota, menyimpan masalah, walaupun hanya sesaat, dianggap menghambat upaya perbaikan. Wiseman ingat ketika ia datang ke suatu rapat dan mulai melaporkan berbagai kesuksesan kecilnya (Barangkali Wiseman—seperti juga kebanyakan orang—menyangka bahwa memberi tahu kabar baik lebih dulu dapat menjadi pembuka pembicaraan yang lancar). Setelah ia selesai berbicara, Fujio Cho—atasan Wiseman—menatap matanya. “Jim-san, kita semua tahu Anda manajer yang baik, karena kalau tidak baik, kami tidak akan mempekerjakan Anda. Tapi tolong beritahu saya persoalan yang Anda hadapi supaya bisa kita pecahkan bersama,” kata Cho.

Sebagai manajer senior, Cho ingin mendengar kabar buruk lebih dulu. Siapa tahu ada masalah genting yang membutuhkan pemecahan segera. Kabar baik bisa disampaikan terakhir, sebab ini berarti situasinya berjalan baik, tidak ada persoalan yang menuntut penyelesaian segera. Bagi Cho, kabar buruk merupakan peluang untuk memahami masalah yang sebelumnya tidak terlihat. Sistem, proses, dan prosedur yang kelihatan berjalan baik bisa jadi masih mengandung kekurangan di dalamnya.

Toyota, seperti diceritakan oleh Jeffrey Liker dalam bukunya, Toyota Culture, mengenal dua jenis pemecahan masalah. Pertama, pemecahan masalah “event-type” yang menggunakan kejadian-kejadian individual yang menyimpang dari standar untuk menjaga standar tersebut. Bayangkanlah sebuah thermostat. Anda mula-mula mengaturnya pada temperatur 20 derajat Celcius. Ketika udara dalam ruangan terlalu panas atau terlampau dingin, thermostat mengurangi panas atau menambahkannya agar kembali ke temperatur yang ditetapkan.

Yang kedua adalah pemecahan masalah “setting-type”. Contohnya begini, Anda mula-mula menetapkan target produksi 10 unit mobil per jam, dan Anda sebagai manajer telah mampu mencapai target ini, maka perusahaan lalu menantang Anda untuk memenuhi standar kompetitif baru, misalnya 12 unit mobil per jam. Pemecahan masalah model ini benar-benar mengubah setting dan dengan demikian sistem diperbaiki secara signifikan.

Inilah pengalaman Mike Hoseus, orang Amerika yang bersama Jeffrey Liker menulis Toyota Culture, ketika bekerja di Toyota dan diundang ke markasa Toyota di Jepang. Ketika ia tanpa sengaja menyebabkan terjadinya goresan (scratch) pada badan mobil saat bekerja di pabrik perakitan, ia mula-mula hendak membiarkan badan mobil itu berjalan terus dengan harapan tidak seorang pun akan melihat goresan itu.

Namun Hoseus segera menyadari bahwa inilah momen kebenaran baginya, inilah saat baginya untuk mengakui bahwa ia sudah bertindak tidak cermat. Apapun risikonya, ia akan terima. Maka, iapun menarik tali peringatan untuk memanggil pemimpin tim. Penarikan tali itu merupakan pertanda bahwa telah muncul persoalan dalam proses produksi. Pemimpin tim lalu datang tanpa rasa marah dan mendengarkan dengan seksama laporan Hoseus.

Hoseus merasa gundah ketika kerumunan karyawan mulai berbicara. Mereka berbisik-bisik, “Mike-san, Mike-san…(dalam bahasa Jepang) lalu scratchee…” Hoseus menyangka ia sedang jadi subyek pembicaraan yang jelek-jelek. Namun sesaat kemudian mereka bertepuk tangan, lalu karyawan di sebelahnya tersenyum sambil menepuk-nepuk punggungnya, sementara ia keheranan.

Akhirnya, Hoseus diberitahu oleh pemimpin tim bahwa kesalahan yang ia buat adalah kesempatan belajar bagi karyawan lainnya dan peluang bagi perusahaan untuk memperbaiki proses yang selama ini dianggap telah berjalan baik. Alih-alih menyalahkan dan menghukum Hoseus, organisasi justru berterima kasih kepadanya dan mendistribusikan pengetahuan yang disarikan dari kesalahannya kepada karyawan lain.

Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita tadi ialah bahwa menciptakan lingkungan kerja yang tidak menakutkan karyawan untuk mengakui kesalahannya akan lebih bermanfaat ketimbang membuatnya menyembunyikan kesalahan itu sehingga kesalahan serupa bisa berulang. Karyawan lain bisa memetik pelajaran dari kesalahan serupa tanpa harus mempermalukan rekannya yang berbuat salah.

Begitulah, sebuah kesalahan seyogyanya dapat dilihat sebagai peluang untuk perbaikan. Cho lebih suka mendengar kabar buruk lebih dulu ketimbang kabar baik. (sumber ilustrasi: redorbit.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler