x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merawat Sungai Kita

Selama ini, kita memerlakukan sungai bukan sebagai sumber kehidupan; kita tidak merawatnya dengan rasa hormat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika Citarum menumpahkan isinya ke kota dan desa, apa yang bisa kita lakukan? Tatkala Bengawan Solo menumpahkan isinya ke wilayah sekitarnya, apa yang dapat kita kerjakan? Kita meninggalkan rumah dan isinya, mengungsi ke tempat yang tidak tergenang banjir. Kita menjalani aktivitas itu sebagai rutinitas tahunan, hingga kita merasa terbiasa dan menerimanya sebagai nasib yang tak terelakkan. 

Ketika kita berbicara ihwal pembangunan, yang kita bicarakan adalah tentang infrastruktur—jalan, jalan tol, bandara, jalur kereta, terminal. Lalu perumahan, kawasan industri, pusat perdagangan, pusat logistik. Dimana sungai? Mengapa sungai tak ada dalam daftar panjang pembangunan? Apakah karena sungai adalah kenyataan alam dan karena itu biarkan alam bekerja sendiri?

Alam tidak akan ‘marah’ dan melakukan ‘serangan balik’ manakala apa yang disebut ‘pembangunan’ tadi bukan berwujud perusakan. Selama ini, kita memerlakukan sungai sebagai tempat pembuangan—hajat manusia, sampah rumah tangga, maupun limbah pabrik. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita lupa bahwa sungai adalah urat nadi kehidupan manusia. Dulu, airnya mengaliri sawah dan kebun tanpa khawatir mencemari tanaman kita. Kita memancing beraneka ikan dan menyantapnya tanpa rasa takut. Kita berakit dari hulu ke hilir untuk mengirim hasil ladang karena air mengalir tanpa sumbatan—sampah dan sedimentasi.

Tapi kemudian kita memerlakukan sungai bukan sebagai sumber kehidupan. Ikan-ikan mati karena kehilangan oksigen; sungai jadi tempat menyesakkan untuk hidup bagi hewan-hewan di dalamnya. Kita meletakkan sungai di pinggiran arus pembangunan—kalah dari jalan tol, bandara, dan pelabuhan; kalah dari industri kayu, kelapa sawit, maupun pertambangan. Kita tak punya program ‘memulihkan harkat sungai kita’.

“Apatah arti sungai?” Mungkin kita tak pernah mengatakan bahwa sungai tidak penting, tapi cara kita memerlakukan sungai sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan pikiran kita. Kita tidak memelihara sungai sebagai sumber kehidupan. Kita tidak merawat sungai meskipun hidup kita sangat dipengaruhi olehnya.

Banjir berulang-ulang di aliran Sungai Citarum dan Bengawan Solo tak menyadarkan kita tentang adanya sesuatu yang salah dalam cara kita memerlukan sungai. Ketika sungai-sungai menumpahkan isinya ke kota dan desa, kita menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah. Apakah laporan Koran Tempo (21 Juni 2016) tentang ancaman banjir di Jawa akan menyadarkan kita, atau hanya tinggal berita belaka--untuk sekedar tahu?

Ketika kita memerlakukan sungai secara tidak terhormat, kemungkinan banjir sukar dielakkan; dan kini, banjir menyerbu wilayah-wilayah yang tidak terduga. Mereka yang diberi amanah kekuasaan untuk mengatur masyarakat tak cukup punya perhatian terhadap sungai-sungai. Sampah, limbah, penambangan, sedimentasi, penebangan pepohonan di sepanjang sungai dibiarkan. Kita tidak menjadikan sungai bagian dari hidup kita--jika sungai sengsara, sengsara pula kita.

Sungguh, mengubah perlakuan kita terhadap sungai bukanlah perkara mudah, tapi tidak mustahil. Bagaimana kita memerlakukan sungai berawal dari cara berpikir kita: apakah sungai sumber kehidupan atau tempat pembuangan? Bila kita memandang sungai sebagai sumber kehidupan, niscaya kita akan merawatnya dengan rasa hormat; bukan memerlukan sungai sebagai jamban raksasa yang menampung segala limbah. Sebelum tindakan, perubahan dimulai dari pikiran. (Aliran Citarum di daerah Padalarang, Tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler