x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Semangati Sekelilingmu dengan Tulus

Menyemangati adalah membangkitkan kembali jiwa yang gelisah dan nyaris putus asa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Suatu ketika, dalam Perang Dunia II, jenderal legendaris Dwight Eisenhower tengah berjalan di dekat Sungai Rhine, Prancis. Ia bertemu seorang prajurit Amerika yang wajahnya tampak kusut. “Apa yang kau rasakan, Nak?” tanya sang jenderal. “Saya sangat gelisah,” jawab prajurit. “Kalau begitu,” kata Eisenhower, “aku dan kamu merupakan pasangan yang baik, sebab akupun merasa gelisah. Mungkin kalau kita berjalan-jalan bersama, kita bisa saling membantu.” Tak ada makian, bahkan tak ada nasihat yang terucap dari bibir Eisenhower.

Dengan bersikap seperti itu, Eisenhower tidak sedang merendahkan martabatnya sebagai seorang jenderal. Dengan menempatan diri bahwa ia pun bisa mengalami rasa gelisah, Eisenhower tengah memberi dorongan kepada prajuritnya bahwa kegelisahan menjelang pertempuran adalah manusiawi belaka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi lain lagi yang dilakukan oleh manajer yang kurang peka. Seorang kawan pernah ‘curhat’ tentang perlakuan yang ia terima dari manajernya. Kegagalannya dalam meraih target berbuah kritik pedas yang menjurus pada sisi pribadi. Ia dianggap tidak cukup pintar melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan. Di saat seperti itu ia merasa ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Alih-alih memperoleh komentar yang memompa semangatnya yang tengah merosot, yang ia dapat malah kritik pedas yang menciutkan hati.

Kritik memang diperlukan untuk melecut semangat, namun ada kalanya yang diperlukan adalah dorongan atau support. Ada saatnya orang tidak kuat lagi menanggung kritik. Ia sudah berada di ambang batas (treshold) untuk beralih kepada keputusasaan. Nah, di saat itulah ia membutuhkan bahu untuk bersandar dan memulihkan kembali semangatnya. Dorongan diperlukan ketika seseorang menghadapi rasa cemas, ragu, tak berdaya, atau gelisah.

Dalam menjalankan roda perusahaan, para manajer kerap mengabaikan ‘sentuhan manusiawi’ serupa itu. Stres kerja sering dialami karyawan karena kepemimpinan yang tidak empatetik. Walau begitu, banyak pula CEO yang memiliki cara tersendiri untuk menjalin komunikasi dengan karyawannya. ‘Sentuhan manusiawi’ disalurkan melalui sarapan pagi bersama.

Di samping empati, orang biasanya membutuhkan ucapan yang baik ataupun sedikit pujian untuk membangkitkan kembali semangatnya yang sempat kendor atau ketika ia terlihat sangat lelah. (Dan kebutuhan akan hal ini bukan cuma dirasakan oleh karyawan; para CEO pun memerlukan pujian sebagaimana tampak bagaimana mereka gembira ketika memperoleh penghargaan tertentu—CEO of the Year, misalnya).

Sebenarnya, yang dibutuhkan karyawan umumnya bukanlah penghargaan yang muluk-muluk. Sedikit pujian pun cukup asalkan disampaikan dengan tulus. Kearifan lama mengatakan, “Pujian yang tidak tulus memaniskan lidah semata, tapi mengasamkan perut.”

Sekedar contoh: Di tengah kesibukannya yang padat, seorang manajer senior menyempatkan diri mencoretkan penanya di atas memo yang disampaikan kawan saya. Memo ini berisi usulan tentang apa langkah-langkah yang perlu ditempuh perusahaan untuk meningkatkan hubungan dengan pelanggan.

Komentar manajer itu pendek saja, “Gagasan bagus!”, tapi itu telah cukup memompakan semangat pada kawan saya. Ia percaya bahwa pujian ini tulus, dan karena itu memberikan efek sangat kuat pada penerimanya. Ia semakin bersemangat ketika diminta untuk menindaklanjuti usulannya.

Kegagalan, kelelahan, keputusasaan, atau juga kecemasan yang pernah dialami orang-orang sukses juga bisa jadi ‘obat penghibur’ untuk memulihkan situasi serupa yang kita alami. Orang-orang sukses selalu melewati situasi serupa dan mereka berhasil melampaui ujian seperti itu.

Walt Whitman, penyair besar Amerika, nyaris patah arang dalam ikhtiarnya menarik minat orang Amerika terhadap puisi-puisinya. Ia hampir sampai pada titik keputusasaan hingga suatu hari datang sepucuk surat pendek. Bunyi surat itu seperti ini: “Tuan yang baik, Saya tidak buta terhadap nilai bakat yang hebat dalam Leaves of Grass (kumpulan puisi Whitman yang ia terbitkan dengan uang sendiri). Menurut saya, ini merupakan karya yang cerdas dan bijak yang belum pernah disumbangkan Amerika. Salam Saya untuk Anda di awal karier yang hebat ini.” Surat ringkas itu ditandatangani oleh Ralph Waldo Emerson, esais terkemuka Amerika waktu itu, dan berhasil menyalakan kembali api semangat Whitman untuk terus berkarya.

Memberi dorongan kepada teman sejawat, anak buah, atau atasan sekalipun akan sangat berarti bila dilakukan secara tulus. Sepatah kata, sebuah metafor, sebuah pujian, obrolan kecil, secangkir kopi sebagai teman bekerja, ataupun sebuah kunjungan yang tulus dapat menjadi pemantik yang menyalakan kembali api semangat yang nyaris padam. Anda pun mampu melakukannya. Kapan? Sekarang juga. Lihatlah orang-orang di sekitar Anda dan tunjukkan ketulusan Anda dalam menyemangati mereka. (sumber foto ilustrasi: education.byu.edu) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler